Selaraskah Film Soedirman di Mata Hukum ?
https://pustokum.blogspot.com/2015/09/selaraskah-film-soedirman-di-mata-hukum.html
sumber google |
Jendral Soedirman, wajah ganteng nan rupawan. Seorang Jendral
milik bangsa Indonesia, bergerilya di lautan hutan, hanya untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Demi tumpah darah, dirinya rela menyerahkan jiwa
raganya. Rasa sakit yang menderah tubuhnya ia lupakan, Soedirman terus memegang
keris dan mengajak pasukannya untuk terus melawan Belanda yang ingin kembali
menguasai Indonesia.
Para prajurit, yang sudah mulai kelaparan, kedinginan dan
tergerus rasa rindu dengan keluarga, merasa malu dengan sang Jendral, karena
Jendral dengan balutan sakit, tetap memekikan semangat perjuangan. Semangat Soedirman
untuk terus merdeka 100% menjadi inspirasi bagi prajurit untuk berjuang sampai
mati. Dengan modal semangat dan nekat (karena senjata yang ala kadarnya, kalah
dengan senjata yang dibawa oleh musuh) terus melakukan perlawanan dengan
melakukan strategi gerilya, pukul mundur. Perjuangan dengan gagah berani dalam
membela tanah air inilah yang kemudian membuat pemerintah menganugerahi dirinya
sebagai pahlawan Indonesia.
Layaknya seorang pahlawan Indonesia, nama Soedirman
terpampang dimana-mana, bahkan di Jakarta, nama Soedirman merupakan jalan yang
amat strategis, patungnya-pun berdiri gagah di jalan tersebut. Begitulah sang
pahlawan, selalu dibuatkan monumen-monumen oleh negara biar selalu diingat oleh
bangsa Indonesia. Bahkan, untuk melanggengkan namanya, Jendral Soedirman
dibuatkan film, sebuah media yang mudah dicerna.
Beda cerita dengan Tan Malaka. Sama-sama melakukan
perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia, bahkan Tan Malaka pernah akan
menghempaskan nyawa karena rasa sakit yang diderita, akibat kedinginan, ketika
masih belajar di negeri Belanda. Sesampai di Indonesia, dia tidak tega melihat
para buruh di perkebunan teh Sanembah May, Sumatera, yang terus dihisap dan
dieksploitasi oleh kolonial.
Melihat keadaan bangsa yang tertindas, Tan Malaka merumuskan
strategi. Untuk mengajak rakyat berjuang, maka rakyat harus cerdas, dirinya
mendirikan Sekolah Rakyat, melakukan rapat-rapat untuk pembebasan rakyat dari
penindasan kolonial. Gerakan-gerakan yang dilakukannya membuat panas kuping
para penguasa pada saat itu, Tan Malaka-pun diburu, dia berbindah dari satu
tempat ke tempat lainnya. Ini adalah seklumit cerita dari sosok Tan Malaka.
Atas dasar perjuangan yang dilakukannnya itu, Tan Malaka
mendapat gelar pahlawan pada tanggal 28 Maret 1963. Seperti Soedirman, hanya
orang-orang yang berjasa pada negeri inilah yang berhak mendapatkan gelar
pahlawan.
Namun, cerita Tan Malaka berbeda dengan cerita Soedirman. Jika
namanya Soedirman dijadikan jalan-jalan besar dan patung-patung bergambar sang
Jendral mudah terlihat diberbagai sudut kota, Tan Malaka tidak demikian.
Di Indonesia tidak ada patung Tan Malaka, atau pun museum Tan
Malaka, bahkan kuburannya-pun seperti kuburan masyarakat biasa, meskipun
demikian, nama Tan Malaka tetap agung dimata kaum pergerakan. Tan Malaka
diagungkan oleh perjuangan dan karyanya, bukan (dibuat untuk) dianggungkan,
seperti Soedirman yang dijadikan film.
Menghina Tan Malaka
Tan Malaka selalu mengalah pada sejarah, orde baru menjadi
pelaku utama dalam menghilangkan sejarah Tan Malaka, namun Tan Malaka selalu
tidak melawan. Meskipun terus dihilangkan pemikiran dan nama Tan Malaka masih
bersemi didalam pemikiran para kaum gerakan. Meskipun sudah memasuki era
reformasi, era yang penuh dengan kebebasan, namun sisa-sia orde baru masih saja
paranoid dengan pemikiran Tan Malaka. Hal itu dibuktikan dengan pembuatan film
Jendral Soedirman yang terus memojokan Tan Malaka. Setidaknya ada beberapa
catatan penting terhadap film Soedirman yang memojokan Tan Malaka.
Pertama,
dalam rapat akbar yang diadakan oleh Tan Malaka di Purwokerto, Soedirman yang
mewakili tentara dikritik oleh forum, karena merasa dipojokan, Soedirman
kemudian pulang, padahal acara belum selesai. Namun, dalam film ini, Soedirman
pulang setelah Tan Malaka Pidato penutupan.
Kedua,
dalam film ini, pasukan pengikut Tan Malaka, digambarkan sebagai pasukan yang
merampas dagangan rakyat. Manamungkin Tan Malaka melakukan hal seperti itu,
karena dirinya selalu hidup bersama rakyat kecil, tentunya mengetahui keadaan
rakyat. Justru sebaliknya, Tan Malaka selalu ingin mengentaskan rakyat dari
kemiskinan dan memberikan pendidikan kepada rakyat kecil, hal itu dibuktikan
dengan pendirian Sekolah Rakyat.
Ketiga,
Tan Malaka ketika di kediri berpidato dengan latar belakang bendera Komunis. Padahal
pada waktu itu pasukan Tan Malaka
bernama Persatuan Perjuangan, pasukan yang dibentuk hasil rapat di Purwokerto. Pasukan
itu tidak ada sangkut pautnya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Penemuan-penemuan diatas memberikan
rasa curiga terhadap penerbitan film Soedirman ini yang tidak sesuai dengan
pasal 57 ayat 2 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman. Dimana dalam
ayat ini, mencetak film harus melalui penelitian
terlebih dahulu, jikalau film ini mengenai sejarah, maka harus dikomunikasian
terlebih dahulu dengan pakar sejarah. Jadi tidak menimbulkan salah tafsir.
Tan Malaka mempunyai banyak pengikut,
yang sumbangsihnya pada negeri ini tidak bisa diragukan lagi, seperti Muhammad
Yamin, salah satu tokoh yang mencetuskan sumpah pemuda, Budhyarto
Martoadtmodjo, orang yang melahirkan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, sebuah
perguruan tinggi yang menjadi cikal bakal Universitas Gadjah Mada, dan para
tokoh lainnya. Mereka semua adalah penganut merdeka 100%. Ini membuktikan
Negara ini punya hutang pada Tan Malaka, bahkan nama Republik Indonesia adalah
nama yang diberikan oleh Tan Malaka.
Harus ada pelurusan terhadap film Soedirman
tersebut, karena ini film ini bermaksud untuk memberikan informasi kepada
masyarakat. sedangkan informasi harus jelas dan tidak menyesatkan. Informasi yang
menyesatkan merupakan informasi yang dilarang oleh pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Salam tadkzim
Muhtar Said
Peneliti Pusat Studi Tokoh Pemikiran
Hukum