Oleh Bakhrul
Amal
Hukum, seperti kita ketahui pada
umumnya, dilahirkan untuk kepentingan masyarakat umum. Sebelum menentukan
pembentukan hukum, ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh negara sebagai
pemegang otoritas pembuat hukum. Pertama, negara tidak boleh dijadikan alat
kekuasaan yang tidak berkepentingan umum. Kedua, negara harus bisa memberikan
sarana bagi masyarakat atau warga negara yang dirugikan atas tindakannya (negara),
dan sanksi kepada penyelenggara negara yang lalim. Memfungsikan aturan sebagai
titik tolak (starting-point) yang
kemudian mengembalikannya pada rakyat sebagai penentu dari untung dan ruginya
aturan tersebut (bargaining to mutual
advantage).
Arah kebijakan hukum tanah Indonesia,
sebelum kemerdekaan, dibuat secara sengaja untuk lebih menguntungkan pemodal
dan masyarakat asing. Waktu itu ada dua aturan yang amat terkenal, yakni Agrarische Wet yang diundangkan pada
tahun 1870, dan Agrarische Belsuit yang
berlaku pada tahun yang sama. Dua aturan tersebut memiliki perbedaan fokus, Agrarische Wet dibuat atas desakan
pengusaha sedangkan Agrarische Belsuit adalah
aturan lanjutan yang meligitimasi kepemilikan tanah bagi Pemerintah. Kedua
aturan itu saling berkaitan satu dengan lainnya. Pengusaha agar mudah perizinan
pemakaian tanahnya, maka tanah di seluruh wilayah Nusantara dimonopoli semuanya
milik Pemerintah dengan asas Domein
Verklaring.
Asas Domein Verklaring ini membuat seluruh hamparan tanah sepenuhnya di
bawah kekuasaan Pemerintah. Engelbrecht
menuliskan bahwa “tanah-tanah Negara..kewenangan untuk memutuskan pemberiannya
kepada pihak lain hanya ada Pemerintah”. Secara harfiah kewenangan tersebut
memiliki arti Pemerintah berkuasa mutlak atas tanah dan secara bebas bisa
memberikan hak-hak atas tanahnya itu kepada siapa pun yang disetujui, tanpa
peduli siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
Sebagai perlawanan terhadap paham
kapitalisme, pada era itu, pandangan sosialisme adalah hal yang muskil ditolak
untuk digunakan. Konsekuensi dari dikotomi pertentangan tersebut membuat
Pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan memilih sosialisme sebagai dasar
daripada pembentukan undang-undangnya. Abdurrahman Wahid bahkan menilai bahwa
undang-undang dasar 1945 sangat condong pada ajaran yang dibawa oleh Karl Marx.
Hal itu bisa dilihat dari pilihan instrumen Undang-Undang Dasar yang
berkebutuhan bagi orang banyak.
Paham Marxisme sebagai landasan
sosialisme menilai keberadaan semua norma hukum, atau kontrak (dengan
mempertimbangkan pemahaman materi kesetaraan subjek) atau hasil dari hukum
kesetaraan pertukaran barang, dipahami sebagai proses sosial. Hukum, menurut
Karl Marx dalam pembacaan Pawel Sydor, pada periode komunis
digunakan sebagai alat untuk memenangkan kelas pekerja. Pawel Sydor menilai
sebelum tahap komunisme, hukum terlebih dahulu jatuh dalam periode
sosialisme seperti yang dijadikan pilihan Indonesia pada awal kemerdekaan.
Hukum dalam negara sosialisme diupayakan untuk, masih menurut pandangan Pawel
Sydor merujuk pada Karl Marx, kesetaraan pertukaran dan mengurangi ketegangan
antara kapitalisme dan yang dieksploitasi.
Karl Marx dan bahkan Engels, diakui
Pawel Sydor, telah menunjukkan bahwa analisis sosial lembaga-lembaga hukum
individu mereka tidak memiliki konten hukum yang sama dengan kapitalis dan
buruh. Terlepas dari semi-semantik istilah seperti kepemilikan, pernikahan, hak
orang tua - yang berfungsi dari lembaga-lembaga ini di bidang hukum
didefinisikan juga dengan cara realisasi lembaga ini untuk menjadi berbeda,
dengan mengacu pada wakil-wakil dari kelas sosial yang berbeda. Pada akhirnya,
munculnya sosialisme ternyata menimbulkan dilema di kalangan Marxis atas
konkordansi istilah nomenklatur yang digunakan pada negara-negara ini dan
jaringan konseptual Marxis.
Semua hukum memiliki kandungan sosial
yang pasti. Hukum adalah bagian dari suprastruktur dan akhirnya ekspresi dari realitas
sosial. Marx membuat titik, berbicara hukum, bahwa hukum adalah ekspresi dari
hubungan–atau yang berlaku kepemilikan yang mengatakan, dari hubungan produksi
yang lebih mendasar dari hubungankepemilikan dalam arti ekspresi yang keluar. Faktanya,
di bawah kekuasaan kaum borjuis (kelas kapitalis) dan dengan dinamika sistem
kapitalis, tidak mungkin ada hukum yang memberikan orang "hak untuk
makan"–atau, jika ada semacam hukum, itu bukan hukum yang dapat
diberlakukan tanpa meruntuhkan dinamika dasar masyarakat kapitalis. Sosialis
membuat perbedaan yang tidak mendasar pada hubungan eksploitasi dan penindasan,
tetapi pada saat yang sama mereka mengandung sisa-sisa dan unsur yang–dan ada
kebutuhan untuk transformasi berkelanjutan dari hubungan sosialis, menuju
tujuan akhir sepenuhnya menghilangkan semua sisa eksploitasi, penindasan, dan
antagonisme sosial bila perlu pada skala dunia.
Indonesia yang pada masa akhir perang
dunia kedua barulah memperoleh kemerdekaannya tidak bisa luput dari dikotomi
pertentangan itu. Di sisi yang lain, Indonesia belum terlalu siap mengadopsi
secara menyeluruh konsep komunis sehingga lebih memilih sosialis sebagai dasar
perundangan-undangannya. Yang terpenting, secara garis besar melihat keadaan
yang sama yang ditulis Pawel Sydor, Indonesia sebagai bagian negara-negara
sosialis, secara nyata dan efisiendengan hukumnya itu harus mampu mengatur
proses produksi serta redistribusi guna menciptakan fondasi ekonomi kemenangan
masa depan, termasuk ekonomi yang bertentangan dengan kapitalisme.
Indonesia, sebagai negara baru,
tentunya telah memiliki aturan-aturan yang berupaya memberi manfaat bagi
kepentingan umum dan tentunya kesejahteraan sosial. Aturan tersebut bisa kita
lihat dalam tatanan moralitas masyarakat adat yang belum terlembaga. Di sisi
yang lain, Indonesia masih dibayangi aturan-aturan lama bekas kolonial. Hart,
melalui Satjipto Rahardjo, menilai bahwa keinginan Indonesia beranjak pada
aturan formal yang mereduksi kaidah-kaidah lokal dalam konteks sosialisme
adalah suatu perubahan dari rezim primer menuju kepada rezim sekunder, dari
nontekstual menuju kepada tekstual. Rezim primer bisa dikatakan rezim yang
hanya berisi “komunitas moral” atau masyarakat yang hanya diatur oleh aturan
bersama yang didukung oleh tekanan sosial yang mungkin dapat digambarkan
sebagai sistem hukum sederhana. Indonesia pasca kemerdekaan semula berada pada
posisi primer, namun setelahnya Indonesia perlu diakui sebagai rezim sekunder.
Hal ini diperkuat oleh ciri dimana rezim sekunder memerlukan ada tiga pola
dalam mengadakan hukumnya. Ciri tersebut terdiri dari :
a.
Peraturan yang berisi pengakuan
terhadap norma tertentu (rules of
recognition). Dengan adanya peraturan ini maka menjadi jelas dan pastilah
apa yang merupakan kaidah mengenai peraturan atau hubungan tertentu.
b.
Peraturan yang menggarap
pengubahan-pengubahan (rules of change).
Dengan adanya peraturan ini bisa ditentukan secara jelas dan tegas bagaimana
peraturan-peraturan baru yang meniadakan yang lama diciptakan.
c.
Peraturan bagi penyelesaian sengketa
(rules of adjudication). Peraturan
ini memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk membuat keputusan-keputusan
yang mempunyai otoritas mengenai ikhwal apakah suatu peraturan tertentu telah
dilanggar.
UUPA dilahirkan dengan didahalui
sebuah proses sejarah yang panjang. Penjajahan, penindasan, perlakuan
diskriminatif, dan eksploitatif terhadap hak suatu bangsa oleh bangsa lainnya
(Imperialisme) adalah hal-hal yang mendasari agar dibuat aturan baru, dan
menghapuskan aturan lama. Indonesia sebagai negara yang pernah mengalami
penjajahan, sebelum kemudian merdeka, adalah negara yang pada waktu itu dirasa
perlu membuat sebuah regulasi yang lebih condong kepada keadilan rakyatnya,
namun tidak pula terbelakang dalam pergaulan Internasional. Indonesia dalam
bagian rezim sekunder, secara garis besar, melakukan perubahan dan mencatat
empat prinsip dari UUPA atau Hukum Tanah Nasional, yakni 1) Nasionalisme; 2)
tanah dan sumber-sumber agraria lainnya memiliki fungsi sosial, bukan
komersial; 3) anti terhadap eksploitasi manusia; 4) landreform populis; 5) dan perencanaan agraria.
UUPA, dipertautkan dengan realitas
historis di atas, secara jelas memiliki arah tujuan hukum yang berkekuatan
serta berpihak pada paham sosialisme. Hukum Adat dijadikan pondasi dalam upaya
mempertentangkan Hukum Barat yang individualis. Asas Domein Varklaring tidak lagi digunakan, sebagai gantinya
adalah penguasaan negara yang tidak mutlak serta harus demi kepentingan bangsa.
UUPA juga tidak lagi bersifat dualisme, yakni Hukum Adat dan hukum Agraria Barat.
UUPA menginginkan kepemilikan satu dasar hukum tetap mengenai Hukum Tanah yang
melindungi pemilik hak atas tanah, terutama Warga Negara Indonesia. UUPA juga
menyebutkan bahwa hanya Warga Negara Indonesia yang boleh memiliki hak milik,
sebagai bentuk perlawanan terhadap swastanisasi dan kepemilikan secara semena-mena
oleh pihak asing pada Pemerintahan Hindia-Belanda. Semuanya secara jelas
menunjukan bahwa lahirnya UUPA, dengan semangat sosialisme, bertujuan untuk
mengembalikan hak-hak rakyat dan bangsa Indonesia yang semula diambil secara
paksa melalui penjajahan oleh Inggris maupun Barat dengan sistem
kapitalismenya.