Mempertanyakan Kebijakan Pemerintah Di Bidang Ekonomi
https://pustokum.blogspot.com/2015/07/mempertanyakan-kebijakan-pemerintah-di.html
oleh : Rian Casidy
Sejak munculnya Surat Edaran (SE) BI No. 17/11/DKSP tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan ketentuan pelaksana dari Peraturan Bank Indonesia No. 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah (PBI) dan mulai berlaku sejak 1 Juni 2015 banyak mengundang pertanyaan dari berbagai macam pihak, terutama dari pihak pelaku usaha yang usahanya terpengaruh oleh kewajiban penggunaan rupiah ini.Pengecualian dari kewajiban penggunaan rupiah yaitu :
a. transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri;
c. transaksi perdagangan internasional;
d. simpanan di Bank dalam bentuk valuta asing; atau
e. transaksi pembiayaan internasional
f. Transaksi lain yang diperbolehkan menggunakan valas dalam Undang-Undang
- kegiatan usaha bank dalam valas (UU perbankan)
- Transaksi Surat Utang Negara (UU SUN)
- Pembiayaan LPEI (UU LPEI)
- Repatriasi Modal Asing ( UU Penanaman Modal)
Pertanyaannya mengapa harus ada sektor-sektor yang dikecualikan? Penegakan kewajiban penggunaan rupiah yang bersifat top-down dan memaksa seperti ini harusnya “konsisten dan tegas” karena adanya pengecualian justru semakin menambah munculnya banyak tanda tanya dan kewajiban penggunaan rupiah di seluruh wilayah Indonesia sudah dalam amanat UU..Permasalahan lainnya adalah bagaimana implementasi kebijakan kewajiban penggunaan rupiah ini di daerah-daerah perbatasan dengan Negara lain?karena masih sangat lazim ditemui penggunaan valuta asing di daerah perbatasan dengan Negara lain.
Permasalahan lainnya yang cukup pelik terkait implementasi kewajiban penggunaan rupiah ini adalah terkait pengawasan. Dalam hal pengawasan transaksi non tunai melalui jalur perbankan masih bisa diterapkan misalnya dengan pembayaran menggunakan valuta asing, nanti BI akan konfirmasi dengan perbankan.
Perbankan punya kewajiban, bahwa underline dari transaksi itu apa yang harus dibebankan kepada nasabahnya?, Kalau (ternyata) underlinenya transaksi biasa maka, BI berhak menolak transaksi itu karena ada Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai kewajiban penggunaan rupiah.
kemudian pertanyaan terus beluntu, yakni mengenai pengawasan transaksi serta pembayaran secara tunai/cash yang menghilangkan eksistensi Bank. Jelas, pelaksanaan kebijakan ini akan sangat bergantung pada Kejaksaan dan Kepolisian serta koordinasi yang solid dengan Bank Indonesia. Untuk itu harus ada komitmen dari ketiga lembaga tersebut, Bank, Polri dan Kejaksaan, demi berjalannya kebijakan ini.
komitmen dari para penegak hukum untuk mengawal kebijakan seprti ini sangat dibutuhkan karena bisa saja akan banyak pelanggaran yang terjadi. Selain itu, kebijakan kewajiban penggunaan rupiah ini juga rawan dengan dikriminalisasi, misalnya kita mengetahui ada perusahaan yang masih menggunakan valuta asing lalu kita tidak suka dengan perusahaan tersebut, maka kita bisa melapor dengan dasar kebijakan kewajiban penggunaan rupiah.
Pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah
Munculnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/PMK.010/2015 yang telah diundangkan 8 Juni 2015 dan mulai berlaku efektif mulai 8 Juli 2015 cukup mengejutkan dan menimbulkan rasa penasaran berbagai pihak. Beleid ini menyebutkan, barang mewah selain kendaraan bermotor yang terkena PPnBM hanya hunian mewah dengan tarif pajak 20 persen, kelompok pesawat udara tanpa tenaga penggerak dan senjata api dengan tarif sebesar 40 persen, kelompok pesawat udara kecuali untuk angkutan niaga (50 persen), dan kapal pesiar serta yacht (75 persen),sehingga barang-barang yang dahulunya digolongkan mewah, namun karena perkembangan zaman dan teknologi bukanlah dianggap barang-barang mewah lagi dibebaskan dari PPnBM, seperti sejumlah alat elektronik kulkas, water heater, AC, TV, kamera, kompor, dishwasher, dryer, microwave. Selain itu, juga alat-alat olah raga seperti alat-alat pancing, golf, selam dan surfing.Alat-alat musik seperti piano dan alat musik elektrik, branded goods yakni, wewangian, saddlery and harness, tas, pakaian, arloji. Serta peralatan rumah dan kantor, seperti permadani, kaca kristal, kursi, kasur lampu, porselen dan ubin.
Mendorong tingkat konsumsi dan mempertahankan daya beli masyarakat serta biaya pengawasan agar pajak barang-barang mewah tersebut dibayarkan yang ternyata memakan biaya lebih tinggi dari angka pajak yang diterima menjadi alasan-alasan utama Pemerintah mengeluarkan PMK yang membebaskan pajak barang mewah ini.Penulis sendiri berpendapat bahwa pembebasan PPnBM terhadap barang-barang elektronik yang dapat mengerakkan perekonomian adalah tepat sasaran, selain dapat menggerakkan roda perekonomian barang elektronik seperti televisi serta telepon genggam sudah tidak dapat dianggap barang mewah.TV dan telepon genggam karena perkembangan teknologi dan zaman sudah dimiliki segala lapisan masyarakat sehingga sangat sulit menggolongkan TV,telepon genggam,serta barang sejenis masuk kategori “mewah”.Barang mewah,pakaian brand terkenal yang masuk kategori barang “konsumtif” menurut Penulis tidak seharusnya turut dibebaskan dari PPnBM.Barang “konsumtif “ yang sebagian besar dimiliki orang hanya untuk gengsi bukanlah barang yang sering digunakan untuk memompa tingkat kesejahteraan ekonomi di kalangan menengah ke bawah yang menyebabkan kebijakan ini banyak dikritik dan dipertanyakan,namun Penulis berpendapat tetap ada sisi positif dari kebijakan ini hanya saja pelaksanaannya perlu terus kita awasi sehingga tujuan baik dari kebijakan ini dapt dirasakan seluruh pihak.
Sejak munculnya Surat Edaran (SE) BI No. 17/11/DKSP tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan ketentuan pelaksana dari Peraturan Bank Indonesia No. 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah (PBI) dan mulai berlaku sejak 1 Juni 2015 banyak mengundang pertanyaan dari berbagai macam pihak, terutama dari pihak pelaku usaha yang usahanya terpengaruh oleh kewajiban penggunaan rupiah ini.Pengecualian dari kewajiban penggunaan rupiah yaitu :
a. transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri;
c. transaksi perdagangan internasional;
d. simpanan di Bank dalam bentuk valuta asing; atau
e. transaksi pembiayaan internasional
f. Transaksi lain yang diperbolehkan menggunakan valas dalam Undang-Undang
- kegiatan usaha bank dalam valas (UU perbankan)
- Transaksi Surat Utang Negara (UU SUN)
- Pembiayaan LPEI (UU LPEI)
- Repatriasi Modal Asing ( UU Penanaman Modal)
Pertanyaannya mengapa harus ada sektor-sektor yang dikecualikan? Penegakan kewajiban penggunaan rupiah yang bersifat top-down dan memaksa seperti ini harusnya “konsisten dan tegas” karena adanya pengecualian justru semakin menambah munculnya banyak tanda tanya dan kewajiban penggunaan rupiah di seluruh wilayah Indonesia sudah dalam amanat UU..Permasalahan lainnya adalah bagaimana implementasi kebijakan kewajiban penggunaan rupiah ini di daerah-daerah perbatasan dengan Negara lain?karena masih sangat lazim ditemui penggunaan valuta asing di daerah perbatasan dengan Negara lain.
Permasalahan lainnya yang cukup pelik terkait implementasi kewajiban penggunaan rupiah ini adalah terkait pengawasan. Dalam hal pengawasan transaksi non tunai melalui jalur perbankan masih bisa diterapkan misalnya dengan pembayaran menggunakan valuta asing, nanti BI akan konfirmasi dengan perbankan.
Perbankan punya kewajiban, bahwa underline dari transaksi itu apa yang harus dibebankan kepada nasabahnya?, Kalau (ternyata) underlinenya transaksi biasa maka, BI berhak menolak transaksi itu karena ada Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai kewajiban penggunaan rupiah.
kemudian pertanyaan terus beluntu, yakni mengenai pengawasan transaksi serta pembayaran secara tunai/cash yang menghilangkan eksistensi Bank. Jelas, pelaksanaan kebijakan ini akan sangat bergantung pada Kejaksaan dan Kepolisian serta koordinasi yang solid dengan Bank Indonesia. Untuk itu harus ada komitmen dari ketiga lembaga tersebut, Bank, Polri dan Kejaksaan, demi berjalannya kebijakan ini.
komitmen dari para penegak hukum untuk mengawal kebijakan seprti ini sangat dibutuhkan karena bisa saja akan banyak pelanggaran yang terjadi. Selain itu, kebijakan kewajiban penggunaan rupiah ini juga rawan dengan dikriminalisasi, misalnya kita mengetahui ada perusahaan yang masih menggunakan valuta asing lalu kita tidak suka dengan perusahaan tersebut, maka kita bisa melapor dengan dasar kebijakan kewajiban penggunaan rupiah.
Pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah
Munculnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/PMK.010/2015 yang telah diundangkan 8 Juni 2015 dan mulai berlaku efektif mulai 8 Juli 2015 cukup mengejutkan dan menimbulkan rasa penasaran berbagai pihak. Beleid ini menyebutkan, barang mewah selain kendaraan bermotor yang terkena PPnBM hanya hunian mewah dengan tarif pajak 20 persen, kelompok pesawat udara tanpa tenaga penggerak dan senjata api dengan tarif sebesar 40 persen, kelompok pesawat udara kecuali untuk angkutan niaga (50 persen), dan kapal pesiar serta yacht (75 persen),sehingga barang-barang yang dahulunya digolongkan mewah, namun karena perkembangan zaman dan teknologi bukanlah dianggap barang-barang mewah lagi dibebaskan dari PPnBM, seperti sejumlah alat elektronik kulkas, water heater, AC, TV, kamera, kompor, dishwasher, dryer, microwave. Selain itu, juga alat-alat olah raga seperti alat-alat pancing, golf, selam dan surfing.Alat-alat musik seperti piano dan alat musik elektrik, branded goods yakni, wewangian, saddlery and harness, tas, pakaian, arloji. Serta peralatan rumah dan kantor, seperti permadani, kaca kristal, kursi, kasur lampu, porselen dan ubin.
Mendorong tingkat konsumsi dan mempertahankan daya beli masyarakat serta biaya pengawasan agar pajak barang-barang mewah tersebut dibayarkan yang ternyata memakan biaya lebih tinggi dari angka pajak yang diterima menjadi alasan-alasan utama Pemerintah mengeluarkan PMK yang membebaskan pajak barang mewah ini.Penulis sendiri berpendapat bahwa pembebasan PPnBM terhadap barang-barang elektronik yang dapat mengerakkan perekonomian adalah tepat sasaran, selain dapat menggerakkan roda perekonomian barang elektronik seperti televisi serta telepon genggam sudah tidak dapat dianggap barang mewah.TV dan telepon genggam karena perkembangan teknologi dan zaman sudah dimiliki segala lapisan masyarakat sehingga sangat sulit menggolongkan TV,telepon genggam,serta barang sejenis masuk kategori “mewah”.Barang mewah,pakaian brand terkenal yang masuk kategori barang “konsumtif” menurut Penulis tidak seharusnya turut dibebaskan dari PPnBM.Barang “konsumtif “ yang sebagian besar dimiliki orang hanya untuk gengsi bukanlah barang yang sering digunakan untuk memompa tingkat kesejahteraan ekonomi di kalangan menengah ke bawah yang menyebabkan kebijakan ini banyak dikritik dan dipertanyakan,namun Penulis berpendapat tetap ada sisi positif dari kebijakan ini hanya saja pelaksanaannya perlu terus kita awasi sehingga tujuan baik dari kebijakan ini dapt dirasakan seluruh pihak.