Persamaan Ketatanegaraan Majapahit dengan Republik Unitaris Milik Muhammad Yamin ( Sebuah Cerita tentang Gadjah Mada)
https://pustokum.blogspot.com/2016/08/persamaan-ketatanegaraan-majapahit.html
Sumber gambar : |
Gadjah
Mada
Sosok misterius, mungkin begitulah penyematan yang
tepat bagi kehidupan Gajah Mada sebelum terkenal sebagai patih Kerajaan
Majapahit. Terdapat beberapa referensi dan cerita rakyat dari beberapa daerah,
namun semuanya masih tafsir yang belum jelas dan akan menimbulkan perdebatan
panjang, sehingga para sejarawan nusantara sampai saat ini belum menyepakati
mana yang benar.[1]
Dalam bukunya Muhammad Yamin menyiratkan bahwa awal
kehidupan Gajah Mada masih sangat gelap dan belum mendapat cahaya yang sangat
terang. Bukan hanya cerita dari aliran sungai Brantas dengan aliran begitu
deras dan sekeliling yang begitu indahnya pada awal abad ke-14 berdarah rakyat
Gajah Mada dilahirkan, namun juga cerita dari tanah pulau dewata, menurut
kepercayaan orang Bali dalam Kitab Usana Jawa, Gajah Mada dilahirkan di Pulau
Bali Agung dan pada suatu ketika nanti berpindah ke Majapahit. Gajah Mada
tidaklah beribu-bapak, melainkan terpencar dari dalam buah kelapa, sebagai penjelmaan
Hiang Narayana[2] ke atas
dunia. Mungkin sastrawan pada zaman itu melupakan asal-usul Gajah Mada, seorang
hebat yang pernah hidup di bumi nusantara.
Gajah Mada meniti karir dari bawah di tahun 1319
sebagai prajurit Bayangkara Kerajaan Majapahit. Di tahun yang sama pula situasi
di Kerajaan Majapahit sedang Keruh, banyak pegawai yang berkhianat dan terjadi
pemberontakan sehingga mengharuskan sang raja Sri Jayanegara harus mengungsi,
dalam pengungsiannya yang berangkat pada malam hari hanya diikuti oleh 15 orang
Bayangkara dimana waktu itu Gajah Mada sedang bertugas dan memangku jabatan
sebagai bekel yang mengepalai prajurit Bayangkara tersebut.[3]
Sebagai seorang pemimpin mengharuskan Gajah Mada untuk
berani dan bijaksana dalam memutuskan sesuatu demi keselamatan sang Raja. Dalam
pengungsian tersebut diceritakan ada seorang Bayangkara yang ingin ijin untuk
pulang, namun Gajah Mada mencegahnya dengan alasan dikhawatirkan akan
membongkar rahasia tempat persembunyian.
Sepekan berlalu, Gajah Mada meminta ijin untuk kembali
ke keraton untuk melihat situasi. Sesampainya di keraton Gajah Mada
menyampaikan kabar bahwa sang Raja telah mati dibunuh oleh pemberontak, semua
orang yang mendengar cerita Gajah Mada bersedih, kemudian Gajah Mada bertanya
dengan tenang kepada orang dikeraton bahwa bagaimana kalau Majapahit ini
dipimpin oleh seseorang dari pemberontakan? Semua menjawab tidak mau dan dengan
tenang kemudian Gajah Mada menceritakan bahwa sang Raja baik-baik saja,
kemudian Gajah Mada mengambil tindakan untuk membunuh para pemberontak.
Berkat keberanian dan jasanya Gajah Mada diangkat
menjadi patih di daerah kekuasaan Majapahit. Hingga suatu saat ketika Prabu
Jayanegara sakit maka seorang dokter bedah bernama tanca dipilih Gajah Mada,
namun ternyata terselip dendam dalam hati Tanca yang sakit hati karena
isterinya pernah di goda sang Prabu, maka bukan penyembuhan yang dilakukannya
melainkan pembunuhan terhadap sang Prabu, dengan sigap gajah Mada membunuh
Tanca karena kesetiaannya kepada sang Prabu.
Sepeninggal Jayanegara tidak ada putra mahkota untuk
menggantikannya, maka puncak pimpinan jatuh kepada putrinya yaitu Tribhuana
Tungga Dewi. Diceritakan oleh Muhammad Yamin suatu ketika Mahapatih Majapahit
waktu itu Arya Taddah menderita sakit dan untuk berjalan saja seolah tidak
mampu, maka beliau mengusulkan untuk Gajah Mada menggantikannya, namun hal
tersebut tak disetujui langsung. Baru setelah Gajah Mada memadamkan beberapa
pemberontakan ia diangkat menjadi Mahapatih Majapahit.
Penggambaran Yamin terhadap Gadjah
Mada
Dalam susunan Ketatanegaraan Majapahit posisi Gajah
Mada sangatlah istimewa, sebagai Mahapatih ia tidak hanya duduk dalam badan
pemerintahan yang bersusunan rapi, namun juga dia dapat menggerakkan
bagian-bagian badan itu untuk kemajuan negara dan bagi kepentingan rakyat.
Perlu diketahui bahwa pemerintahan Majapahit terbagi
atas bagian bawahan, tengahan dan atasan. Bagian bawahan dijalankan oleh
susunan persekutuan adat di seluruh nusantara, seperti desa di Pulau Jawa. Desa
yang beribu-ribu banyaknya itu menyusun diri sendiri secara adat dan mementingkan
kepentingan negara. Bagian tengahan dilaksanakan oleh Bupati dan Patih, baik di
darat dan pesisir. Ada juga raja-raja daerah yang masuk dalam wilayah
Majapahit. Sedangkan bagian atasan adalah pemerintah pusat yang berkedudukan di
ibukota kerajaan Majapahit. Di puncak pemerintahan itu duduk diatas singgasana
seorng Prabuyang menjunjung kedaulatan negara dan rakyat.[4]
Sistem pemerintahan inilah yang kemudian ditiru oleh Muhammad Yamin dalam
mengkonsep negara yang berbentuk Unitaris (Pusat, Daerah dan Persekutuan Desa).[5]
Muhammad Yamin menceritakan bahwa sang Prabu menjadi
ketua dalam sidang mahkota, yang dinamai Saptaprabu (ratu yang tujuh), dalam
sidang ini bermula terdiri dari 7 orang keluarga sang prabu dan permaisuri,
namun pada waktu pemerintahan Hayam Wuruk, anggota ditambah 2 orang sehingga
sidang dihadiri oleh 9 orang. Sidang Mahkota mengurus uurusan keraton dan
keluarga Maharaja. Di sekeliling sang Prabu untuk membantu pemerintahan terdapat
pula Badan Pemerintah yang empat.[6]
Mahapatih Gajah Mada jugalah yang menjadi panglima tertinggi dalam urusan
peperangan.
Jasa lain dari Gajah Mada adalahia meminta untuk
mengumpulkan beberapa surat piagam dan menyuruh membaharui yang sudah tua,
sehingga aturan undang-undang tidak hilang dilupakan begitu saja. Pengadilan
juga disusun sedemikian rupa sehingga memuaskan rasa keadilan bagi anak negeri.
Untuk memutuskan suatu perkara diturut aturan hukum adatseperti yang dilazimkan
dalam suatu daerah, dengan mengindahkan bukti undang-undang tulisan dan menurut
putusan pengadilan. Hakim mendapat kedudukan yang tiggi, dimana langsung
dibawah sang Prabu. Tak hanya piawai dalam angkat senjata, Gajah Mada juga
mahir dalam ketatanegaraan dan Hukum dibuktikan dengan ia menyusun sendiri
kitab undang-undang yang berlaku di Majapahit.
Seperti itulah gambaran sosok Gajah Mada menurut
Muhammad Yamin, Gajah Mada seorang yang dari kalangan bawah meniti karir dari
nol hingga sampai menjadi orang nomor dua di suatu negara. Yamin mengemasnya
secara apik dalam suatu tulisan sehingga pembacanya dapat mengalir seolah
memasuki zaman Kerajaan Majapahit. Kemahiran sastra Yamin tak didapat secara
instan, sejak kecil Yamin menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu, terutama
bahasa, sejarah dan hukum. Tak hanya membaca buku bacaan Yamiin juga melahap
teks apa saja, bahkan koran pembungkus makananpun ia lahap.[7]
Namun penggambaran kisah hidup Gajah Mada hampir mirip
dengan kisah hidup Yamin, dimana Yamin terlahir di bumi Andalas dan dari
keluarga biasa hingga nantinya menjadi seorang yang berpengaruh terhadap
republik ini. Yamin juga menjadi sosok yang kontroversial, dalam hal ini adalah
klaimnya terhadap penggambaran sosok Gajah Mada yang mengaju pada penemuannya
terhadap sesosok kepala manusia yang berbentuk seperti celengan kemudian ia
memastikan bahwa itu adalah sosok Gajah Mada, tak bisa dipungkiri juga bahwa
sosok kepala itu adalah berbentuk bulat dengan dahi lebar dan pipi tembem
sangat mirip dengan dirinya. Dengan mudah ia menghasut para pelajar dengan buku
karyanya mengenai sosok Gajah Mada, tak bukan karena waktu itu Yamin menduduki
posisi sebagai Menteri Pendidikan. Walupun sekarang ada beberapa yang
mematahkan keyakinan Yamin tersebut seperti Aris Agus Munandar dalam bukunya
mengenai penggambaran yang berbeda terhadap Gajah Mada, namun patut diapresiasi
niatan Yamin untuk memunculkan tokoh Gajah mada yang legendaris waktu itu untuk
menumbuhkan nasionalisme dan rasa persatuan di masa umur republik ini masih
muda.
David
Bayu Narendra
Peneliti PUSTOKUM
[1] Nurul Asmayani dalam bukunya
menceritakan bahwa “Tidak banyak keterangan mengenai kelahiran Gajah Mada,
hanya tahun kelahirannya saja yang diketahui banyak orang, yaitu pada tahun
1299, tentang siapa orang tuanya tidaklah diketahui”. Nurul Asmayani, Gajah Mada Pemersatu Nusantara, Penebar
CIF, Bandung, 2011. Hlm. 3. Dalam Lontar Babad Gajah Mada halaman 12a
menyebutkan tentang kelahiran Gajah Mada, terdapat kalimat yang berbunyi On Cri Cakra Warsa Jiwa Mrtta Yogi Swaha,
itu adalah candrasengkala yang menyebutkan tahun 1221 Saka atau 1299 Masehi.
[2] Narayana dalam pewayangan
dikisahkan Narayana adalah nama kecil dari Sri Kresna yang juga titisan sang
Hyang Wisnu sebagai stithi (pemelihara) yan bertugas menjaga dan melindungi dunia.
[3] Muhammad Yamin, Gajah Mada, Balai
Pustaka, Jakarta, hlm. 26
[4] Ibid. Lihat hlm. 35
[5]
Baca Muhammad Yamin. Proklamasi dan Konstitusi. Bagian pertama.
[6] Badan
Pemerintahan yang Empat itu adalah :
1.
Maha
manteri yang Tiga (Menteri Katrini), yaitu manteri Hino, manteri Sirikan dan
manteri Halu
2.
Lima
Serangkai Majapahit (Panca Ring Wilwatikta), yangterdiri atas Rakyan yang Empat
dan seorang Mapatih. Lima serangkai Majapahit ialah Kemanterian Negara dibawah
pimpinan Gajah Mada
3.
Darmajeksa
yang Dua, yaitu Kepala agama Buda dan Syiwa, Rakawi Prapanca, pengarang yang
mahsyur adalah Darmawangsa bagian Buda (kasogatan)
4.
Upapatti
yang Tujuh (Saptapapattri), yaitu lima orang pemeget agama Syiwa (Triwan,
Kandamuhi, Manghuri, jambi dan Pamwatan) dan dua orangpegawai agama Buda.
Upapatti bersidang mengurus agama, upacara, candi, pedikan desa dan segala hal
kerohanian
Ibid. Hlm. 36
[7] L.R. Baskoro,dkk, Seri Buku Tempo
“Muhammad Yamin, Penggagas Indonesia yang dihujat dan dipuja”, Gramedia,
Jakarta, 2015, hlm. 42