Srikandi-Srikandi Hukum di Indonesia

Sumber Foto. www.rupawa.com
Srikandi, di Jawa digambarkan sebagai sosok perempuan cerdas, mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi, tidak mau kalah dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh kaum laki-laki.[1] Walaupun demikian, Srikandi sangat menjunjung tinggi sopan santun, dia tidak sombong, meskipun mempunyai keistimewaan melebihi laki-laki.
Dalam sejarah berdirinya Indonesia, Cut Nyak Dien dan Kartini menjadi Srikandi-nya. Banyak kisah yang menceritakan mereka adalah wanita tangguh, karena jiwa dan raganya hanya untuk kebebasan rakyat Indonesia. Kisah mereka selalu menjadi pembicaraan dan juga menjadi motivasi bagi perempuan Indonesia.
Tidak bermaksut melupakan dua kisah  perempuan hebat itu. Pasca kemerdekaan, Indonesia juga mempunyai srikandi-srikandi di bidang hukum. Setidaknya ada lima srikandi yang patut menjadi sorotan saat ini, Kelima srikandi tersebut adlah, Karlinah Palmini Achmad Soebroto, Kartini Muljadi, Poerbawati, Retno Wulan Soetantio dan Sunaryati Hartono. Mereka berlima adalah srikandi-srikandi dalam pergulatan hukum Indonesia, artinya punya cerita hebat dalam pergulatan hukum di Indonesia..
Karlinah Palmini, hakim wanita yang pemberani, karena berani membuat putusan kasasi yang sifatnya “melawan” orde baru, karena membebaskan 9 (Sembilan) terdakwa kasus pembunuhan aktivis perempuan Marsinah.[2] Dalam kasus itu, ia berani menerapkan adanya saksi mahkota. Padahal, saksi mahkota tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penerapan saksi mahkota adalah terobosan hukum yang penting pada waktu itu.[3] sungguh wanita yang pemberani.
Kedua, Kartini Muljadi. Pengacara sukses yang mampu masuk dalam Asia Law Profile bidang Banking dan finance. [4] Sebelum menekuni dunia pengacara, Kartini berprofesi sebagai seorang hakim. Kemudian pada tahun 1950-an, ia beralih profesi menjadi seorang notaris dan juga dosen di berbagi sekolah hukum di Jakarta. Sebagai seorang akademisi, tidak heran jika dirinya pernah mengeluarkan buku yang berjudul “pedoman menangani kepailitan”. Pada tahun 2014, Masyarakat Indonesia tercengang, ketika majalah forbes mencantumkan nama Kartini sebagai orang terkaya di Indonesia no 29.[5] Sungguh mengagumkan, perempuan yang pintar bermanuver, mengerti peta kehidupan, sehingga bisa memilih jalur hidup yang tepat.
Perempuan yang ketiga bernama Poerbowati. Hakim perempuan yang selalu menutup rapat-rapat pintu ruang kerjanya, karena ia takut jika ada tamu yang datang kemudian memberikan dirinya hadiah. Kisah ini bukanlah pemanis belaka, namun tertulis dalam bukunya Pompe,  Supreme Court judge Poerbowati was said to keep the door closed to all visitors, fearing the waould pamper her with gifts that waould incur social liabilities.[6]
Melihat tingkah lakunya yang tegas, mungkin akan terlihat aneh dimata rekan-rekannya. Namun ia sadar dengan posisinya sebagai wakil tuhan di dunia. Sehingga ia menjaga kode etik profesi hakim, supaya bisa memberikan putusan yang adil.
Keempat, hakim perempuan yang hampir sama dengan Poerbowati yakni Retno Wulan Soetantio.merupakan salah satu dari lima perempuan pertama yang lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1956.
Retno Wulan Soetantio merupakan hakim agung yang mempunyai trah Tionghoa.[7] Walaupun demikian dirinya mampu bertahan, walaupun di tengah-tengah diskriminasi etnis pada orde baru. Pribadinya yang bersih, membuat dirinya beberapa kali dilibatkan dalam seleksi hakim agung.
Kelima adalah Sunaryati Hartono, kisahnya hampir sama dengan Kartini Muljadi. Memulai karir sebagai hakim, kemudian pengacara, dosen dan yang terakhir sebagi birokrat. Sunaryati, hidupnya selalu berpindah-pindah. Bahkan disela-sela dirinya menjadi hakim, kemudian menjadi pengacara ia tetap menyempatkan waktunya untuk mengajar di beberapa perguruan tinggi hukum.
Sosoknya semakin diakui sebagai seorang akademisi dan praktisi dengan beberapa karyanya. Beberapa karyanya seperti “politik hukum menuju satu sistem hukum nasional”, “ASEAN cooperation in legal education”, “semangat kebangsaan dan politik luar negeri Indonesia”, dan masih banyak karya yang belum ditemukan oleh peneliti.  Karya adalah sebuah mahkota bagi seorang ahli di bidangnya.(tim Pustokum)


[1] Nasrudin Anshori, Neo Patriotisme : Etika Kekuasaan dalam Budaya Jawa, Lkis, Yogyakarta, 2008, hlm 206
[2] Kompas 30 Desember 1995. Karlina pada waktu itu menjadi hakim anggota bersama Tommy Bustomi sedangkan hakim ketuanya adalah Adi Andojo Soetjipto. Marsinah aktivis buruh yang memperole penghargaan Yap Thiam Hien,pada tahun 1993 dia diculik dan tiga hari kemudian jenazahnya ditemukan dengan bekas penganiayaan berat. Sampai saat ini pembunuhnya belum ditemukan.
[3] Saksi Mahkota memang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, namun pada tahun 2011, Mahkamah Agung membuat putusan No 2437 K/Pid.Sus/2011 “Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai Saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana.
[4] Asia Law Profil tahun 2001
[5] Majalah Gatra 25 Februari 2015, Kartini adalah pemilik Tempo Scan Graup. Kekayaannya per Desember 2014 mencapai US$ 1,1 milyar.
[6] S. Pompe, The Indonesian Supreme Court : A Study of Institutional Collapse, Cornell Southeast Asia Program, 2005 hlm 339
[7] Hukum Online 24 Desember 2010, Retno Wulan dan Dora Sasongko merupakan dua hakim agung perempuan yang mempunyai darah Tionghoa.

Related

Artikel 8162120006255121631

Posting Komentar

emo-but-icon

WELCOME

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Hot in week

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item