Nilai Sosialisme Dalam Hukum Tanah Indonesia

Oleh Bakhrul Amal

Hukum, seperti kita ketahui pada umumnya, dilahirkan untuk kepentingan masyarakat umum. Sebelum menentukan pembentukan hukum, ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh negara sebagai pemegang otoritas pembuat hukum. Pertama, negara tidak boleh dijadikan alat kekuasaan yang tidak berkepentingan umum. Kedua, negara harus bisa memberikan sarana bagi masyarakat atau warga negara yang dirugikan atas tindakannya (negara), dan sanksi kepada penyelenggara negara yang lalim. Memfungsikan aturan sebagai titik tolak (starting-point) yang kemudian mengembalikannya pada rakyat sebagai penentu dari untung dan ruginya aturan tersebut (bargaining to mutual advantage).[1]
Arah kebijakan hukum tanah Indonesia, sebelum kemerdekaan, dibuat secara sengaja untuk lebih menguntungkan pemodal dan masyarakat asing. Waktu itu ada dua aturan yang amat terkenal, yakni Agrarische Wet yang diundangkan pada tahun 1870, dan Agrarische Belsuit yang berlaku pada tahun yang sama. Dua aturan tersebut memiliki perbedaan fokus, Agrarische Wet dibuat atas desakan pengusaha sedangkan Agrarische Belsuit adalah aturan lanjutan yang meligitimasi kepemilikan tanah bagi Pemerintah. Kedua aturan itu saling berkaitan satu dengan lainnya. Pengusaha agar mudah perizinan pemakaian tanahnya, maka tanah di seluruh wilayah Nusantara dimonopoli semuanya milik Pemerintah dengan asas Domein Verklaring. [2]
Asas Domein Verklaring ini membuat seluruh hamparan tanah sepenuhnya di bawah kekuasaan Pemerintah. Engelbrecht menuliskan bahwa “tanah-tanah Negara..kewenangan untuk memutuskan pemberiannya kepada pihak lain hanya ada Pemerintah”. Secara harfiah kewenangan tersebut memiliki arti Pemerintah berkuasa mutlak atas tanah dan secara bebas bisa memberikan hak-hak atas tanahnya itu kepada siapa pun yang disetujui, tanpa peduli siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
Sebagai perlawanan terhadap paham kapitalisme, pada era itu, pandangan sosialisme adalah hal yang muskil ditolak untuk digunakan. Konsekuensi dari dikotomi pertentangan tersebut membuat Pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan memilih sosialisme sebagai dasar daripada pembentukan undang-undangnya. Abdurrahman Wahid bahkan menilai bahwa undang-undang dasar 1945 sangat condong pada ajaran yang dibawa oleh Karl Marx.[3] Hal itu bisa dilihat dari pilihan instrumen Undang-Undang Dasar yang berkebutuhan bagi orang banyak.
Paham Marxisme sebagai landasan sosialisme menilai keberadaan semua norma hukum, atau kontrak (dengan mempertimbangkan pemahaman materi kesetaraan subjek) atau hasil dari hukum kesetaraan pertukaran barang, dipahami sebagai proses sosial. Hukum, menurut Karl Marx dalam pembacaan Pawel Sydor, pada periode komunis digunakan sebagai alat untuk memenangkan kelas pekerja. Pawel Sydor menilai sebelum tahap komunisme, hukum terlebih dahulu jatuh dalam periode sosialisme seperti yang dijadikan pilihan Indonesia pada awal kemerdekaan. Hukum dalam negara sosialisme diupayakan untuk, masih menurut pandangan Pawel Sydor merujuk pada Karl Marx, kesetaraan pertukaran dan mengurangi ketegangan antara kapitalisme dan yang dieksploitasi[4].
Karl Marx dan bahkan Engels, diakui Pawel Sydor, telah menunjukkan bahwa analisis sosial lembaga-lembaga hukum individu mereka tidak memiliki konten hukum yang sama dengan kapitalis dan buruh. Terlepas dari semi-semantik istilah seperti kepemilikan, pernikahan, hak orang tua - yang berfungsi dari lembaga-lembaga ini di bidang hukum didefinisikan juga dengan cara realisasi lembaga ini untuk menjadi berbeda, dengan mengacu pada wakil-wakil dari kelas sosial yang berbeda. Pada akhirnya, munculnya sosialisme ternyata menimbulkan dilema di kalangan Marxis atas konkordansi istilah nomenklatur yang digunakan pada negara-negara ini dan jaringan konseptual Marxis.[5]
Semua hukum memiliki kandungan sosial yang pasti. Hukum adalah bagian dari suprastruktur dan akhirnya ekspresi dari realitas sosial. Marx membuat titik, berbicara hukum, bahwa hukum adalah ekspresi dari hubungan–atau yang berlaku kepemilikan yang mengatakan, dari hubungan produksi yang lebih mendasar dari hubungankepemilikan dalam arti ekspresi yang keluar. Faktanya, di bawah kekuasaan kaum borjuis (kelas kapitalis) dan dengan dinamika sistem kapitalis, tidak mungkin ada hukum yang memberikan orang "hak untuk makan"–atau, jika ada semacam hukum, itu bukan hukum yang dapat diberlakukan tanpa meruntuhkan dinamika dasar masyarakat kapitalis. Sosialis membuat perbedaan yang tidak mendasar pada hubungan eksploitasi dan penindasan, tetapi pada saat yang sama mereka mengandung sisa-sisa dan unsur yang–dan ada kebutuhan untuk transformasi berkelanjutan dari hubungan sosialis, menuju tujuan akhir sepenuhnya menghilangkan semua sisa eksploitasi, penindasan, dan antagonisme sosial bila perlu pada skala dunia.[6]
Indonesia yang pada masa akhir perang dunia kedua barulah memperoleh kemerdekaannya tidak bisa luput dari dikotomi pertentangan itu. Di sisi yang lain, Indonesia belum terlalu siap mengadopsi secara menyeluruh konsep komunis sehingga lebih memilih sosialis sebagai dasar perundangan-undangannya. Yang terpenting, secara garis besar melihat keadaan yang sama yang ditulis Pawel Sydor, Indonesia sebagai bagian negara-negara sosialis, secara nyata dan efisiendengan hukumnya itu harus mampu mengatur proses produksi serta redistribusi guna menciptakan fondasi ekonomi kemenangan masa depan, termasuk ekonomi yang bertentangan dengan kapitalisme.
Indonesia, sebagai negara baru, tentunya telah memiliki aturan-aturan yang berupaya memberi manfaat bagi kepentingan umum dan tentunya kesejahteraan sosial. Aturan tersebut bisa kita lihat dalam tatanan moralitas masyarakat adat yang belum terlembaga. Di sisi yang lain, Indonesia masih dibayangi aturan-aturan lama bekas kolonial. Hart, melalui Satjipto Rahardjo, menilai bahwa keinginan Indonesia beranjak pada aturan formal yang mereduksi kaidah-kaidah lokal dalam konteks sosialisme adalah suatu perubahan dari rezim primer menuju kepada rezim sekunder, dari nontekstual menuju kepada tekstual. Rezim primer bisa dikatakan rezim yang hanya berisi “komunitas moral” atau masyarakat yang hanya diatur oleh aturan bersama yang didukung oleh tekanan sosial yang mungkin dapat digambarkan sebagai sistem hukum sederhana. Indonesia pasca kemerdekaan semula berada pada posisi primer, namun setelahnya Indonesia perlu diakui sebagai rezim sekunder. Hal ini diperkuat oleh ciri dimana rezim sekunder memerlukan ada tiga pola dalam mengadakan hukumnya. Ciri tersebut terdiri dari :
a.      Peraturan yang berisi pengakuan terhadap norma tertentu (rules of recognition). Dengan adanya peraturan ini maka menjadi jelas dan pastilah apa yang merupakan kaidah mengenai peraturan atau hubungan tertentu.
b.      Peraturan yang menggarap pengubahan-pengubahan (rules of change). Dengan adanya peraturan ini bisa ditentukan secara jelas dan tegas bagaimana peraturan-peraturan baru yang meniadakan yang lama diciptakan.
c.       Peraturan bagi penyelesaian sengketa (rules of adjudication). Peraturan ini memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk membuat keputusan-keputusan yang mempunyai otoritas mengenai ikhwal apakah suatu peraturan tertentu telah dilanggar.[7]
UUPA dilahirkan dengan didahalui sebuah proses sejarah yang panjang. Penjajahan, penindasan, perlakuan diskriminatif, dan eksploitatif terhadap hak suatu bangsa oleh bangsa lainnya (Imperialisme) adalah hal-hal yang mendasari agar dibuat aturan baru, dan menghapuskan aturan lama. Indonesia sebagai negara yang pernah mengalami penjajahan, sebelum kemudian merdeka, adalah negara yang pada waktu itu dirasa perlu membuat sebuah regulasi yang lebih condong kepada keadilan rakyatnya, namun tidak pula terbelakang dalam pergaulan Internasional. Indonesia dalam bagian rezim sekunder, secara garis besar, melakukan perubahan dan mencatat empat prinsip dari UUPA atau Hukum Tanah Nasional, yakni 1) Nasionalisme; 2) tanah dan sumber-sumber agraria lainnya memiliki fungsi sosial, bukan komersial; 3) anti terhadap eksploitasi manusia; 4) landreform populis; 5) dan perencanaan agraria.[8]
UUPA, dipertautkan dengan realitas historis di atas, secara jelas memiliki arah tujuan hukum yang berkekuatan serta berpihak pada paham sosialisme. Hukum Adat dijadikan pondasi dalam upaya mempertentangkan Hukum Barat yang individualis. Asas Domein Varklaring tidak lagi digunakan, sebagai gantinya adalah penguasaan negara yang tidak mutlak serta harus demi kepentingan bangsa. UUPA juga tidak lagi bersifat dualisme, yakni Hukum Adat dan hukum Agraria Barat. UUPA menginginkan kepemilikan satu dasar hukum tetap mengenai Hukum Tanah yang melindungi pemilik hak atas tanah, terutama Warga Negara Indonesia. UUPA juga menyebutkan bahwa hanya Warga Negara Indonesia yang boleh memiliki hak milik, sebagai bentuk perlawanan terhadap swastanisasi dan kepemilikan secara semena-mena oleh pihak asing pada Pemerintahan Hindia-Belanda. Semuanya secara jelas menunjukan bahwa lahirnya UUPA, dengan semangat sosialisme, bertujuan untuk mengembalikan hak-hak rakyat dan bangsa Indonesia yang semula diambil secara paksa melalui penjajahan oleh Inggris maupun Barat dengan sistem kapitalismenya.




[1]Bakhrul Amal, Kesejahteran Sosial dan Penegakan Hukum Progresif, (Semarang:dibacakan dan dijadikan bahan materi kajian ulang tahun HIPIIS Jawa Tengah, 2014) hlm 10
[2]Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta:Penerbit Djambatan, 2008) hlm 41-43
[3]Gus Dur dalam launching buku Karl Marx Das Kapital oleh Hasta Mitra tahun 2005. https://www.youtube.com/watch?v=9bn9wXu668I menit 02.30-04.00. Das Kapital adalah lawan daripada teori Kapitalisme yang dibawa oleh Adam Smith.
[4]Paweł Sydor, Slavoj Žižek’s Concept of Justice And The Law, (Wrocław: Wydawnictwo Beta-Druk, 2012) hlm 99-100
[5]Ibid, hlm 101-102
[6]Bob Avakian, Constitution for the New Socialist Republic in North America, (Chicago:The Bob Aviakan Institute, 2010) hlm 1-5. Kalimat terakhir bisa kita korelasikan dengan ungkapan Soekarno pada sidang BPUPKI yang menyatakan bahwa “Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka, tetapi harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa...yang boleh saya namakan “internasionalisme”. (Yudi Latief, Negara Paripurna, hlm 125)
[7]Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2006) hlm 122
[8]Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, (Jakarta:Pu staka Margaretha, 2012) hlm 33

Related

Fauzi Abdullah, HP Rajagukguk, Imam Soepomo dan Iskandar Tedjokusumo : Empat Aktor Politik Hukum Perburuhan

Sumber foto www.rmol.co Buruh mempunyai sejarah panjang sebagai aktor penggerak di republik Indonesia. Zaman sebelum merdeka, peran buruh sangat vital dalam membangkitkan semangat masyarakat ...

Soepomo, Pasca Proklamasi

Proklamasi. Jadi puncak perjuangan bangsa. Seokarno didampingi Hatta membacakannya di hadapan rakyat Indonesia. struktur pemerintahan-pun dibentuk. Menteri Kehakiman adalah jabatan yang harus diuru...

Soepomo, Penyusun Sistem Hukum Indonesia

sumber foto : Dokumentasi PUSTOKUM Kokohnya benteng Fasisme Jepang mulai hancur. Kekalahan atas sekutu terjadi dimana-mana. Banyak daerah yang direbut sekutu, Jepang terpukul mundur. Kekalahan Jep...

Posting Komentar

emo-but-icon
:noprob:
:smile:
:shy:
:trope:
:sneered:
:happy:
:escort:
:rapt:
:love:
:heart:
:angry:
:hate:
:sad:
:sigh:
:disappointed:
:cry:
:fear:
:surprise:
:unbelieve:
:shit:
:like:
:dislike:
:clap:
:cuff:
:fist:
:ok:
:file:
:link:
:place:
:contact:

WELCOME

NEWSHot in weekArsip

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item