Mulyana : Peneliti Bermental Komprador
https://pustokum.blogspot.com/2017/05/mulyana-peneliti-bermental-komprador.html
Oleh
Muhtar Said
Orang-orang
yang mempunyai latar belakang sebagai agen pembebas maka ia akan berbicara
dengan kenyataan, bukan dengan kepalsuan. Mulyana Wirakusumah (Mulyana) sangat
menyayangkan terhadap tingkah dan kerja para peneliti ilmu-ilmu sosial (pada
umumnya), karena Mulyana merasa para peneliti itu tidak bekerja sesui dengan
keadaan dan realitas sosial.
Peneliti
ilmu-ilmu sosial mempunyai beberapa kecenderungan yang perlu diperhatikan oleh
pembaca. Kecurigaan Mulyana terhadap para peneliti ilmu sosial adalah kaitannya
dengan intervensi pemberi dana. Pendonor jelas mempunyai kepentingan untuk
menyusupkan tujuannya dalam penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di
bidang ilmu-ilmu sosial.
Marketing
Research
Tujuan-tujuan
penelitian oleh Mulyana dicurigai terlalu terpusat dan dipersempit oleh
kehendak pemberi dana, dan biasanya tak lain penelitian tersebut mempunyai
tujuannya mengarah ke implementasi sistem keyakinan tertentu, yang berasal dari
pemberi dana dan kurang mengarah pada pengembangan penjeleasan-penjelasan atau
kerangka pemikiran sosial yang cocok bagi masalah masalah nasional.[1]
Kecurigaan Mulyana terhadap para peneliti ilmu sosial dilandasi dengan cara
berpikir konspiratif daripada kontruktif, di mana pemberi donor penelitian
tentu mempunyai kepentingan-kepentingan terselebung, bagi Mulyana seolah-olah
tidak ada pemberian ikhlas di dunia ini karena data data hasil penelitian akan
dilaporkan pada pemberi donor dan bisa jadi pemberi donor akan memanfaatkan
data-data tersebut untuk kepentingannya.
Dibalik
itu semua, hal itu memberikan petunjuk,
Mulyana tidak silau dengan gelar para peneliti yang berbasis akademik
yang lebih dekat dengan cara-cara obyektik karena menggunakan metode penelitian
yang ketat dalam melaksanakan penelitiannya itu.
Namanya
peneliti tetaplah manusia, tidak terkecuali peneliti yang berasal dari dunia
akdemik, bisa saja “baju-baju” akademik yang dipakai oleh para peneliti
hanyalah selimut belaka yang dijadikan tutup bagi keserakahan mereka terhadap
nafsu duniawi, bukan nafsu untuk mengamalkan ilmu-ilmunya untuk masyarakat.
Ada
semacam pesanan terhadap hasil penelitian itu, begitulah cara pandang Mulyana
terhadap para peneliti yang disokong oleh dana pemerintah ataupun para pemberi
dana mancanegara. Bagi Mulyana para peneliti yang disokong oleh dana dari
mancanegara ataupun pemerintah selalu terkungkung pada sebuah tuntutan-tuntutan
penelitian yang mempunyai relevansi nyata bagi masalah-masalah pengambilan kebijakan.
model penelti yang seperti ini oleh mulyana disebut sebagai “marketing research”[2]
Penelitian
yang dibiayai oleh para pendonor sangat rawan disusupi oleh kepentingan dan
tujuan kaum kapitalis. Kaum kapitalis mempunyai uang yang bisa dijadikan
suntikan bagi para peneliti. Misalnya, bisa saja para pengusaha rumah makan
membiayai penelitian tentang bahaya penggunaan mie instan, kemudian hasil
penelitian tersebut bisa digunakan oleh pengusaha pemilik rumah makan untuk
mengampanyekan supaya masyarakat dijauhkan untuk makan mie instan. Harapannya
jelas, masyarakat diarahkan lagi untuk berbondong-bondong ke rumah makan, bukan
ke mie intans.
Selain
itu, Mulyana juga kurang percaya pada peneliti ilmu sosial karena para peneliti
menganggap dirinya itu paling obyektif. Bagi Mulyana terlalu mudah menilai
obyektifitas seseorang hanya dilihat melalui metode penelitian.
Rasa
curiga terhadap para peneliti itu sudah tertanam dalam hati dan piiran Mulyana,
karena Mulyana selalu mempunyai pemikiran tidak ilmu yang bebas nilai. Pada
hakikatnya ilmu itu memihak. Persoalan ilmu (atau hasil penelitian) itu memihak
kepada siapa adalah persolan lain. Jadi, independenitas dunia ilmu terus bisa
dipertanyakan. Meskipun demikian, seharusnya Mulyana juga melunakan hatinya
untuk mengakui para peneliti atau para ilmuan mempunyai sumbangsih yang kuat
terhadap perkembangan peradaban di suatu wilayah.
Banyak
sejarah yang mencatat, perkembangan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan
oleh sosok-sosok orang yang mempunyai ilmu, peneliti adalah orang yang
menggeluti ilmu. Jumlah orang yang seperti ini sangat sedikit dibandingkan
dengan jumlah masyarakat pada umumnya. Tetapi peneliti sering kali terasa
dominan daripada kelompok lainnya. Hal itu sangat wajar karena peneliti
mempunyai kekuatan gagasan, konsep dan pemikiran yang meyelimuti dirinya,
sehingga jumlah yang sedikit itu bisa mengendalikan serta menentukan sejarah.
Tidak
heran, dan bisa dilihat masyarakat yang terus menerus melakukan pembaharuan
terhadap ilmu pengetahuan biasanya mempunyai pemikiran yang maju dan cepat
berkembang, sementara masyarakat yang perkembangan ilmunya lambat biasanya
tertinggal.
Kunci
penting yang menentukan perkembangan ilmu adalah para ilmuan itu sendiri.[3]
Sedangkan orang bisa disebut sebagai ilmuan ketika mereka sering melakukan
penelitian. Di dalam proses penelitian akan ada benturan data-data dan teori,
itu adalah model “penggodokan” dalam ilmu pengetahuan sehingga melahirkan
konsep-konsep yang baru dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, sehingga
masyarakat terus menerus akan dihidangkan pentunjuk untuk terus melakukan
perbaikan-perbaikan.
Ilmu
memang bisa mengarahkan masyarakat dari zaman kegelapan menjadi zaman yang
terang benerang. Untuk itu, para peneliti harus mampu merasakan itu, apabila
para peneliti memang benar-benar membawa misi mengentaskan masyarakat dari
kegelapan maka ia harus mau mandiri dan tidak tergantung pada pendonor yang
juga mempunyai keinginan lainnya.
Seorang
ilmuan sejati akan menjadikan ilmu sebagai media untuk membangun keluhuran nilai-nilai
kemanusia. Diharapkan para ilmuan selalu menempatkan nilai-nilai kemanusian
dalam kondisi dialogis yang dilakukan atas dasar saling pengertian dengan
realitas yang ada di sekelilingnya.
Konsep
dealogis ini sngat diperlukan guna menjaga kerangka emansipasi, bukan
penguasaan. Untuk itu seorang peneliti memang sudah seharusnya memihak terhadap
kemanusiaan. Pemihakannya itu dilakukan terhadap dua posisi yang kontradiktif.
Pertama, pada sisi nilai yang diposisikan dengan fakta dan kedua pada posisi yang
mampu mengembangkan kebiasaan-kebiasaan refleksi kritis.[4]
Kedua pemikiran ini sesungguhnya bukanlah hal yang menyenangkan. Hal itu bisa
terjadi karena pemisahan subjektif atau nilai. Perbedaan antara apa yang
disebut sebagai fakta “keras” dengan kelembutan “nilai”, kebenaran dengan
kegembiraan, objektifitas dengan subjektifitas, adalah instrumen menarik dan
rumit untuk ditangani karena cenderung tidak diadaptasikan pada kebudayaan.
Kebimbangan
seperti yang ditulis di atas selalu menghinggapi para peneliti. Di sisi lain
dia mengikuti keinginan para pendonor dan di sisi lain dirinya akan menguak
tabir permasalah-permasalahan yang ada di masyarakat. Dan bisa saja, data-data
hasil penelitian itu akan digunakan oleh pendonor untuk menjalankan misi-misi
terselubung guna kepentingan kapitalnya. Begitulah posisi para peneliti yang
tergantung pada sokongon donor.
Mentalitas Komprador
Kegelisahan
terhadap maraknya para peneliti yang demikian itu, seharusnya para akademisi
yang ada di universitas menjadi penyegar. Namun, Mulyana sangat menyayangkan
sekali, karena para peneliti di universitas akan “menukarkan” hasil
penelitiannnya dengan sebuah gelar akademis. Sehingga pekerjaan peneliti
hanyalah sebuah jembatan untuk menaiki tangga karir di universitas, ketika
gelar bertambah maka pundi-pundi uang-pun meningkat dan otomatis namanya akan
menjadi tersiar kemana-mana karena adanya publikasi. Dengan demikian, pastilah
bisa dijadikan senjata untuk menarik proyek-proyek penelitian lainnya. Oleh
Mulyana, para peneliti yang sudah terjangkiti oleh penyakit ini disebutnya
sebagai orang yang mempunyai “mentalitas komprador”.[5]
Mereka menggadaikan ilmunya hanya untuk sebuah jabatan belaka dan tujuan
material lainnya.
Mulyana
mengetahui betul model peneliti yang seperti itu, karena Mulyana seorang dosen kriminologi
di Universitas Indonesia, jadi tahu betul seluk beluk para peneliti yang
berbasis akademisi. Namun, Mulyana bukan
tipe yang memanfaatkan hasil penelitiannya untuk menggapai kedunawiaan, hal itu
bisa dibuktikan, sampai akhir hayatnya, Mulyana
tidak punya rumah karena dia selalu berpindah dari kontrakan satu ke
kontrakan lainnnya.
Mulyana
lebih banyak menghabiskan dengan masyarakat yang terpinggirkan, bisa dilihat
dari banyak tulisan Mulyana yang memakai sudut pandang masyarakat kelas bawah
dalam memandang sebuah kebijakan atau kejadian-kejadian sosial lainnya.
Banyaknya kejahatan itu dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya kemiskinan.
Kemiskinan dalam sudut pandang Mulyana bukanlah terjadi karena adanya sebuah
takdir namun karena ada sistem yang membuatnya miskin, begitulah salah satu
contoh sudut pandang yang Mulyana gunakan, tidak melulu mengamini kebijakan
atau sistem yang dibuat oleh pemerintah.
Mulyana
banyak melahirkan tulisan-tulisan yang menggambarkan realitas masyarakat
kekinian. Hal itu ia lakukan sebagai tugas seorang akademisi yang mempunyai
ilmu pengetahuan yang luas dan ilmu itu digunakan untuk menyuarakan kaum-kaum
yang terpinggirkan oleh sistem. Tapi kesederhanaannya itulah yang membuat
Mulyana terus mendapatkan “gelar” kehormatan atau dihormati oleh orang-orang
yang berada disekelilingnya, sehingga Mulyana melahirkan banyak kader-kader
militan dalam berbagai bidang.
Apa
yang ingin diperankan seorang Mulyana, yang di dalam jiwanya itu terdapat
jiwa-jiwa akademisi yang bernaung di universitas ialah semacam intelektual
organis, yang bekerja bukan hanya melalui tulisan, tetapi juga aktif dalam
pengorganisasian masyarakat. Sebagai dosen, ia banyak terjun ke lapangan
langsung sehingga bisa mengamati kejadian lebih dekat daripada hanya menjadi
akademisi murni yang terus berkutat dengan buku dan lebih percaya data-data
atau angka statistik daripada realita yang berkembang.
Banyak
juga para peneliti sosial yang hidup di masyarakat, bergumul dengan masyarakat,
hidup dalam kesunyian tanpa adanya bantuan pendanaan dari pemerintah atau
pendonor lainnya. Orang-orang yang seperti ini akan melahirkan ide-ide yang
murni untuk kebaikan masyarakat karena yang ia tulis adalah realita kehidupan yang
ada di masyarakat. Artinya, orang yang bergelut disini sudah memilih, ilmu-ilmu
yang dimilikinya itu akan selalu dipihakan kepada masyarakat kecil.
Jadi,
kampus yang sudah diidentikan dengan menara gading yang jauh dari permasalahan
masyarakat, seolah-olah akan diruntuhkan oleh Mulyana. Sebagai seorang
akademisi, Mulyana menunjukan bahwa ia juga sebagai seorang aktivis yang terus
menyuarakan nilai-nilai kemanusian. Tidak hanya rutin berangkat ke kampus dan
membicarakan sesuatu di kelas dan materinya sangat jauh dengan kondisi-kondisi
atau permasalahan yang berkembang di masyarakat. Seorang peneliti haruslah
membaca masyarakat dari dekat, mempelajari permaslahan-permasalahan yang ada di
masyarakat dengan hati apabila ingin menegakan nilai-nila kemanusiaan.
Pramodya
Ananta Toer menjadi salah satu contoh seorang peneliti yang terus menerus
membicarakan fakta yang ada di masyarakat, tanpa ada modal dari pendonor ia
tetap berkarya, mekipun hidup dalam “kemiskinan’ tidak seperti para
peneliti-peneliti borjuis lainnya yang lebih banyak menghitung anggaran
proposal daripada menulis dengan keadaan yang bersih dari intruksi dan pesanan
para pendonor.
Membaca karya Pram itu seperti datang dan
melihat sendiri persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Sehingga, karya-karya
Pram dirasa akan menggoncang kekuasaan, padahal Pram hanya membicarakan apa
yang terjadi di masyarakat.
[1]
“Penelitian Ilmu-ilmu Sosial untuk Siapa”. Mulyana W. Kusumah, Kompas 3
Desember 1980
[2]
Ibid..Penelitian Ilmu-ilmu Sosial untuk Siapa”...
[3] The
Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu,
Liberty, Yogyakarta, 2010, hlm 94
[4] Adi
Armin, Richard Rorty, Teraju,
Jakarta, 2003, hlm 7
[5] Logcit
..Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial untuk Siapa?.