Loyal Pada Proklamasi, Yamin "Diburu".


Oleh : Awaludin Marwan

sumber gambar Wikipedia,org
Kumandang proklamasi 17 Agustus 1945 adalah gunungan es yang pecah dari keinginan besar bangsa Indonesia, yang melahirkan gumpalan teks peradaban bernama konstitusi.[1] Lantaran proklamasi, Yamin ditangkap bersama tokoh pergerakan nasional yang lain. Dicap sebagai nasionalis fanatis (nationalistische fanatici).[2] Dituduh makar oleh pemerintahan Belanda dan bersekongkol polisi rahasia Jepang, Nishida.[3] Dianggap melakukan tipu muslihat dengan barisan pemuda Indonesia yang dipersenjatai,[4] terlalu bersikukuh konyol tidak hendak melepaskan  Hindia dari penguasa Jepang kepada pangkuan haribaan pemerintah kolonial Belanda.[5]

Proklamasi kemerdekaan adalah sebuah tindakan “treatikal separatis”, yang oleh pihak pemerintah Belanda sungguh dibenci. Dalam sebuah sidang di parlemen Belanda (Tweede Kamer) yang diikuti oleh 61 anggota parlemen dan menteri-menteri (Menteri dalam negeri (Minister van Binnenlandsche Zaken), Menteri Luar Negeri (Minister van Buitenlandsche Zaken), Menteri Ekonomi (Minister van Financiёn), Menteri Sosial (Minister van Sociale Zaken, dst) pada tanggal 17 Oktober 1945, adalah anggota Parlemen van Poll bersuara keras. Ia menyulut kemarahan dengan dalih sekitar 50.000 perempuan Belanda bermukim di Batavia dikelilingi oleh pemuda Indonesia yang bersenjata.[6] Sehari sebelumnya, sidang parlemen Belanda yang diisi oleh laporan Logeman Menteri Daerah Jajahan (Minister van Overzeesche Gebeidsdeelen) menceritakan paska proklamasi masyarakat Indonesia diselimuti dengan sikap penuh kebencian terhadap ras kulit putih (volgegoten met blankenhaat).[7]

Proklamasi dan Konstitusi

Kendatipun demikian, Yamin tetap bersikukuh pada proklamasi. Proklamasi dan konstitusi bagai dua keping logam yang tak bisa terpisahkan. Proklamasi adalah sebuah penisbatan politik, sementara konstitusi adalah magnum opus para jenius nusantara. Bagi Yamin, kemerdekaan Indonesia, bukan setelah penyerahan kedaulatan RI-Belanda tahun 1949, melainkan sejak disyairkannya proklamasi 1945. Sebab dalam proklamasi itulah lantunan maklumat kedaulatan yang ditandai juga dengan menyingsingnya konstitusi. Menghormati Indonesia, maka hormati dulu konstitusi yang sudah diproklamirkan.

“Satu daripada berpuluh-puluh sembojan jang ditulis sekeliling tanggal 17 Agustus itu dengan segala kehormatan pada dinding-dinding jang berdiri atau pada kereta-api jang bergerak diseluruh pulau Djawa dan jang sangat menusuk otak dan perasaan jalah: Respect our Constitution, August 17 Hormatilah Konstitusi kami tanggal 17 Agustus!”[8]

Dalam bukunya yang berjudul ‘Proklamasi dan Konstitusi Indonesia,’ Yamin menyebutkan bahwa slogan tersebut ditulis dalam bahasa Inggris. Kenapa ditulis dalam bahasa Inggris? Sebab, menurut Yamin, adanya kesinsyafan para pemuda terhadap keadaan politik international setelah runtuhnya Tokyo dan munculnya kekuatan pemenang Anglo-Amerika. Yamin juga mencatat Jenderal perang Inggris Panglima Mountbatten juga sudah menyerukan pendaratan pasukan ke Nusantara. Slogan tersebut adalah sebuah tantangan pada pihak internasional untuk menghormati konstitusi Republik.

Teks konstitusi itu memang mempunyai sistem yang terintegrasi dengan kehidupan ekonomi, politik, pendidikan, sosial, kebudayaan dan utamanya motor dari sistem hukum.[9] Maka topografi konstitusi bukanlah tumpukan ‘aturan’ saja, melainkan juga terkandung tata nilai dan dentingan cita ideal yang utopis.[10] Konsitusi adalah doktrin cita rasa keadilan sebuah masyarakat, yang menjadi pembatas dan pagar dengan institusi hukum international.[11] Sementara konstitusi itu sendiri, disuntik ruhnya ruhnya oleh proklamasi. Menurut Yamin ‘ditinjau dari pihak hukum maka proklamasi itu ialah suatu ‘source of the soucers’ atau dasar dari pada segala dasar ketertiban baru di tanah indoensia semenjak 17 Agustus 1945.’[12]

Barangkali proklamasi adalah sebuah metapolitik.[13] Sebuah diktum yang diucapkan sekali, namun sebagai pertanda, ada sebuah zaman baru. Sebuah zaman yang dirumuskan oleh Soekarno, Hatta, Yamin, Soepomo, Agus Salim, Wahid Hasyim, dan para tokoh yang lain sebagai Republik berdaulat. Dalam sebuah proses yang dinamakan revolusi oleh para tokoh ini, proklamasi menduduki peristiwa yang penting. Proklamasi sebagai salah satu jantung dari mengawali sebuah revolusi, saat para Kempetai (polisi Jepang) mengultimatum pelarangan keras pengibaran bendera merah putih. Namun tokoh-tokoh nasional bersikeras mengibarkannya, bahkan sempat bertahan hingga 6 (enam) minggu sebagai simbol kemerdekaan.[14]

Bagi Yamin, proklamasi bukan hanya simbol kemerdekaan. Akan tetapi sebagai sebuah tindakan menerjemahkan aspirasi rakyat Murba Indonesia. Seperti yang digambarkan dalam pengantar bukunya ‘Proklamasi dan Kemerdekaan Republik Indonesia.’

‘Mendjelaskan isi Piagam dan Proklamasi berarti melukiskan ketetapan hati Murba Indonesia, supaja Revolusi dan Mahajuda Kemerdekaan itu berhasil penuh mentjapai kemenangan dalam menegakan Republik Indonesia atas kemerdekaan seratus prosen. Suara rakjatlah jang memproklamirkan kemerdekaan, dan kekuasaan rakjat Indonesialah jang berpindah ke dalam tangan Negara Indonesia Merdeka, sehingga Rakjat Indonesialah jang menggugurkan dari kedua belah bahunja segala beban pendjajahan asing dan feodalisme nasional untuk mendjalankan Revolusi dan Peperangan Kemerdekaan, sebagai akibat penjorakan suara Rakjat jang membentuk dan mendapat kedaulatan negara tanggal 17 Agustus 1945 itu. Lemahkerasnya desakan musuh dan turun naiknja kemenangan kemerdekaan penuh, seperti diingini Rakjat dalam proklamasi 17 Agustus dan Deklarasi 22 Djuni 1945 itu. Keinginan selainnja daripada itu adalah semuanja djalan terpaksa menjimpang menudju perombakan dan terpaksa masuk kembali kedalam djurang penghinaan jang ditinggalkan Rakjat. Bangsa Indonesia memerdekakan dirinja pada tanggal 17 Agustus itu jalah djelasan ini memperingatkan wudjud dan udjung pangkal Keinginan Rakjat dengan pembentukan Republik Indonesia jang mulia raja itu.’[15]

Proklamasi adalah sebuah momen sakral yang memproduksi kedaulatan.[16] Sistem sosial yang dibangun oleh pemerintah kolonial masihlah sangat rasis. Bahkan Belanda pun masih berjuang hingga hari ini untuk melawan rasisme.[17] Penindasan pada bangsa pribumi dari pemerintah kolonial cukuplah buruk dan masih eksploitatif, meskipun politik etis dibaharui terus-menerus. Dengan politik etis, sebenarnya keran politik demokrasi dibuka (Volksraad), sekolah dan perguruan tinggi dibangun, pegawai negeri juga diisi oleh bangsa pribumi, dst. Namun kesenjangan rasial masih saja muncul dan sungguh lebar. Yamin merujuk pada kalimat rakyat Murba.[18] Sebuah kalimat yang menunjukan kondisi rakyat akar rumput Indonesia. Yang sudah tidak mau lagi ditindas. Proklamasi adalah usaha awal untuk mengakhiri penghisapan kolonialisme itu.[19]

Yamin, “Diburu” karena loyal terhadap proklamasi

Yamin adalah orang yang loyal pada proklamasi. Mungkin ini juga yang menyebabkan ia menjadi orang yang paling diburu setelah Soekarno.[20] Meskipun Yamin tak mendapat ‘jatah’ menteri, pada awal era kemerdekaan,[21] kesetiaannya pada proklamasi dan Indonesia terlihat dalam tulisan-tulisannya dan sikap politiknya. Dalam bukunya Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (1951) Yamin memberi dukungan sepenuhnya pada proklamasi, bahkan menganggapnya setara dengan US Declaration of Independence (4 Juli 1776) dan Proklamasi Lenin dalam revolusi soviet (November 1917).[22]

Kolonialisme telah menyebabkan banyak kerugian pada rakyat Murba Indonesia. Sebanyak 200.000an orang kelaparan dan meninggal dalam perang Jawa, 70.000 orang tewas dalam perang Aceh, dan agresi militer 1947 dan 1948, begitu juga kerugian besar akibat tanam paksa (Cultuurstelsel).[23] Maka Yamin menegaskan bahwa proklamasi adalah sebuah pertanda. Bahwa bangsa Indonesia tidak mau ‘terpaksa masuk kembali kedalam djurang penghinaan.’ Cukup sudah eksploitasi yang berlangsung cukup lama itu. Kolonialisme itu soal pendudukan manusia dan penghisapan sumber daya alam.[24] Sudah saatnya bangsa Indonesia, pada waktu itu berdiri bebas tanpa pendudukan dan bisa menikmati kekayaan alamnya bersama anak cucunya.

Kerugian yang ditanggung Nusantara dan bangsa Indonesia sangatlah besar. Dimulai dari tanam paksa yang mengeksplotasi Indonesia disektor agro-industrialisme.[25] Sampai rasisme yang berlangsung di ranah pendidikan, kesehatan, hukum, politik, sosial, pelayanan publik, kepegawaian, dst.[26] Semua penderitaan kaum pribumi itu akan sirna dengan upaya proklamasi. Saat semua orang bisa duduk sama rata, berdiri sama tinggi.

Yamin percaya bahwa proklamasi sebagai sebentuk nasehat kepada bangsa Asing (Inggris dan Belanda) yang akan melakukan pendaratan di wilayah Indonesia, adalah pelanggaran konstitusional terhadap negara merdeka. Lanjut Yamin menilai dengan menembak, membunuh dan menangkap rakyat dan pemuda Indonesia, yang membuat pecahnya peperangan mempertahankan kemerdekaan. Pengorbanan pemuda Indonesia itu bagi Yamin sebagai sikap ‘bersiap memikul segala kejakinan memegang kebenaran.’ Proklamasi adalah kemerdekaan itu sendiri. Tak heran korban berjatuhan pun sangat banyak. Belum lagi soal pembantaian, beberapa pembunuhan massal dan pembumi-hangusan berlangsung, seperti di Rowogede pada tanggal 9 Desember 1947, kurang lebih 430an penduduk desa dibantai.[27]

Untuk mempertahankan proklamasi, pertempuran demi pertempuran dijalani oleh pemuda Indonesia, antara lain: pertempuran 10 November di Surabaya, Bandung Lautan Api, Pertempuran Medan Area, pertempuran lima hari di Semarang, pertempuran Ambarawa, dst. Korban berjatuhan dari kalangan pemuda Indonesia sangat banyak. Sama semangatnya dengan para pemuda, Yamin total mendukung proklamasi 17 Agustus 1945. Sebab kemerdekaan punya dua versi, menurut Indonesia sebagaimana dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, sementara menurut Belanda saat Ratu Beatrix mengunjungi Indonesia harus singgah di Singapura untuk menghindari hari peringatan kemerdekaan Indonesia, sebab Belanda hanya mengakui 29 Desember 1949 Indonesia Merdeka.[28]

Sebab proklamasi bukanlah keinginan segelintir elite saja. Menurut Yamin, proklamasi adalah keinginan rakyat Indonesia. Soekarno menyusun kabinet dengan menteri-menterinya, menggunakan gedung-gedung peninggalan Belanda sebagai kantor pemerintahannya, menyusun komunikasi dengan beberapa negara, mengklaim mewakili 95 % dari 70-an juta rakyat Indonesia.[29] Selanjutnya menurut Yamin, proklamasi bukanlah pepesan kosong, melainkan terdapat konstitusi yang tersusun yang menyertainya. Sah sebagai negara hukum yang berdaulat.

 Suara jang mengutjapkan Proklamasi jalah suara keinginan Rakyat Indonesia; keinginan itu berdaulat dan berisi kemerdekaan penuh dan bulat. Sesuai dengan keadaan itu maka menurut Undang-Undang Dasar 1945 kedaulatan jang disuarakan dengan alat proklamasi dan jang mendorongkan menjusun Konstitusi 1945 itu jalah usaha kemerdekaan jang mendjadi inti-isi Kedaulatan di dalam tangan Rakjat Indonesia.[30]

Rakyat sudah bosan barangkali dengan janji kolonialisme yang membujuk dengan beberapa perbaikan. Yamin menyebutkan hal ini sebagai pengejawantahan kekecewaan bersama atas kolonialisme. Terang saja, sejak VOC masuk ke Indonesia standar kualitas hidup mereka jauh ketimbang kaum pribumi. Bahkan pada zaman itu, orang pribumi maksimal umpamanya bekerja dalam sehari untuk satu pising nasi, pegawai VOC bisa memperoleh 25 kali dari apa yang didapat bangsa pribumi.[31] Upah minimum yang timpang dari waktu ke waktu menyebabkan jurang kesenjangan.

Yamin dan para pemuda yang lain merasakan bahwa hidup dibawah bayang-bayang kolonialisme sungguh menyengsarakan. Pribumi terlahir sebagai baboe dan warga kelas dua. Belum lagi kalau dalam setiap kolonialisme selalu saja ada ‘motif terselubung.’ Kafka menyebutnya hasrat erotisme dan eksotisme sebagai penyembahan pada seksualitas mengeksploitasi penduduk terjajah.[32] Maka, dalam tradisi kolonial, perempuan-perempuan yang jadi gundik dan simpanan para tuan pejabat kolonial cukup akrap di dunia sastra. Perempuan-perempuan ini diantaranya sangat berkarakter dan populer dalam dunia literasi dengan sebutan Nyai. Beberapa Nyai terkenal yang diceritakan antara lain Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh. Nyai Dasima difilmkan pada tahun 1929 oleh sutradara Lie Tek Swie.[33] Sementara Nyai Ontosoroh[34] dalam novelnya Pramudya Anantatoer. Dalam cerita dua Nyai ini punya kekuasaan harta berlimpah, lebih mujur ketimbang para Nyai yang hanya jadi tumbal nafsu. Tapi tetap saja mereka lemah tanpa ikatan dan status yang jelas.

Kembali sebaik apapun karakter sebuah kolonialisme, tetap saja wataknya berbentuk lintah dan penghisapan. Oleh karenanya, tak ada satu pun bangsa Indonesia yang bersumpah setia pada kolonialisme yang menindas. Bahkan progaganda dan agitasi, ‘lebih baik mati ketimbang kembali dijajah,’ berkobar melingking di emosi para pemuda. Begituhalnya Yamin, yang berusaha mendudukan segitiga penyangga kedaulatan: proklamasi, konstitusi dan suara rakyat.

Awaludin Marwan
Peneliti Senior Pustokum

Keterangan :

Ini adalah bagian dari draft buku pemikiran Muhammad Yamin yang akan diterbitkan Pustokum




[1] Muhammad Yamin. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. 1951. Penerbit Djambatan., p. 82
[2] Batavia Komt tot Kalmte. On Noorden. Pada tanggal 9 September 1945
[3] De Betoging van Soekarno. Dagblad Amigoe di Cuacao pada tanggal 29 September 1945. Soekarno juga pada saat itu ditangkap oleh pemerintah Sekutu dan Belanda yang kemudian segera dilepaskan. Pengamanan Soekarno dan tokoh nasionalis yang lain termasuk Yamin yang ditulis dalam berita itu sebagai advokat yang terlibat dalam proses makar (proklamasi), ialah upaya untuk meredam gelombang massa yang melawan pemerintahan sah versi Belanda.
[4] Rustige Nacht in Batavia, Strijdend Nederland, pada tanggal 25 September 1945
[5] Leuwarder Koerier. Bezetting van indie versneld. Pada tanggal 25 September 1945
[6] Handelingen Tweede Kamer 17, pada tanggal 17 Oktober 1945. Membahas pada pokoknya pembaharuan undang-undang tentang daerah-daerah jajahan dan secara khusus soal Hindia-Belanda. Hadir juga PFM Cremers sebagai pejabat pendaftaran kasus di pengadilan Hindia-Belanda. Namun dalam rapat ia tidak tercatat berbicara apapun soal Hindia.
[7] Handelingen Tweede Kamer 16, pada tanggal 16 Oktober 1945. Sidang dilaksanakan pada hari Rabu, pada tanggal 16 Oktober 1945, dipimpin oleh van Schalk. Rapat secara khusus membahas soal situasi perkembangan di Hindia, yang menghadirkan perwakilan langsung kerajaan. Dan, pada waktu itu akan memutuskan sikap resmi pemerintah kolonial Belanda terhadap situasi Indonesia, termasuk di bidang bisnis dan perusahaan-perusahaan Belanda.
[8] Muhammad Yamin. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. 1951. Penerbit Djambatan., p. 25
[9] Ronald Dworkin. Freedom’s Law: The Moral Reading of the Amerian Constitutions. 1991. Oxford University Press. p. 9-11. Di Amerika umpamanya, meskipun konstitusi pertama dibangun dengan banyak aneka macam persoalan, seperti rasisme. Namun tak lantas membuat konstitusi pertama tidak bermakna. Pada amandemen konstitusi berikutnya, misalnya yang keempat belas pada tanggal 9 Juli 1869 disahkannya, segregasi rasial coba untuk dipecahkan dan merujuk pada konstitusi awal mula Amerika.
[10] Jeremy Waldron. Ronald Dworkin: An Appreciation. New York University School of Law Paper Working No. 13-19., Juli 2013.
[11] Ronald Dworkin. Justice in Robes. 2006. The Belkpan Press of Harvard University Press. p. 107-8. Dworkin menyebutkan konstitusilah yang menggaransi status setiap warga yang seharunys mendapat sekuritas sosial, dengan asuransi kesehatan, bantuan tempat tinggal yang layak, pekerjaan yang memadai, dst. Konstitusi lebih lanjut menyerukan bahwa setiap insan warga negara itu mempunyai kesamaan kedudukan di depan hukum dan negara.
[12] Muhammad Yamin. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. 1951. Penerbit Djambatan., p. 24-25
[13] Alain Badiou. Metapolitics. Verso., p. 11-15. Ialah sebuah upaya untuk mengembalikan telos politik dalam sebuah pencarian kebenaran, bukan semata-mata hitung-hitungan untung rugi politik. Metapolitik bisa diartikan memahami politik sebagai sebuah pemikiran, setelah alam dialektika gagasan sudah dibungkam dengan sistem birokrasi, pemilu, dan administrasi yang membuat manusia menjelma menjadi robot dan tunggangan kapitalisme. Bagaimana kita melihat tulisan-tulisan yang berkembang pada masa gerakan nasional kemerdekaan, bagaimana pula kita membaca risalah-risalah dokumen tentang perdebatan fundamental tentang dasar negara dan bentuk negara, para terpelajar menyusun kapital dengan menggali sedalam mungkin sari sejarah nusantara.
[14] Beberapa hubungan baik dengan perwira Jepang yang mendukung kemerdekaan cukup membantu dalam proses proklamasi ini. Meskipun, Jepang dengan polisinya Kempeitai waspada dan mengawasi dengan cukup dekat proses proklamasi. Hatta mengubungi Laksamana Mayeda untuk menggunakan rumahnya sebagai tempat pertemuan para tokoh, ia pun setuju. Mayeda sendiri ikut bergabung dalam pertemuan, meskipun jam 2 pagi, ia berpamitan untuk istirahat. Soekarno dan Hatta bertemu dengan para anggota BPUPKI, seperti Soebardjo, Wikana, dan Sukarni menyusun naskah proklamasi. Setelah berdiskusi, pagi harinya, di depan rumah Soekarno, kalimat proklamasi dibacakan di depan grup kecil di halaman rumahnya. Hatta kemudian bergerak cepat dengan mengirim pesan pribadi kepada teman-temannya yang menjangkau penyiaran radio di seluruh Indonesia dan jejaring telegram. George McTurnan Kahin. Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press., p. 136-137
[15] Muhammad Yamin. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. 1951. Penerbit Djambatan., p. x
[16] Hizkia Yosie Polimpung. Asal-Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis terhadap Hasrat Mikrofasisme Bernegara. (Jakarta: 2014. Penerbit Kepik). Dalam perkembangan berikutnya,  gagasan tentang kedaulatan pun muncul dengan kritiknya, sebagai cikal bakal dari fasisme dan tirani yang memungkinkan pagi penguasa dan mayoritas lalim untuk membantai kelompok tertindas.
[17] Philomena Essed & Sandra Trienekens. Who Wants to Feel White? Race Ducth Culture and Contested Identities. Ethnic and Racial Studies. Vol. 31 No. 1 January 2008. P. 52-72. Meskipun ras Indonesia sekarang sudah keluar dari target group yang sering mendapat perlakuan rasis (walaupun masih tetap ada kasus yang masuk baik di pengadilan maupun komisi hak asasi manusia/ college de rechten van de mens), saat ini rasisme di Belanda berkutat pada pengungsi Siria, orang pendatang Maroko, Turki dan Afrika.
[18] Yamin adalah pengagum berat Tan Malaka. Ia mengunakan kosakata Tan Malaka soal Murba ketimbang rakyat Marhein a la Soekarno. Hingga Tan Malaka pun memberikan pidatonya ‘Sambutan Murba’ (1948) dengan lantang berkata [..]Sampai saatnya sekarang Murba bangkit; Murba berpikir; Murba bergerak; dan Murba memanggul beban revolusi ini menuju kepada masyarakat yang makmur, berdasarkan demokrasi dalam politik dan ekonomi. Bangunlah partai Murba, administrasi Murba dan laskar Murba di dalam pabrik, tambang, kebun dan desa! [...] Dengan granat di pinggang dan bambu runcing di tangan, kemerdekaan 100% dapat dilaksanakan, karena 99% rakyat Murba masih bersemangat anti penjajahan! Lihat pada : https://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1948-SambutanMurba.htm diunduh pada tanggal 12 Agustus 2016
[19] Lantaran proklamasi, Batavia setelah tanggal 17 Agustus 1945 sampai bulan-bulan berikutnya dikepung oleh balatentara Sekutu. Sebagai pusat gerakan nasionalis, Batavia akhirnya rela dilepaskan oleh para tokoh nasional dan hijrah ke Yogjakarta hingga penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949. Jakarta masih menjadi kota berkarakter ganda, sebagai pusat pembangunan politik dan tumbuh kembangnya tradisi intelektual. Thomas Benjamin. Encyclopedia of Western Colonialism Since 1450. 2007. Macmillan Reference., p. 124
[20] Sluiers over Indonesie. Helmondsch Dagblad, 25 September 1945.
[21] Para menteri di era kemerdekaan, RAAA Wiranatakusumah, Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo, Menteri Kehakiman Prof. Dr. Supomo, Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis, Menteri Kemakmuran Ir Surachman Tjokroadisurjo, Menteri Pengajaran Ki Hajar Dewantara, Menteri Sosial Mr. Iwa Kusumasumantri, Menteri Keamanan Rakyat Supriyadi, Menteri Penerangan Mr. Amir Syarifuddin, Menteri Perhubungan dan Menteri Pekerjaan Umum Abicusno Cokrosujoso, Menteri Negara Wahid Hasyim, Dr. Mr. Amir, Mr. RM Sartono, dan Otto Iskandardinata.
[22] Muhammad Yamin. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. 1951. Penerbit Djambatan., p. 24
[23] Puluhan tahun Belanda tidak meminta maaf terhadap penjajahan yang dilakukannya di tanah nusantara setelah proklamasi kemerdekaan. Hingga akhirnya pada tahun 2000an perdana menteri Wim Kok menyeluarkan pernyataan permintaan maaf, meskipun agak kabur kata-katanya. Beberapa veteran mengkritik, kalaupun ada permintaan maaf, itu hanyalah permintaan kosong. Sebuah permintaan maaf tanpa reparasi dan kompensasi. Sampai sekarang, nasib permintaan maaf itu pun tak jelas. Kalau saja, semua pelanggaran HAM masa lalu diusut, pencarian kebenaran dibutuhkan untuk digali pada kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, peristiwa 65, Aceh, Papua, Timor Leste, dst, akan menjadi modal berharga dalam menyongsong masa depan. Berdamai dengan sejarah itu memang tidak mudah. Tapi harus diperjuangkan. Peter Baehr. Colonialism, Slavery, and the Slave Trade: A Dutch Perspective. Mark Gibney, Rhoda E. Howard-Hassmann and Jean-Marc Coicaud (eds), the Age of Apology: Facing Up to the Past. 2008. Unversity of Pennsylvania Press., p. 229-240
[24] Barbara L. Stark. Colonialism and Landscape: Postcolonial Theory and Applications. Ethnohistory, Volume 51, Number 4, Fall 2004, pp. 656-860
[25] Ajo Roersch van der Hoogte & Toine Pieters. Science in the service of colonial agro-industrialism: the case of cinchona cultivation in the Dutch and Britis East Indies, 1852-1900. Studies in History and Philosophy of Biological and Biomedical Sciences 47 (2014) 12-22.
[26] Soepomo. Sistem Hukum di Indonesia. 1981. Pradnya Paramita. Jakarta., p. 34
[27] Pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembumi hangusan sudah biasa dilakukan oleh tentara Jerman dan Jepang, namun para tentara Belanda jarang melakukannya, kecuali di beberapa peristiwa seperti di Rawagede. Abu Hanifah yang pada waktu itu adalah seorang tenaga medis menyaksikan secara langsung pembakaran desa-desa diseluruh wilayah sekitarnya. Tentara Belanda melakukan ekseskusi random terhadap para masyarakat sipil. Elizabeth Buthner. Europe after Empire: Decolonization, Scoeity, and Culture. 2016. Cambridge University Press., p. 92
[28] Peter Baehr. Colonialism, Slavery, and the Slave Trade: A Dutch Perspective. Mark Gibney, Rhoda E. Howard-Hassmann and Jean-Marc Coicaud (eds), the Age of Apology: Facing Up to the Past. 2008. Unversity of Pennsylvania Press., p. 229-240
[29] Een Indonesische Quisling Regeering. Friesch Dagblad, 29 September 1945.
[30] Muhammad Yamin. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. 1951. Penerbit Djambatan., p. 53
[31] Pim de Zwart. Globalization and the Colonial Origins of the Great Divergence. 1986. Utrecht University., p. 121
[32] Allen Thiher. Kafka’s Travels: Exoticism, Colonialism and the Traffic of Writing. MFS Modern Fiction Studies, Volume 51, Number 3, Fall 2006, pp. 706-709. Eksotisme dan kolonialisme tidak bisa dipisahkan. Sudah tertanjam dalam diri para penahluk sebelum berangkat bepergian melalui kapal perang/ dagangnya untuk tidak hanya menundukan bangsa budak, tapi juga para perempuannya. Di tanah jajahan para penahluk itu punya aramah dan hasrat yang berlebihan, sehingga rindu dendam birahinya membuncah. Hal itu pun terlihat pada karya sastra dan lukisan kolonialisme.
[33] Njai Dasima dambil dari riwayat novel G Francis pada tahun 1896, yang menggambarkan kisah nyata kehidupan Nyari. Semula dari seorang gadis kampung Kuripan Bogor, ia diangkat jadi perempuan simpanan orang berkebangsaan Inggris, Edward William, pindah ke Batavia, sang Gadis bernama Dasima  kaya raya. Saking kecantikan dan berlimpahnya hartanya, ia disukai banyak lelaki.
[34] Nyai Ontosoroh adalah sosok yang sangat berkarakter. Ia memimpin sebuah perusahaan besar, pertenakan, persawahan dan perkebunan yang cukup luas. Ia tak sekedar gundik dari Herman Mellema yang frustasi dan mabok-mabokan serta pergi entah kemana. Ia juga membaca banyak buku, berbahasa Belanda dengan lancar, dan anaknya bernama Annelies adalah gadis keturunan yang ayu berkepribadian Jawa. Ontosoroh juga sangat tegar dalam menghadapi rintangan, satu nasehat yang cukup memukau pada Minke (tokoh utama dalam Novel itu) adalah ‘Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.’

Related

Materi Diskusi 9170884429406688550

Posting Komentar

  1. wuaahhh tercerahkan dengan pemikiran proklamasi niee yaaa..dari dulu hanya diceritakan mengenai perjuangan fisiknya, tetapi ini disajikan pergolakan pemikirannya

    BalasHapus
  2. ini adalah sajian kami, menjelang proklamasi. biar kita tidak hanya terjebak pada sifat heroisme sesaat, namun juga pemikiran mengenai proklamasi

    BalasHapus

emo-but-icon

WELCOME

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Hot in week

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item