Mulyana : Peneliti Bermental Komprador

Oleh
Muhtar Said

Orang-orang yang mempunyai latar belakang sebagai agen pembebas maka ia akan berbicara dengan kenyataan, bukan dengan kepalsuan. Mulyana Wirakusumah (Mulyana) sangat menyayangkan terhadap tingkah dan kerja para peneliti ilmu-ilmu sosial (pada umumnya), karena Mulyana merasa para peneliti itu tidak bekerja sesui dengan keadaan dan realitas sosial.

Peneliti ilmu-ilmu sosial mempunyai beberapa kecenderungan yang perlu diperhatikan oleh pembaca. Kecurigaan Mulyana terhadap para peneliti ilmu sosial adalah kaitannya dengan intervensi pemberi dana. Pendonor jelas mempunyai kepentingan untuk menyusupkan tujuannya dalam penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di bidang ilmu-ilmu sosial.

Marketing Research

Tujuan-tujuan penelitian oleh Mulyana dicurigai terlalu terpusat dan dipersempit oleh kehendak pemberi dana, dan biasanya tak lain penelitian tersebut mempunyai tujuannya mengarah ke implementasi sistem keyakinan tertentu, yang berasal dari pemberi dana dan kurang mengarah pada pengembangan penjeleasan-penjelasan atau kerangka pemikiran sosial yang cocok bagi masalah masalah nasional.[1] Kecurigaan Mulyana terhadap para peneliti ilmu sosial dilandasi dengan cara berpikir konspiratif daripada kontruktif, di mana pemberi donor penelitian tentu mempunyai kepentingan-kepentingan terselebung, bagi Mulyana seolah-olah tidak ada pemberian ikhlas di dunia ini karena data data hasil penelitian akan dilaporkan pada pemberi donor dan bisa jadi pemberi donor akan memanfaatkan data-data tersebut untuk kepentingannya.

Dibalik itu semua, hal itu memberikan petunjuk,  Mulyana tidak silau dengan gelar para peneliti yang berbasis akademik yang lebih dekat dengan cara-cara obyektik karena menggunakan metode penelitian yang ketat dalam melaksanakan penelitiannya itu.

Namanya peneliti tetaplah manusia, tidak terkecuali peneliti yang berasal dari dunia akdemik, bisa saja “baju-baju” akademik yang dipakai oleh para peneliti hanyalah selimut belaka yang dijadikan tutup bagi keserakahan mereka terhadap nafsu duniawi, bukan nafsu untuk mengamalkan ilmu-ilmunya untuk masyarakat.

Ada semacam pesanan terhadap hasil penelitian itu, begitulah cara pandang Mulyana terhadap para peneliti yang disokong oleh dana pemerintah ataupun para pemberi dana mancanegara. Bagi Mulyana para peneliti yang disokong oleh dana dari mancanegara ataupun pemerintah selalu terkungkung pada sebuah tuntutan-tuntutan penelitian yang mempunyai relevansi nyata bagi masalah-masalah pengambilan kebijakan. model penelti yang seperti ini oleh mulyana disebut sebagai “marketing research”[2]

Penelitian yang dibiayai oleh para pendonor sangat rawan disusupi oleh kepentingan dan tujuan kaum kapitalis. Kaum kapitalis mempunyai uang yang bisa dijadikan suntikan bagi para peneliti. Misalnya, bisa saja para pengusaha rumah makan membiayai penelitian tentang bahaya penggunaan mie instan, kemudian hasil penelitian tersebut bisa digunakan oleh pengusaha pemilik rumah makan untuk mengampanyekan supaya masyarakat dijauhkan untuk makan mie instan. Harapannya jelas, masyarakat diarahkan lagi untuk berbondong-bondong ke rumah makan, bukan ke mie intans.

Selain itu, Mulyana juga kurang percaya pada peneliti ilmu sosial karena para peneliti menganggap dirinya itu paling obyektif. Bagi Mulyana terlalu mudah menilai obyektifitas seseorang hanya dilihat melalui metode penelitian.

Rasa curiga terhadap para peneliti itu sudah tertanam dalam hati dan piiran Mulyana, karena Mulyana selalu mempunyai pemikiran tidak ilmu yang bebas nilai. Pada hakikatnya ilmu itu memihak. Persoalan ilmu (atau hasil penelitian) itu memihak kepada siapa adalah persolan lain. Jadi, independenitas dunia ilmu terus bisa dipertanyakan. Meskipun demikian, seharusnya Mulyana juga melunakan hatinya untuk mengakui para peneliti atau para ilmuan mempunyai sumbangsih yang kuat terhadap perkembangan peradaban di suatu wilayah.

Banyak sejarah yang mencatat, perkembangan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan oleh sosok-sosok orang yang mempunyai ilmu, peneliti adalah orang yang menggeluti ilmu. Jumlah orang yang seperti ini sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah masyarakat pada umumnya. Tetapi peneliti sering kali terasa dominan daripada kelompok lainnya. Hal itu sangat wajar karena peneliti mempunyai kekuatan gagasan, konsep dan pemikiran yang meyelimuti dirinya, sehingga jumlah yang sedikit itu bisa mengendalikan serta menentukan sejarah.

Tidak heran, dan bisa dilihat masyarakat yang terus menerus melakukan pembaharuan terhadap ilmu pengetahuan biasanya mempunyai pemikiran yang maju dan cepat berkembang, sementara masyarakat yang perkembangan ilmunya lambat biasanya tertinggal.

Kunci penting yang menentukan perkembangan ilmu adalah para ilmuan itu sendiri.[3] Sedangkan orang bisa disebut sebagai ilmuan ketika mereka sering melakukan penelitian. Di dalam proses penelitian akan ada benturan data-data dan teori, itu adalah model “penggodokan” dalam ilmu pengetahuan sehingga melahirkan konsep-konsep yang baru dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, sehingga masyarakat terus menerus akan dihidangkan pentunjuk untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan.

Ilmu memang bisa mengarahkan masyarakat dari zaman kegelapan menjadi zaman yang terang benerang. Untuk itu, para peneliti harus mampu merasakan itu, apabila para peneliti memang benar-benar membawa misi mengentaskan masyarakat dari kegelapan maka ia harus mau mandiri dan tidak tergantung pada pendonor yang juga mempunyai keinginan lainnya.

Seorang ilmuan sejati akan menjadikan ilmu sebagai media untuk membangun keluhuran nilai-nilai kemanusia. Diharapkan para ilmuan selalu menempatkan nilai-nilai kemanusian dalam kondisi dialogis yang dilakukan atas dasar saling pengertian dengan realitas yang ada di sekelilingnya.

Konsep dealogis ini sngat diperlukan guna menjaga kerangka emansipasi, bukan penguasaan. Untuk itu seorang peneliti memang sudah seharusnya memihak terhadap kemanusiaan. Pemihakannya itu dilakukan terhadap dua posisi yang kontradiktif. Pertama, pada sisi nilai yang diposisikan dengan fakta dan kedua pada posisi yang mampu mengembangkan kebiasaan-kebiasaan refleksi kritis.[4] Kedua pemikiran ini sesungguhnya bukanlah hal yang menyenangkan. Hal itu bisa terjadi karena pemisahan subjektif atau nilai. Perbedaan antara apa yang disebut sebagai fakta “keras” dengan kelembutan “nilai”, kebenaran dengan kegembiraan, objektifitas dengan subjektifitas, adalah instrumen menarik dan rumit untuk ditangani karena cenderung tidak diadaptasikan pada kebudayaan.

Kebimbangan seperti yang ditulis di atas selalu menghinggapi para peneliti. Di sisi lain dia mengikuti keinginan para pendonor dan di sisi lain dirinya akan menguak tabir permasalah-permasalahan yang ada di masyarakat. Dan bisa saja, data-data hasil penelitian itu akan digunakan oleh pendonor untuk menjalankan misi-misi terselubung guna kepentingan kapitalnya. Begitulah posisi para peneliti yang tergantung pada sokongon donor.

Mentalitas Komprador

Kegelisahan terhadap maraknya para peneliti yang demikian itu, seharusnya para akademisi yang ada di universitas menjadi penyegar. Namun, Mulyana sangat menyayangkan sekali, karena para peneliti di universitas akan “menukarkan” hasil penelitiannnya dengan sebuah gelar akademis. Sehingga pekerjaan peneliti hanyalah sebuah jembatan untuk menaiki tangga karir di universitas, ketika gelar bertambah maka pundi-pundi uang-pun meningkat dan otomatis namanya akan menjadi tersiar kemana-mana karena adanya publikasi. Dengan demikian, pastilah bisa dijadikan senjata untuk menarik proyek-proyek penelitian lainnya. Oleh Mulyana, para peneliti yang sudah terjangkiti oleh penyakit ini disebutnya sebagai orang yang mempunyai “mentalitas komprador”.[5] Mereka menggadaikan ilmunya hanya untuk sebuah jabatan belaka dan tujuan material lainnya.

Mulyana mengetahui betul model peneliti yang seperti itu, karena Mulyana seorang dosen kriminologi di Universitas Indonesia, jadi tahu betul seluk beluk para peneliti yang berbasis akademisi. Namun, Mulyana  bukan tipe yang memanfaatkan hasil penelitiannya untuk menggapai kedunawiaan, hal itu bisa dibuktikan, sampai akhir hayatnya, Mulyana  tidak punya rumah karena dia selalu berpindah dari kontrakan satu ke kontrakan lainnnya.

Mulyana lebih banyak menghabiskan dengan masyarakat yang terpinggirkan, bisa dilihat dari banyak tulisan Mulyana yang memakai sudut pandang masyarakat kelas bawah dalam memandang sebuah kebijakan atau kejadian-kejadian sosial lainnya. Banyaknya kejahatan itu dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya kemiskinan. Kemiskinan dalam sudut pandang Mulyana bukanlah terjadi karena adanya sebuah takdir namun karena ada sistem yang membuatnya miskin, begitulah salah satu contoh sudut pandang yang Mulyana gunakan, tidak melulu mengamini kebijakan atau sistem yang dibuat oleh pemerintah.

Mulyana banyak melahirkan tulisan-tulisan yang menggambarkan realitas masyarakat kekinian. Hal itu ia lakukan sebagai tugas seorang akademisi yang mempunyai ilmu pengetahuan yang luas dan ilmu itu digunakan untuk menyuarakan kaum-kaum yang terpinggirkan oleh sistem. Tapi kesederhanaannya itulah yang membuat Mulyana terus mendapatkan “gelar” kehormatan atau dihormati oleh orang-orang yang berada disekelilingnya, sehingga Mulyana melahirkan banyak kader-kader militan dalam berbagai bidang.

Apa yang ingin diperankan seorang Mulyana, yang di dalam jiwanya itu terdapat jiwa-jiwa akademisi yang bernaung di universitas ialah semacam intelektual organis, yang bekerja bukan hanya melalui tulisan, tetapi juga aktif dalam pengorganisasian masyarakat. Sebagai dosen, ia banyak terjun ke lapangan langsung sehingga bisa mengamati kejadian lebih dekat daripada hanya menjadi akademisi murni yang terus berkutat dengan buku dan lebih percaya data-data atau angka statistik daripada realita yang berkembang.

Banyak juga para peneliti sosial yang hidup di masyarakat, bergumul dengan masyarakat, hidup dalam kesunyian tanpa adanya bantuan pendanaan dari pemerintah atau pendonor lainnya. Orang-orang yang seperti ini akan melahirkan ide-ide yang murni untuk kebaikan masyarakat karena yang ia tulis adalah realita kehidupan yang ada di masyarakat. Artinya, orang yang bergelut disini sudah memilih, ilmu-ilmu yang dimilikinya itu akan selalu dipihakan kepada masyarakat kecil.

Jadi, kampus yang sudah diidentikan dengan menara gading yang jauh dari permasalahan masyarakat, seolah-olah akan diruntuhkan oleh Mulyana. Sebagai seorang akademisi, Mulyana menunjukan bahwa ia juga sebagai seorang aktivis yang terus menyuarakan nilai-nilai kemanusian. Tidak hanya rutin berangkat ke kampus dan membicarakan sesuatu di kelas dan materinya sangat jauh dengan kondisi-kondisi atau permasalahan yang berkembang di masyarakat. Seorang peneliti haruslah membaca masyarakat dari dekat, mempelajari permaslahan-permasalahan yang ada di masyarakat dengan hati apabila ingin menegakan nilai-nila kemanusiaan.

Pramodya Ananta Toer menjadi salah satu contoh seorang peneliti yang terus menerus membicarakan fakta yang ada di masyarakat, tanpa ada modal dari pendonor ia tetap berkarya, mekipun hidup dalam “kemiskinan’ tidak seperti para peneliti-peneliti borjuis lainnya yang lebih banyak menghitung anggaran proposal daripada menulis dengan keadaan yang bersih dari intruksi dan pesanan para pendonor.

Membaca karya Pram itu seperti datang dan melihat sendiri persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Sehingga, karya-karya Pram dirasa akan menggoncang kekuasaan, padahal Pram hanya membicarakan apa yang terjadi di masyarakat.




[1] “Penelitian Ilmu-ilmu Sosial untuk Siapa”. Mulyana W. Kusumah, Kompas 3 Desember 1980
[2] Ibid..Penelitian Ilmu-ilmu Sosial untuk Siapa”...
[3] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 2010, hlm 94
[4] Adi Armin, Richard Rorty, Teraju, Jakarta, 2003, hlm 7
[5] Logcit ..Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial untuk Siapa?.

Related

Artikel 6242527246865386373

Posting Komentar

emo-but-icon

WELCOME

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Hot in week

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item