M.R. S Budhyarto Martoatmodjo, Pendiri UGM Lahir Dari Rahim Bardijah

Hari itu, tepatnya 16 November 1898 tangis bayi pecah di Keraton Kasunanan,[1] kota Solo.[2] Entah dari sudut ruang mana suara tangis itu berasal.

Seorang ibu, bernama Bardijah tampak menyunggingkan senyum lembutnya. Peluh keringat membasahi tubuhnya. Setelah ia berjuang dalam proses persalinan yang melelahkan. Beban berat yang ia rasakan selama sembilan bulan lamanya, hilang seketika. Rona-rona bahagia memendar di setiap sudut ruangan itu. Semua orang di ruangan persalinan itu gembira menyambut bayi yang baru lahir itu.

Dari sudut lain, seorang guru Keraton tampak datang tergopoh-gopoh menuju asal suara tangis bayi. Ia pun dengan segera masuk ke ruangan itu. Dengan senyum, ia memandang wajah istrinya dan bayi laki-laki mungil yang sedang menangis itu. Sang guru Keraton itu bernama Bukarjo Martoatmodjo,[3] suami Bardijah dan ayah dari bayi laki-laki itu.

Bukarjo dan Bardijah saling berpandangan sejenak. Lalu tanpa dikomando, mereka berdua memandang bayi laki-laki mungil itu dengan lembut. Kebahagiaan meliputi hati keduanya. Sedang wajah mereka berdua tampak sumringah. Bayi laki-laki itu lahir dengan selamat. Bayi laki-laki itu kemudian diberi nama Raden S. Budhyarto Martoatmodjo.

Bayi laki-laki itu lahir di sebuah Keraton.[4] Seperti menandakan sesuatu. Ia bukan anak raja, tapi ia masih ada hubungan kerabat dengan keluarga Keraton. Ayahnya, Bukarjo, secara nasab bersambung dengan Raden Tumenggung Ario Suronegoro.[5] Kalau dirunut lagi ke atas, masih memiliki trah dengan raja Demak Bintoro.[6]  Karena masih bersambung dengan keluarga Keraton, di depan nama bayi itu tersemat gelar Raden.[7]

Sedang kakak-kakak dari bayi laki-laki itu pun berkerumun melihat adiknya yang baru lahir. Mereka yang masih kecil-kecil juga tampak bahagia melihat ayah ibunya bahagia. Pandangan mata mereka seolah enggan beranjak melihat bayi yang baru lahir itu. Mereka mempunyai adik baru.

Mereka adalah Raden Ajeng Kardinah Martoatmodjo yang tertua. Disusul oleh Raden Boentaran Martoatmodjo.[8] Lalu yang terakhir adalah Raden Soepadio Martoatmodjo.[9] Sebenarnya Budhyarto masih mempunyai kakak satu lagi, tapi ia sudah meninggal dunia.[10]

Bukarjo Martoatmodjo, ayah Budhyarto, adalah seorang guru Keraton Kasunanan. Awalnya, ia tinggal di daerah Purworejo. Anaknya, Boentaran lahir di Purworejo. Sedangkan anaknya yang lain, Soepadio, lahir di Solo. Kepindahannya ke Keraton membawa serta keluarganya. Termasuk istrinya, Bardijah. Sebuah kehormatan bagi Bukarjo diminta oleh pihak Kasunanan Surakarta untuk menjadi guru di sana.

Tidak diketahui dengan pasti Bukarjo sebagai guru apa.[11] Tapi yang pasti, ia sempat tinggal di keraton beserta keluarganya. Hal ini membuat Budhyarto yang masih bayi itu, selama tahun pertama kehidupannya berada di lingkungan keraton. Budhyarto sempat merasakan suasana kehidupan di salah satu pusat kekuasaan di Jawa. Sebuah kesempatan yang tak bisa didapatkan oleh umumnya orang waktu itu.

Saat Budhyarto lahir, raja yang memerintah di keraton Kasunanan Surakarta adalah Paku Buwana X putra dari Paku Buwana IX. Paku Buwana X diangkat menjadi raja pada tahun 1893 atau enam tahun sebelum Budhyarto lahir. Ia memerintah sampai tahun 1939. Namun pemerintahan kerajaan waktu itu berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Segala kebijakan raja harus melalui persetujuan Belanda.[12]

Namun, pada tahun 1899, atau setahun setelah lahirnya Budhyarto, di Negeri Belanda sedang ramai memperbincangkan soal nasib Hindia Belanda. Politik kolonial Belanda sedang menuai protes. Angin segar sedang berpihak kepada Hindia Belanda. Kritik pedas dilontarkan oleh seorang pengacara sekaligus mantan pejabat peradilan kolonial, juga anggota parlemen Negeri Belanda. Dia adalah C. Th. Van Deventer.[13]

C. Th. Van Deventer menulis dengan judul “Utang Budi”. Dalam tulisannya, ia melemparkan kritikan pedas kepada pemerintah negeri Belanda. Ia mengingatkan bahwa bangsa Belanda berutang kepada Hindia Belanda oleh keuntungan-keuntungan yang diperolehnya selama dasawarsa-dasawarsa yang lalu.[14] Tulisannya itu membuat pemerintah negeri Belanda berpikir ulang dalam memperlakukan Hindia Belanda.

Desakan yang dilakukan C. Th. Van Deventer dan orang-orang Belanda yang sepaham dengannya menuai hasil.[15] Ratu Wilhelmina, pada tahun 1901, saat pidato penobatannya sebagai Ratu Belanda, ia mengumandangkan zaman baru dalam politik kolonial, mengamini apa yang dikemukana oleh C. Th. Van Deventer dengan sebutan politik etis.[16]

Apa yang dilakukan oleh C. Th. Van Deventer dan kawan-kawan sebenarnya kelanjutan dari apa yang sudah dimulai sebelumnya. Penentangan ini sudah ada dari tersebarnya karya sastra Roman berjudul Max Hevelaar tahun 1860. Roman yang ditulis oleh Multatuli ini, berisi tentang penentangan terhadap politik pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang melampaui batas.[17]

Pemerintah Hindia Belanda sebagai kepanjangan tangan negeri Belanda memang masih kuat pengaruhnya. Termasuk di lingkungan keraton Surakarta di mana Budhyarto lahir. Tapi karena pengaruh perubahan politik kolonial itu, pemerintah Hindia Belanda mulai memperhatikan soal kesejahteraan penduduk Hindia Belanda, termasuk soal pendidikan keluarga keraton.

Pada tanggal 4 Juni 1903, Sekretaris kelas I melayangkan surat kepada Direktur Pendidikan Agama dan Kerajinan yaitu J.H. Abendanon. Dalam suratnya itu, ia menyarankan supaya para raja dapat memberikan pendidikan yang diperlukan kepada putra-putranya. Dan dalam hal ini, pemerintah Hindia Belanda harus memberikan bantuan.[18]

Lalu, J.H. Abendanon mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal waktu itu yaitu Rooseboom pada tanggal 25 November 1903. J.H. Abendanon melaporkan jawaban dari surat sekretaris pemerintah kelas I itu. Dalam surat itu, salah satunya disebutkan bahwa Kasunanan Surakarta termasuk yang menanggapi dengan positif ide tersebut. Bahkan, tanggapan itu berasal dari prakarsa Susuhunan sendiri.[19]

Mungkin, situasi perubahan politik kolonial itu tak begitu digubris oleh orang-orang yang tinggal di keraton Surakarta. Mereka hanya menjalankan tugas-tugas yang diberikan. Seperti Bukarjo, tiap hari menjalankan tugasnya sebagai guru keraton.

Apalagi sejak Bukarjo mendapatkan permata hatinya yang baru, hari-harinya dipenuhi oleh keceriaan. Ia tak pernah luput mengamati pertumbuhan anaknya dari detik demi detik. Tangisnya, rengeknya, di malam yang gelap tak membuat Bukarjo jenuh. Dengan sigap ia bangun dan menenangkan anaknya itu. Sambil membangunkan istrinya yang sedang tidur pulas setelah seharian kelelahan mengurus Budhyarto.

Senyum dan tawa Budhyarto yang masih kecil itu selalu ditunggu. Sesekali, ketika waktu senggang, Bukarjo dengan lembut menggendongnya. Menimang-nimangnya di bawah atap sudut keraton. Sambil bercanda dengan anak-anaknya yang lain, kakak-kakak Budhyarto.

Tapi, kegembiraan Bukarjo tak berlangsung lama. Saat Budhyarto menginjak usia setahun, Bukarjo terserang penyakit tipes.[20] Karena penyakitnya itu, ia tak lagi bisa membobong anaknya yang sedang beranjak usia setahun itu. Ia terbaring lemas di atas ranjang dengan wajah sendu. Aktifitas mengajarnya sebagai guru keraton pun terhenti.

Bardijah, ibu Budhyarto, dengan telaten mengurus suaminya. Di wajahnya terlukis sedih. Ketika ia melihat suaminya terbaring sakit di ranjang. Sesekali ia memandang anaknya yang masih kecil itu. Kedua matanya tampak sembab, berkaca-kaca, air matanya seperti mau meleleh. Tapi, ia tahan.

Saat itu dokter belum sebanyak sekarang ini. Mungkin waktu itu Bukarjo, ayah Budhyarto, ditangani oleh tabib keraton. Namun, seiring bertambahnya hari penyakit tipes yang diderita Bukarjo bertambah parah. Takdir tak bisa ditolak. Ternyata penyakit tipes Bukarjo itu mengantarkannya untuk menghadap kepada Tuhan. Bukarjo menghembuskan nafas terakhirnya di usia sangat muda, 30 tahun.[21]

Bukarjo tak lagi bisa melihat anaknya, Budhyarto, yang sedang bertumbuh. Umurnya ditakdirkan Tuhan hanya sampai pada usia 30 tahun. Usia yang begitu muda. Sedangkan Budhyarto, tak bisa lagi bergelantungan di sela-sela kaki sang ayah. Karena ayahnya, telah pergi untuk selamanya.

Bardijah, istrinya, yang selalu setia menemani di sampingnya, tak bisa lagi membendung air matanya. Tangisnya lirih, sesenggukan, menghantarkan kepergian suaminya menghadap Sang Pencipta. Budhyarto yang saat itu baru berusia setahun, belum tahu menahu kalau ayahnya telah pergi untuk selamanya. Ketika tahu ibunya menangis, ia pun hanya ikut menangis di pelukan ibunya.

Mendung pekat menyelimuti hati Bardijah. Ia telah menjadi seorang janda. Suaminya meninggalkannya begitu cepat. Padahal anak-anaknya masih kecil-kecil, belum beranjak dewasa. Terbayang olehnya, jalan terjal membesarkan keempat anaknya seorang diri, tanpa ada suami yang membantu di sisinya.

Setelah suaminya wafat, Bardijah pun sudah tidak mempunyai alasan lagi untuk terus bertempat tinggal di lingkungan keraton. Karena ia tinggal di keraton sebab mengikuti suaminya. Ia dan anak-anaknya pun akhirnya meninggalkan keraton kasunanan Surakarta menuju Purworejo. Tempat di mana ia pernah tinggal.[22]

Kesedihan yang menyelimuti hati Bardijah mulai hilang. Saat melihat anak-anaknya yang masih kecil, terutama Budhyarto yang masih umur setahun, semangatnya kembali menyala. Ia harus tetap tegar. Karena anak-anaknya masih membutuhkan kasih sayangnya. Ia harus bertahan untuk membesarkan anak-anaknya dan memberikan pendidikan yang terbaik untuk mereka.

Anaknya yang pertama, Kardinah, sepeninggal ayahnya, ketika ibunya mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan adik-adiknya, sebagai anak perempuan mbarep,[23] ia yang akan menggantikan tugas ibunya mengasuh mereka. Di usia yang begitu muda, Kardinah akan memposisikan diri sebagai seorang ibu. Mengasuh ketiga adiknya, Boentaran, Soepadio, dan Budhyarto.

Ketiga adik Kardinah masih kecil-kecil. Boentaran yang tertua setelahnya, baru berusia 3 tahunan.[24] Sedangkan Soepadio sekitar usia 2 tahunan.[25] Budhyarto, yang termuda dan terkecil baru menginjak usia 1 tahun. Rasa sedih pun hinggap dalam benak Kardinah, saat melihat ketiga adiknya yang masih kecil-kecil itu. Tapi sebagai anak yang tertua, ia harus tetap tegar dan siap menanggung beban orang dewasa.

Bardijah, sebagai seorang mendiang istri guru keraton, ia tahu betul pentingnya pendidikan. Dalam benaknya, ia bertekad, anak-anaknya itu harus mengenyam pendidikan. Masa depan mereka harus dipersiapkan sejak awal melalui pendidikan. Karena hanya dengan pendidikan, mereka bisa berguna untuk bangsa dan kaumnya yang sedang terjajah. Bagaimana pun caranya, anaknya harus sekolah. Begitu tekad Bardijah untuk anak-anak tercintanya


oleh : Ibnu Mufti (Peneliti Pustokum)


[1] Awalnya Keraton Kasunanan berada di Kartasura. Namun akibat pemberontakan, keraton Kasunanan yang berada di Kartasura hancur. Lalu Sri Susuhunan Paku Buwono II memerintahkan para abdi dalemnya untuk membangun keraton yang baru. Paku Buwono II mengutus petinggi keraton yang terdiri dari Tumenggung Tirtowiguno, Pangeran Wijil, Tumenggung Honggowongso dan abdi dalem lainnya untuk mencari tempat baru sebagai lokasi pembangunan Keraton Kasunanan itu. Mereka kemudian melakukan laku tirakat memanjatkan doa kepada Allah SWT untuk memohon petunjuk-Nya. Maka kemudian terpilihlah desa Sala sebagai pengganti lokasi keraton Kasunanan yang sebelumnya berada di Kartasura yang sudah hancur itu. Lihat M. Syaom Barliana, Arsitektur, Urbanitas dan Pendidikan Budaya Berkota, Yogyakarta, Deepublish, 2014, hal. 94. Baca juga Ki Sabdacarakatama, Sejarah Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, Narasi, 2008, hal. 10
[2] Kota Solo dikenal sebagai kota yang paling dinamis di Jawa sejak sebelum kemerdekaan. Karena Solo menjadi ajang pembentukan organisasi-organisasi pergerakan dan partai-partai politik. Sarekat Islam (SI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) – dua partai besar pada masa Orde Lama – berasal dan membesa dari sini. Bahkan citra “Kawah Candradimuka para politisi” itu belum berhenti hingga kini. Bisa dikatakan, Solo merupakan salah satu kota pedalaman Jawa yang relatif maju. Lihat M. Syaom Barliana, op. cit., hal. 94
[3] Wawancara dengan Tri Budhy Hartati Budhy Rahayu, anak ketiga Mr. R. S. Budhyarto Martoatmodjo, 16 Maret 2015
[4] Wawancara dengan Tri Budhy Hartati Budhy Rahayu, anak ketiga Mr. R. S. Budhyarto Martoatmodjo, 16 Maret 2015.
[5] Pada zaman Mataram Kartasura, pada sekitar tahun 1744, jabatan Tumenggung diberi tugas khusus untuk mengepalai golongan-golongan rakyat tertentu. Pada saat itu, jabatan itu dipegang oleh empat orang Tumenggung. Pertama, Tumenggung yang mengepalai 6.000 orang Kalang yaitu orang yang diberi tugas sebagai tukang kayu pengangkut barang, kusir pedati, dan sebagainya). Kedua, Tumenggung yang membawahkan 1.000 orang Gowong, tugas orang Gowong, antara lain membuat kerangka rumah dan bangunan lain. Ketiga, Tumenggung dari 1.200 orang Tuwaburu yaitu punggawa raja yang ditugaskan menangkap binatang buas, termasuk harimau. Keempat, Tumenggung yang mengepalai 1.400 orang Kadipaten. Baca Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta, Balai Pustaka, 2008, hal. 66
[6] Wawancara dengan Bapak Hiram Budhyarto (cucu dari Mr. Sundoro Budhyarto Martoatmodjo), 16 Maret 2015.
[7] Raden adalah gelar terendah pada jenjang kebangsawanan Jawa. Yang memakai gelar Raden adalah anak buyut dari seorang raja. Sedangkan buyut raja memakai gelar riyo (dengan panggilan Raden Mas Riyo). Lalu yang berhak memakai gelar pangeran adalah anak cucu raja. Baca Denys Lombard, Nusa Jawa: Warisan kerajaan-kerajaan konsentris, bagian 3, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 74
[8] Boentaran Martoatmodjo lahir di Loano (Purworejo), pada 11 Januari 1896. Ia adalah seorang dokter. Riwayat pendidikannya, di tingkat dasar ia tempuh di Europeesche Lagere Shool (ELS) atau Sekolah Dasar bangsa Eropa. Pada tahun 1918 ia menyelesaikan pendidikannya di School ter Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) atau Sekolah Pendidikan Dokter Indonesia. Lalu ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden bagian Kesehatan dan selesai pada tahun 1930. Setahun selanjutnya, tahun 1931, ia mendapat gelar Doctor in de geneesk di Leiden.
Ketika Indonesia masih dijajah Belanda, Dr Boentaran memegang jabatan penting dalam bidang pekerjaannya, di antaranya pada tahun 1919 ke Bandjarmasin (B.) oentoek memberantas penjakit cholera, lalo ikoet expeditie ke “Tjoerah-Brem-Brem” Soengai Boeloengan (Tandjoengselor B.); 1920-1921 bedrijfs arts Poelau Laoet; 1921-1922 civiel geneesheer Samarinda (B.); 1922-1928 Gouv. Ind. Arts Denpasar (Bali), Mataram (Lombok), Kraksaan dan Djember; 1932-1931 pada C.B.Z. Djakarta; 1932-1933 di Semarang dalam djawatan pemberantasan penjakit lepra; 1933-1938 dokter kota Semarang merangkap wk. havenarts; 1938 di Lepra-Instituut Djakarta (3 boelan); 1938-1941 Res. Arts Banjoemas (Poewokerto); 1-7-1941.
Lalu ketika Jepang menguasai Indonesia, ia juga menduduki jabatan penting yaitu pada tahun 1943 Fuku Gityoo kedoea Tyuuoo Sangi-In;  1-3-1944 Fuku Katyoo Syuu Hookookai, Semarang.
Selain itu, Dr Boentaran juga mempunyai beberapa karangan tulisan, di antaranya Bijdrage tot de studie v.h. ultra-virus tuberculeus (dissertatie oentoek menjadi “doctor” Leiden 1931); Dermatitis arzenobensoica (Dr. R. Boentaran en G. A. v. der Horst) Medische Berichten 1938 pag. 102. – Enkele opmerkingen over de bestrijding der tuberculose als volksziekte; Orgaan V.I.G. Jubileumnummer 1936 pag. 79 – Pemandangan singkat perihal kesehatan dan makanan ra’jat. Berita Ketabiban 1942 pag. 2.
Beberapa perkumpulan yang ia ikuti pada masa Jepang, antara lain pada tahun 1942 menjadi pemimpin Pekope dan Kopera (Komite pembantoe rakjat); anggota kehormatan dan penasehat I.S.I.; penasehat “Persatoean Ahli Dagang Indonesia” dan pemimpin P.B.O. (Pedjagaan bahaja oedara) bag. Kesehatan, semoeanja di Semarang. Lihat Gunseikanbu, Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa, Yogyakarta, Gadjah Mada Press, 1986, hal. 328 
[9] Menurut Ibu Hartati (anak ketiga Mr. Budhyarto), Raden Soepadio ini dijadikan anak angkat oleh orang Bandung. Kemudian ia pindah tinggal di Bandung bersama orang tua angkatnya.
Raden Soepadio lahir di Solo, pada tanggal 14 Juni 1897. Riwayat pendidikannya, sekolah dasarnya ia tempuh di ELS dan tamat tahun 1911. Lalu ia melanjutkan di Koningin Wilhelmina School (KWS) atau sekolah teknik koningin Wilhelmina dan selesai pada tahun 1916. Setelah itu, ia menempuh pendidikan di d. opzichter S.S. kl. dan tamat tahun 1919. Riwayat pekerjaannya, tahun 1916 di Angkoetan Darat mulai seb. 1.1. onderopzichter bag. Djembatan. Kemudian pada tahun 1939, ia menjadi opzichter Kepala di Bandoeng. Lihat Gunseikanbu, op.cit., hal. 217.
[10] Wawancara dengan Ibu Tri Budhy Hartati Budhy Rahayu, anak ketiga Mr. R. S. Budhyarto Martoatmodjo, 16 Maret 2015.
[11] Yang perlu diketahui, di dalam keraton ada jabatan penting yang ada hubungannya dengan kemampuan intelektual. Jabatan itu ialah jabatan pujangga. Di keraton Surakarta, diantara pujangga yang terkenal adalah Yosodipuro dan Ronggowarsito. Pujangga ini adalah pejabat yang mempunyai keahlian dalam pelbagai bidang pengetahuan, seperti dalam sastra, adat tradisional, seni, sejarah, ngelmu Jawa, bahkan juga mempunyai pengetahuan cukup tentang agama. Raja menugaskan pujangga ini untuk menulis seluk-beluk yang berhubungan dengan raja, keraton, maupun negara, misalnya menulis genealogi raja, menyusun syair (tembang) mengenai peristiwa-peristiwa dalam keraton, menulis cerita sejarah (babad), juga menulis ramalan, filsafat, dan petuah-petuah cerita pewayangan. Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Op. Cit., hal. 68
[12] Hal ini terjadi terutama setelah Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830, baik Kesultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta, wilayah kekuasaannya menjadi makin sempit dan makin bergantung kepada pemerintah Hindia Belanda. Kedua negara ini kehilangan kekuasaannya atas daerah Mancanegara sehingga wilayah kekuasaannya hanya terbatas pada derah-daerah Pajang, Mataram, Sukowati, dan Gunung Kidul. Penghasilan mereka tidak lagi diperoleh dari pemungutan pajak, tetapi digaji oleh pemerintah Hindia Belanda yang jumlahnya ditentukan dengan perjanjian. Soal pembagian wilayah antara Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, pada tanggal 27 September 1930 diadakan perjanjian dengan Belanda yang isinya menentukan bahwa Sunan Surakarta menguasai Pajang dan Sukowati, sedangkan Sultan Yogyakarta memerintah daerah Mataram dan Gunung Kidul. Baca Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Op. Cit., hal. 58-59
[13] Lihat Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1989, hal. 27
[14] Ibid
[15] Perubahan garis politik kolonial untuk pertama kalinya diucapkan oleh van Dedem sebagai anggota parlemen. Dalam pidatonya tahun 1891, ia mengutarakan keharusan untuk memisahkan keuangan Hindia Belanda dari negeri Belanda. Ia juga memperjuangkan kemajuan rakyat, antara lain dengan membuat bangunan umum disentralisasi, kesejahteraan rakyat, dan ekspansi yang pada umumnya menuju ke suatu politik yang konstruktif. Dan van Deventer termasuk yang melanjutkan misi van Dedem ini. Selain van Deventer adalah van Kol dan Brooschooft. Lihat Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975, hal. 35
[16] Dalam pidatonya, Ratu Wilhelmina mengatakan, “Sebagai negara Kristen, Negara Belanda wajib memperbaiki kedudukan hukum orang-orang Kristen pribumi di Kepulauan Hindia, memberikan dukungan kuat pada misi kristen, dan menanamkan pada seluruh sistem pemerintahan dengan kesadaran bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban moral terhadap penduduk di kawasan ini. Lihat Akira Nagazumi, Op. Cit., hal. 27-28
[17] Denys Lombard berpendapat bahwa roman Max Havelaar ini dalam konteks sejarah kesusastraan merupakan tonggak gemilang anti-kolonialisme sebelum konsepnya sendiri lahir. Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan, jilid 1, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal. 44
[18] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia 1900-1940; Kebijaksanaan Pendidikan di Hindia Belanda 1900-1940, Jakarta, 1977, hal. 34.
[19] Dalam surat tersebut juga terdapat jawaban dari Residen Yogyakarta. Jawaban dari Residen Yogyakarta, menilai bahwa sekolah-sekolah yang ada tidak ada yang cocok. Lalu mengusulkan menganjurkan kepada mereka mata-mata pelajaran tertentu oleh guru-guru khusus, tetapi tidak dalam bahasa Belanda. Lihat Ibid, hal. 34-39.
[20] Wawancara dengan Ibu Tri Budhy Hartati Budhy Rahayu, anak ketiga Mr. R. S. Budhyarto Martoatmodjo, 16 Maret 2015.
[21] Wawancara dengan Ibu Tri Budhy Hartati Budhy Rahayu, anak ketiga Mr. R. S. Budhyarto Martoatmodjo, 16 Maret 2015.
[22] Di Purworejo, Bardijah melahirkan anaknya yang kedua, yaitu Boentaran, tepatnya di daerah Loano. Lihat catatan kaki nomor 8.
[23] Mbarep adalah sebutan dalam bahasa Jawa untuk anak pertama baik laki-laki maupun perempuan.
[24] Lihat catatan kaki nomor 8.
[25] Lihat catatan kaki nomor 9.

Related

Artikel 8615274418969463339

Posting Komentar

emo-but-icon

WELCOME

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Hot in week

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item