Selaraskah Film Soedirman di Mata Hukum ?

sumber google
Jendral Soedirman, wajah ganteng nan rupawan. Seorang Jendral milik bangsa Indonesia, bergerilya di lautan hutan, hanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Demi tumpah darah, dirinya rela menyerahkan jiwa raganya. Rasa sakit yang menderah tubuhnya ia lupakan, Soedirman terus memegang keris dan mengajak pasukannya untuk terus melawan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.

Para prajurit, yang sudah mulai kelaparan, kedinginan dan tergerus rasa rindu dengan keluarga, merasa malu dengan sang Jendral, karena Jendral dengan balutan sakit, tetap memekikan semangat perjuangan. Semangat Soedirman untuk terus merdeka 100% menjadi inspirasi bagi prajurit untuk berjuang sampai mati. Dengan modal semangat dan nekat (karena senjata yang ala kadarnya, kalah dengan senjata yang dibawa oleh musuh) terus melakukan perlawanan dengan melakukan strategi gerilya, pukul mundur. Perjuangan dengan gagah berani dalam membela tanah air inilah yang kemudian membuat pemerintah menganugerahi dirinya sebagai pahlawan Indonesia.

Layaknya seorang pahlawan Indonesia, nama Soedirman terpampang dimana-mana, bahkan di Jakarta, nama Soedirman merupakan jalan yang amat strategis, patungnya-pun berdiri gagah di jalan tersebut. Begitulah sang pahlawan, selalu dibuatkan monumen-monumen oleh negara biar selalu diingat oleh bangsa Indonesia. Bahkan, untuk melanggengkan namanya, Jendral Soedirman dibuatkan film, sebuah media yang mudah dicerna.

Beda cerita dengan Tan Malaka. Sama-sama melakukan perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia, bahkan Tan Malaka pernah akan menghempaskan nyawa karena rasa sakit yang diderita, akibat kedinginan, ketika masih belajar di negeri Belanda. Sesampai di Indonesia, dia tidak tega melihat para buruh di perkebunan teh Sanembah May, Sumatera, yang terus dihisap dan dieksploitasi oleh kolonial.

Melihat keadaan bangsa yang tertindas, Tan Malaka merumuskan strategi. Untuk mengajak rakyat berjuang, maka rakyat harus cerdas, dirinya mendirikan Sekolah Rakyat, melakukan rapat-rapat untuk pembebasan rakyat dari penindasan kolonial. Gerakan-gerakan yang dilakukannya membuat panas kuping para penguasa pada saat itu, Tan Malaka-pun diburu, dia berbindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ini adalah seklumit cerita dari sosok Tan Malaka.

Atas dasar perjuangan yang dilakukannnya itu, Tan Malaka mendapat gelar pahlawan pada tanggal 28 Maret 1963. Seperti Soedirman, hanya orang-orang yang berjasa pada negeri inilah yang berhak mendapatkan gelar pahlawan.

Namun, cerita Tan Malaka berbeda dengan cerita Soedirman. Jika namanya Soedirman dijadikan jalan-jalan besar dan patung-patung bergambar sang Jendral mudah terlihat diberbagai sudut kota, Tan Malaka tidak demikian.

Di Indonesia tidak ada patung Tan Malaka, atau pun museum Tan Malaka, bahkan kuburannya-pun seperti kuburan masyarakat biasa, meskipun demikian, nama Tan Malaka tetap agung dimata kaum pergerakan. Tan Malaka diagungkan oleh perjuangan dan karyanya, bukan (dibuat untuk) dianggungkan, seperti Soedirman yang dijadikan film.

Menghina Tan Malaka   

Tan Malaka selalu mengalah pada sejarah, orde baru menjadi pelaku utama dalam menghilangkan sejarah Tan Malaka, namun Tan Malaka selalu tidak melawan. Meskipun terus dihilangkan pemikiran dan nama Tan Malaka masih bersemi didalam pemikiran para kaum gerakan. Meskipun sudah memasuki era reformasi, era yang penuh dengan kebebasan, namun sisa-sia orde baru masih saja paranoid dengan pemikiran Tan Malaka. Hal itu dibuktikan dengan pembuatan film Jendral Soedirman yang terus memojokan Tan Malaka. Setidaknya ada beberapa catatan penting terhadap film Soedirman yang memojokan Tan Malaka.

Pertama, dalam rapat akbar yang diadakan oleh Tan Malaka di Purwokerto, Soedirman yang mewakili tentara dikritik oleh forum, karena merasa dipojokan, Soedirman kemudian pulang, padahal acara belum selesai. Namun, dalam film ini, Soedirman pulang setelah Tan Malaka Pidato penutupan.

Kedua, dalam film ini, pasukan pengikut Tan Malaka, digambarkan sebagai pasukan yang merampas dagangan rakyat. Manamungkin Tan Malaka melakukan hal seperti itu, karena dirinya selalu hidup bersama rakyat kecil, tentunya mengetahui keadaan rakyat. Justru sebaliknya, Tan Malaka selalu ingin mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan memberikan pendidikan kepada rakyat kecil, hal itu dibuktikan dengan pendirian Sekolah Rakyat.

Ketiga, Tan Malaka ketika di kediri berpidato dengan latar belakang bendera Komunis. Padahal  pada waktu itu pasukan Tan Malaka bernama Persatuan Perjuangan, pasukan yang dibentuk hasil rapat di Purwokerto. Pasukan itu tidak ada sangkut pautnya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Penemuan-penemuan diatas memberikan rasa curiga terhadap penerbitan film Soedirman ini yang tidak sesuai dengan pasal 57 ayat 2 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman. Dimana dalam ayat ini, mencetak film  harus melalui penelitian terlebih dahulu, jikalau film ini mengenai sejarah, maka harus dikomunikasian terlebih dahulu dengan pakar sejarah. Jadi tidak menimbulkan salah tafsir.

Tan Malaka mempunyai banyak pengikut, yang sumbangsihnya pada negeri ini tidak bisa diragukan lagi, seperti Muhammad Yamin, salah satu tokoh yang mencetuskan sumpah pemuda, Budhyarto Martoadtmodjo, orang yang melahirkan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, sebuah perguruan tinggi yang menjadi cikal bakal Universitas Gadjah Mada, dan para tokoh lainnya. Mereka semua adalah penganut merdeka 100%. Ini membuktikan Negara ini punya hutang pada Tan Malaka, bahkan nama Republik Indonesia adalah nama yang diberikan oleh Tan Malaka.

Harus ada pelurusan terhadap film Soedirman tersebut, karena ini film ini bermaksud untuk memberikan informasi kepada masyarakat. sedangkan informasi harus jelas dan tidak menyesatkan. Informasi yang menyesatkan merupakan informasi yang dilarang oleh pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Salam tadkzim
Muhtar Said
Peneliti Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum  







  

Related

Hukum 446531098245450259

Posting Komentar

emo-but-icon

WELCOME

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Hot in week

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item