M.R. S Budhyarto Martoatmodjo, Pendiri UGM Lahir Dari Rahim Bardijah
https://pustokum.blogspot.com/2016/07/mr-s-budhyarto-martoatmodjo-pendiri-ugm.html
Hari
itu, tepatnya 16 November 1898 tangis bayi pecah di Keraton Kasunanan,[1]
kota Solo.[2]
Entah dari sudut ruang mana suara tangis itu berasal.
Seorang
ibu, bernama Bardijah tampak menyunggingkan senyum lembutnya. Peluh keringat
membasahi tubuhnya. Setelah ia berjuang dalam proses persalinan yang
melelahkan. Beban berat yang ia rasakan selama sembilan bulan lamanya, hilang
seketika. Rona-rona bahagia memendar di setiap sudut ruangan itu. Semua orang
di ruangan persalinan itu gembira menyambut bayi yang baru lahir itu.
Dari
sudut lain, seorang guru Keraton tampak datang tergopoh-gopoh menuju asal suara
tangis bayi. Ia pun dengan segera masuk ke ruangan itu. Dengan senyum, ia
memandang wajah istrinya dan bayi laki-laki mungil yang sedang menangis itu.
Sang guru Keraton itu bernama Bukarjo Martoatmodjo,[3] suami
Bardijah dan ayah dari bayi laki-laki itu.
Bukarjo
dan Bardijah saling berpandangan sejenak. Lalu tanpa dikomando, mereka berdua
memandang bayi laki-laki mungil itu dengan lembut. Kebahagiaan meliputi hati
keduanya. Sedang wajah mereka berdua tampak sumringah. Bayi laki-laki itu lahir
dengan selamat. Bayi laki-laki itu kemudian diberi nama Raden S. Budhyarto
Martoatmodjo.
Bayi
laki-laki itu lahir di sebuah Keraton.[4]
Seperti menandakan sesuatu. Ia bukan anak raja, tapi ia masih ada hubungan kerabat
dengan keluarga Keraton. Ayahnya, Bukarjo, secara nasab bersambung dengan Raden
Tumenggung Ario Suronegoro.[5]
Kalau dirunut lagi ke atas, masih memiliki trah dengan raja Demak
Bintoro.[6] Karena masih bersambung dengan keluarga Keraton,
di depan nama bayi itu tersemat gelar Raden.[7]
Sedang
kakak-kakak dari bayi laki-laki itu pun berkerumun melihat adiknya yang baru
lahir. Mereka yang masih kecil-kecil juga tampak bahagia melihat ayah ibunya
bahagia. Pandangan mata mereka seolah enggan beranjak melihat bayi yang baru
lahir itu. Mereka mempunyai adik baru.
Mereka
adalah Raden Ajeng Kardinah Martoatmodjo yang tertua. Disusul oleh Raden
Boentaran Martoatmodjo.[8]
Lalu yang terakhir adalah Raden Soepadio Martoatmodjo.[9]
Sebenarnya Budhyarto masih mempunyai kakak satu lagi, tapi ia sudah meninggal
dunia.[10]
Bukarjo
Martoatmodjo, ayah Budhyarto, adalah seorang guru Keraton Kasunanan. Awalnya,
ia tinggal di daerah Purworejo. Anaknya, Boentaran lahir di Purworejo.
Sedangkan anaknya yang lain, Soepadio, lahir di Solo. Kepindahannya ke Keraton
membawa serta keluarganya. Termasuk istrinya, Bardijah. Sebuah kehormatan bagi
Bukarjo diminta oleh pihak Kasunanan Surakarta untuk menjadi guru di sana.
Tidak
diketahui dengan pasti Bukarjo sebagai guru apa.[11]
Tapi yang pasti, ia sempat tinggal di keraton beserta keluarganya. Hal ini
membuat Budhyarto yang masih bayi itu, selama tahun pertama kehidupannya berada
di lingkungan keraton. Budhyarto sempat merasakan suasana kehidupan di salah
satu pusat kekuasaan di Jawa. Sebuah kesempatan yang tak bisa didapatkan oleh
umumnya orang waktu itu.
Saat
Budhyarto lahir, raja yang memerintah di keraton Kasunanan Surakarta adalah
Paku Buwana X putra dari Paku Buwana IX. Paku Buwana X diangkat menjadi raja
pada tahun 1893 atau enam tahun sebelum Budhyarto lahir. Ia memerintah sampai
tahun 1939. Namun pemerintahan kerajaan waktu itu berada di bawah kekuasaan
pemerintah Hindia Belanda. Segala kebijakan raja harus melalui persetujuan
Belanda.[12]
Namun,
pada tahun 1899, atau setahun setelah lahirnya Budhyarto, di Negeri Belanda
sedang ramai memperbincangkan soal nasib Hindia Belanda. Politik kolonial
Belanda sedang menuai protes. Angin segar sedang berpihak kepada Hindia
Belanda. Kritik pedas dilontarkan oleh seorang pengacara sekaligus mantan
pejabat peradilan kolonial, juga anggota parlemen Negeri Belanda. Dia adalah C.
Th. Van Deventer.[13]
C.
Th. Van Deventer menulis dengan judul “Utang Budi”. Dalam tulisannya, ia
melemparkan kritikan pedas kepada pemerintah negeri Belanda. Ia mengingatkan
bahwa bangsa Belanda berutang kepada Hindia Belanda oleh keuntungan-keuntungan
yang diperolehnya selama dasawarsa-dasawarsa yang lalu.[14] Tulisannya
itu membuat pemerintah negeri Belanda berpikir ulang dalam memperlakukan Hindia
Belanda.
Desakan
yang dilakukan C. Th. Van Deventer dan orang-orang Belanda yang sepaham
dengannya menuai hasil.[15]
Ratu Wilhelmina, pada tahun 1901, saat pidato penobatannya sebagai Ratu
Belanda, ia mengumandangkan zaman baru dalam politik kolonial, mengamini apa
yang dikemukana oleh C. Th. Van Deventer dengan sebutan politik etis.[16]
Apa
yang dilakukan oleh C. Th. Van Deventer dan kawan-kawan sebenarnya kelanjutan
dari apa yang sudah dimulai sebelumnya. Penentangan ini sudah ada dari
tersebarnya karya sastra Roman berjudul Max Hevelaar tahun 1860. Roman
yang ditulis oleh Multatuli ini, berisi tentang penentangan terhadap politik
pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang melampaui batas.[17]
Pemerintah
Hindia Belanda sebagai kepanjangan tangan negeri Belanda memang masih kuat
pengaruhnya. Termasuk di lingkungan keraton Surakarta di mana Budhyarto lahir.
Tapi karena pengaruh perubahan politik kolonial itu, pemerintah Hindia Belanda mulai
memperhatikan soal kesejahteraan penduduk Hindia Belanda, termasuk soal
pendidikan keluarga keraton.
Pada
tanggal 4 Juni 1903, Sekretaris kelas I melayangkan surat kepada Direktur
Pendidikan Agama dan Kerajinan yaitu J.H. Abendanon. Dalam suratnya itu, ia
menyarankan supaya para raja dapat memberikan pendidikan yang diperlukan kepada
putra-putranya. Dan dalam hal ini, pemerintah Hindia Belanda harus memberikan
bantuan.[18]
Lalu,
J.H. Abendanon mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal waktu itu yaitu Rooseboom
pada tanggal 25 November 1903. J.H. Abendanon melaporkan jawaban dari surat
sekretaris pemerintah kelas I itu. Dalam surat itu, salah satunya disebutkan
bahwa Kasunanan Surakarta termasuk yang menanggapi dengan positif ide tersebut.
Bahkan, tanggapan itu berasal dari prakarsa Susuhunan sendiri.[19]
Mungkin,
situasi perubahan politik kolonial itu tak begitu digubris oleh orang-orang
yang tinggal di keraton Surakarta. Mereka hanya menjalankan tugas-tugas yang
diberikan. Seperti Bukarjo, tiap hari menjalankan tugasnya sebagai guru
keraton.
Apalagi
sejak Bukarjo mendapatkan permata hatinya yang baru, hari-harinya dipenuhi oleh
keceriaan. Ia tak pernah luput mengamati pertumbuhan anaknya dari detik demi
detik. Tangisnya, rengeknya, di malam yang gelap tak membuat Bukarjo jenuh.
Dengan sigap ia bangun dan menenangkan anaknya itu. Sambil membangunkan istrinya
yang sedang tidur pulas setelah seharian kelelahan mengurus Budhyarto.
Senyum
dan tawa Budhyarto yang masih kecil itu selalu ditunggu. Sesekali, ketika waktu
senggang, Bukarjo dengan lembut menggendongnya. Menimang-nimangnya di bawah
atap sudut keraton. Sambil bercanda dengan anak-anaknya yang lain, kakak-kakak
Budhyarto.
Tapi,
kegembiraan Bukarjo tak berlangsung lama. Saat Budhyarto menginjak usia
setahun, Bukarjo terserang penyakit tipes.[20] Karena
penyakitnya itu, ia tak lagi bisa membobong anaknya yang sedang beranjak usia
setahun itu. Ia terbaring lemas di atas ranjang dengan wajah sendu. Aktifitas
mengajarnya sebagai guru keraton pun terhenti.
Bardijah,
ibu Budhyarto, dengan telaten mengurus suaminya. Di wajahnya terlukis
sedih. Ketika ia melihat suaminya terbaring sakit di ranjang. Sesekali ia
memandang anaknya yang masih kecil itu. Kedua matanya tampak sembab, berkaca-kaca,
air matanya seperti mau meleleh. Tapi, ia tahan.
Saat
itu dokter belum sebanyak sekarang ini. Mungkin waktu itu Bukarjo, ayah
Budhyarto, ditangani oleh tabib keraton. Namun, seiring bertambahnya hari
penyakit tipes yang diderita Bukarjo bertambah parah. Takdir tak bisa ditolak.
Ternyata penyakit tipes Bukarjo itu mengantarkannya untuk menghadap kepada
Tuhan. Bukarjo menghembuskan nafas terakhirnya di usia sangat muda, 30 tahun.[21]
Bukarjo
tak lagi bisa melihat anaknya, Budhyarto, yang sedang bertumbuh. Umurnya
ditakdirkan Tuhan hanya sampai pada usia 30 tahun. Usia yang begitu muda.
Sedangkan Budhyarto, tak bisa
lagi bergelantungan di sela-sela kaki sang ayah. Karena ayahnya, telah pergi
untuk selamanya.
Bardijah,
istrinya, yang selalu setia menemani di sampingnya, tak bisa lagi membendung
air matanya. Tangisnya lirih, sesenggukan, menghantarkan kepergian suaminya
menghadap Sang Pencipta. Budhyarto yang saat itu baru berusia setahun, belum
tahu menahu kalau ayahnya telah pergi untuk selamanya. Ketika tahu ibunya
menangis, ia pun hanya ikut menangis di pelukan ibunya.
Mendung
pekat menyelimuti hati Bardijah. Ia telah menjadi seorang janda. Suaminya
meninggalkannya begitu cepat. Padahal anak-anaknya masih kecil-kecil, belum beranjak
dewasa. Terbayang olehnya, jalan terjal membesarkan keempat anaknya seorang
diri, tanpa ada suami yang membantu di sisinya.
Setelah
suaminya wafat, Bardijah pun sudah tidak mempunyai alasan lagi untuk terus
bertempat tinggal di lingkungan keraton. Karena ia tinggal di keraton sebab
mengikuti suaminya. Ia dan anak-anaknya pun akhirnya meninggalkan keraton
kasunanan Surakarta menuju Purworejo. Tempat di mana ia pernah tinggal.[22]
Kesedihan
yang menyelimuti hati Bardijah mulai hilang. Saat melihat anak-anaknya yang
masih kecil, terutama Budhyarto yang masih umur setahun, semangatnya kembali menyala.
Ia harus tetap tegar. Karena anak-anaknya masih membutuhkan kasih sayangnya. Ia
harus bertahan untuk membesarkan anak-anaknya dan memberikan pendidikan yang
terbaik untuk mereka.
Anaknya
yang pertama, Kardinah, sepeninggal ayahnya, ketika ibunya mencari nafkah untuk
mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan adik-adiknya, sebagai anak perempuan mbarep,[23]
ia yang akan menggantikan tugas ibunya mengasuh mereka. Di usia yang begitu
muda, Kardinah akan memposisikan diri sebagai seorang ibu. Mengasuh ketiga
adiknya, Boentaran, Soepadio, dan Budhyarto.
Ketiga
adik Kardinah masih kecil-kecil. Boentaran yang tertua setelahnya, baru berusia
3 tahunan.[24]
Sedangkan Soepadio sekitar usia 2 tahunan.[25]
Budhyarto, yang termuda dan terkecil baru menginjak usia 1 tahun. Rasa sedih pun
hinggap dalam benak Kardinah, saat melihat ketiga adiknya yang masih
kecil-kecil itu. Tapi sebagai anak yang tertua, ia harus tetap tegar dan siap menanggung
beban orang dewasa.
Bardijah, sebagai seorang mendiang istri guru keraton, ia tahu betul pentingnya
pendidikan. Dalam benaknya, ia bertekad, anak-anaknya itu harus mengenyam
pendidikan. Masa depan mereka harus dipersiapkan sejak awal melalui pendidikan.
Karena hanya dengan pendidikan, mereka bisa berguna untuk bangsa dan kaumnya
yang sedang terjajah. Bagaimana pun caranya, anaknya harus sekolah. Begitu
tekad Bardijah untuk anak-anak tercintanya
oleh : Ibnu Mufti (Peneliti Pustokum)
[1] Awalnya Keraton Kasunanan berada di Kartasura. Namun akibat
pemberontakan, keraton Kasunanan yang berada di Kartasura hancur. Lalu Sri
Susuhunan Paku Buwono II memerintahkan para abdi dalemnya untuk membangun
keraton yang baru. Paku Buwono II mengutus petinggi keraton yang terdiri dari
Tumenggung Tirtowiguno, Pangeran Wijil, Tumenggung Honggowongso dan abdi dalem
lainnya untuk mencari tempat baru sebagai lokasi pembangunan Keraton Kasunanan
itu. Mereka kemudian melakukan laku tirakat memanjatkan doa kepada Allah SWT
untuk memohon petunjuk-Nya. Maka kemudian terpilihlah desa Sala sebagai
pengganti lokasi keraton Kasunanan yang sebelumnya berada di Kartasura yang
sudah hancur itu. Lihat M. Syaom Barliana, Arsitektur, Urbanitas dan
Pendidikan Budaya Berkota, Yogyakarta, Deepublish, 2014, hal. 94. Baca juga
Ki Sabdacarakatama, Sejarah Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, Narasi,
2008, hal. 10
[2] Kota Solo dikenal sebagai kota yang paling dinamis di Jawa sejak
sebelum kemerdekaan. Karena Solo menjadi ajang pembentukan organisasi-organisasi
pergerakan dan partai-partai politik. Sarekat Islam (SI) dan Partai Komunis
Indonesia (PKI) – dua partai besar pada masa Orde Lama – berasal dan membesa
dari sini. Bahkan citra “Kawah Candradimuka para politisi” itu belum berhenti hingga
kini. Bisa dikatakan, Solo merupakan salah satu kota pedalaman Jawa yang
relatif maju. Lihat M. Syaom Barliana, op. cit., hal. 94
[3] Wawancara dengan Tri Budhy Hartati Budhy Rahayu, anak ketiga Mr. R.
S. Budhyarto Martoatmodjo, 16 Maret 2015
[4] Wawancara dengan Tri Budhy Hartati Budhy Rahayu, anak ketiga Mr. R.
S. Budhyarto Martoatmodjo, 16 Maret 2015.
[5] Pada zaman Mataram Kartasura, pada sekitar tahun 1744, jabatan
Tumenggung diberi tugas khusus untuk mengepalai golongan-golongan rakyat
tertentu. Pada saat itu, jabatan itu dipegang oleh empat orang Tumenggung.
Pertama, Tumenggung yang mengepalai 6.000 orang Kalang yaitu orang yang
diberi tugas sebagai tukang kayu pengangkut barang, kusir pedati, dan
sebagainya). Kedua, Tumenggung yang membawahkan 1.000 orang Gowong, tugas
orang Gowong, antara lain membuat kerangka rumah dan bangunan lain.
Ketiga, Tumenggung dari 1.200 orang Tuwaburu yaitu punggawa raja yang
ditugaskan menangkap binatang buas, termasuk harimau. Keempat, Tumenggung yang
mengepalai 1.400 orang Kadipaten. Baca Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta, Balai
Pustaka, 2008, hal. 66
[6] Wawancara
dengan Bapak Hiram Budhyarto (cucu dari Mr. Sundoro Budhyarto Martoatmodjo), 16 Maret 2015.
[7] Raden adalah gelar terendah pada jenjang kebangsawanan Jawa. Yang
memakai gelar Raden adalah anak buyut dari seorang raja. Sedangkan buyut raja
memakai gelar riyo (dengan panggilan Raden Mas Riyo). Lalu yang
berhak memakai gelar pangeran adalah anak cucu raja. Baca Denys Lombard,
Nusa Jawa: Warisan kerajaan-kerajaan konsentris, bagian 3, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 74
[8] Boentaran Martoatmodjo lahir di Loano (Purworejo), pada 11 Januari
1896. Ia adalah seorang dokter. Riwayat pendidikannya, di tingkat dasar ia
tempuh di Europeesche Lagere Shool (ELS) atau Sekolah Dasar bangsa
Eropa. Pada tahun 1918 ia menyelesaikan pendidikannya di School ter
Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) atau Sekolah Pendidikan Dokter
Indonesia. Lalu ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden bagian
Kesehatan dan selesai pada tahun 1930. Setahun selanjutnya, tahun 1931, ia
mendapat gelar Doctor in de geneesk di Leiden.
Ketika Indonesia masih dijajah Belanda, Dr
Boentaran memegang jabatan penting dalam bidang pekerjaannya, di antaranya pada
tahun 1919 ke Bandjarmasin (B.) oentoek memberantas penjakit cholera, lalo
ikoet expeditie ke “Tjoerah-Brem-Brem” Soengai Boeloengan (Tandjoengselor B.);
1920-1921 bedrijfs arts Poelau Laoet; 1921-1922 civiel geneesheer Samarinda (B.);
1922-1928 Gouv. Ind. Arts Denpasar (Bali), Mataram (Lombok), Kraksaan dan
Djember; 1932-1931 pada C.B.Z. Djakarta; 1932-1933 di Semarang dalam djawatan
pemberantasan penjakit lepra; 1933-1938 dokter kota Semarang merangkap wk.
havenarts; 1938 di Lepra-Instituut Djakarta (3 boelan); 1938-1941 Res. Arts
Banjoemas (Poewokerto); 1-7-1941.
Lalu ketika Jepang menguasai Indonesia, ia
juga menduduki jabatan penting yaitu pada tahun 1943 Fuku Gityoo kedoea Tyuuoo
Sangi-In; 1-3-1944 Fuku Katyoo Syuu
Hookookai, Semarang.
Selain itu, Dr Boentaran juga mempunyai
beberapa karangan tulisan, di antaranya Bijdrage tot de studie v.h.
ultra-virus tuberculeus (dissertatie oentoek menjadi “doctor” Leiden 1931);
Dermatitis arzenobensoica (Dr. R. Boentaran en G. A. v. der Horst)
Medische Berichten 1938 pag. 102. – Enkele opmerkingen over de bestrijding
der tuberculose als volksziekte; Orgaan V.I.G. Jubileumnummer 1936
pag. 79 – Pemandangan singkat perihal kesehatan dan makanan ra’jat. Berita
Ketabiban 1942 pag. 2.
Beberapa perkumpulan yang ia ikuti pada
masa Jepang, antara lain pada tahun 1942 menjadi pemimpin Pekope dan Kopera
(Komite pembantoe rakjat); anggota kehormatan dan penasehat I.S.I.; penasehat
“Persatoean Ahli Dagang Indonesia” dan pemimpin P.B.O. (Pedjagaan bahaja
oedara) bag. Kesehatan, semoeanja di Semarang. Lihat Gunseikanbu, Orang
Indonesia yang Terkemuka di Jawa, Yogyakarta, Gadjah Mada Press, 1986, hal.
328
[9] Menurut Ibu Hartati (anak ketiga Mr. Budhyarto), Raden Soepadio ini
dijadikan anak angkat oleh orang Bandung. Kemudian ia pindah tinggal di Bandung
bersama orang tua angkatnya.
Raden Soepadio lahir di Solo, pada tanggal
14 Juni 1897. Riwayat pendidikannya, sekolah dasarnya ia tempuh di ELS dan
tamat tahun 1911. Lalu ia melanjutkan di Koningin Wilhelmina School (KWS)
atau sekolah teknik koningin Wilhelmina dan selesai pada tahun 1916. Setelah
itu, ia menempuh pendidikan di d. opzichter S.S. kl. dan tamat tahun 1919.
Riwayat pekerjaannya, tahun 1916 di Angkoetan Darat mulai seb. 1.1.
onderopzichter bag. Djembatan. Kemudian pada tahun 1939, ia menjadi opzichter
Kepala di Bandoeng. Lihat Gunseikanbu, op.cit., hal. 217.
[10] Wawancara dengan Ibu Tri Budhy Hartati Budhy Rahayu, anak ketiga
Mr. R. S. Budhyarto Martoatmodjo, 16 Maret 2015.
[11] Yang perlu diketahui, di dalam keraton ada jabatan penting yang ada
hubungannya dengan kemampuan intelektual. Jabatan itu ialah jabatan pujangga.
Di keraton Surakarta, diantara pujangga yang terkenal adalah Yosodipuro dan
Ronggowarsito. Pujangga ini adalah pejabat yang mempunyai keahlian dalam
pelbagai bidang pengetahuan, seperti dalam sastra, adat tradisional, seni,
sejarah, ngelmu Jawa, bahkan juga mempunyai pengetahuan cukup tentang
agama. Raja menugaskan pujangga ini untuk menulis seluk-beluk yang berhubungan
dengan raja, keraton, maupun negara, misalnya menulis genealogi raja, menyusun
syair (tembang) mengenai peristiwa-peristiwa dalam keraton, menulis
cerita sejarah (babad), juga menulis ramalan, filsafat, dan petuah-petuah
cerita pewayangan. Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Op.
Cit., hal. 68
[12] Hal ini terjadi terutama setelah Perang Diponegoro selesai pada
tahun 1830, baik Kesultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta, wilayah
kekuasaannya menjadi makin sempit dan makin bergantung kepada pemerintah Hindia
Belanda. Kedua negara ini kehilangan kekuasaannya atas daerah Mancanegara
sehingga wilayah kekuasaannya hanya terbatas pada derah-daerah Pajang, Mataram,
Sukowati, dan Gunung Kidul. Penghasilan mereka tidak lagi diperoleh dari
pemungutan pajak, tetapi digaji oleh pemerintah Hindia Belanda yang jumlahnya
ditentukan dengan perjanjian. Soal pembagian wilayah antara Kasunanan Surakarta
dan Kesultanan Yogyakarta, pada tanggal 27 September 1930 diadakan perjanjian
dengan Belanda yang isinya menentukan bahwa Sunan Surakarta menguasai Pajang
dan Sukowati, sedangkan Sultan Yogyakarta memerintah daerah Mataram dan Gunung
Kidul. Baca Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Op. Cit.,
hal. 58-59
[13] Lihat Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi
Utomo 1908-1918, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1989, hal. 27
[14] Ibid
[15] Perubahan garis politik kolonial untuk pertama kalinya diucapkan
oleh van Dedem sebagai anggota parlemen. Dalam pidatonya tahun 1891, ia
mengutarakan keharusan untuk memisahkan keuangan Hindia Belanda dari negeri
Belanda. Ia juga memperjuangkan kemajuan rakyat, antara lain dengan membuat
bangunan umum disentralisasi, kesejahteraan rakyat, dan ekspansi yang pada
umumnya menuju ke suatu politik yang konstruktif. Dan van Deventer termasuk
yang melanjutkan misi van Dedem ini. Selain van Deventer adalah van Kol dan
Brooschooft. Lihat Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1975, hal. 35
[16] Dalam pidatonya, Ratu Wilhelmina mengatakan, “Sebagai negara
Kristen, Negara Belanda wajib memperbaiki kedudukan hukum orang-orang Kristen
pribumi di Kepulauan Hindia, memberikan dukungan kuat pada misi kristen, dan
menanamkan pada seluruh sistem pemerintahan dengan kesadaran bahwa Negeri
Belanda mempunyai kewajiban moral terhadap penduduk di kawasan ini. Lihat Akira
Nagazumi, Op. Cit., hal. 27-28
[17] Denys Lombard berpendapat bahwa roman Max Havelaar ini dalam
konteks sejarah kesusastraan merupakan tonggak gemilang anti-kolonialisme
sebelum konsepnya sendiri lahir. Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang
Budaya Batas-Batas Pembaratan, jilid 1, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,
1996, hal. 44
[18] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Badan Penelitian dan
Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia 1900-1940;
Kebijaksanaan Pendidikan di Hindia Belanda 1900-1940, Jakarta, 1977, hal.
34.
[19] Dalam surat tersebut juga terdapat jawaban dari Residen Yogyakarta.
Jawaban dari Residen Yogyakarta, menilai bahwa sekolah-sekolah yang ada tidak
ada yang cocok. Lalu mengusulkan menganjurkan kepada mereka mata-mata pelajaran
tertentu oleh guru-guru khusus, tetapi tidak dalam bahasa Belanda. Lihat Ibid,
hal. 34-39.
[20] Wawancara dengan Ibu Tri Budhy Hartati Budhy Rahayu, anak ketiga
Mr. R. S. Budhyarto Martoatmodjo, 16 Maret 2015.
[21] Wawancara dengan Ibu Tri Budhy Hartati Budhy Rahayu, anak ketiga
Mr. R. S. Budhyarto Martoatmodjo, 16 Maret 2015.
[22] Di Purworejo, Bardijah melahirkan anaknya yang kedua, yaitu
Boentaran, tepatnya di daerah Loano. Lihat catatan kaki nomor 8.
[23] Mbarep adalah sebutan dalam bahasa Jawa untuk anak pertama
baik laki-laki maupun perempuan.
[24] Lihat catatan kaki nomor 8.
[25] Lihat catatan kaki nomor 9.