Loyal Pada Proklamasi, Yamin "Diburu".
https://pustokum.blogspot.com/2016/08/loyal-pada-proklamasi-yamin-diburu.html
Oleh : Awaludin Marwan
sumber gambar Wikipedia,org |
Kumandang proklamasi 17
Agustus 1945 adalah gunungan es yang pecah dari keinginan besar bangsa
Indonesia, yang melahirkan gumpalan teks peradaban bernama konstitusi.[1]
Lantaran proklamasi, Yamin ditangkap bersama tokoh pergerakan nasional yang
lain. Dicap sebagai nasionalis fanatis (nationalistische
fanatici).[2]
Dituduh makar oleh pemerintahan Belanda dan bersekongkol polisi rahasia Jepang,
Nishida.[3]
Dianggap melakukan tipu muslihat dengan barisan pemuda Indonesia yang
dipersenjatai,[4]
terlalu bersikukuh konyol tidak hendak melepaskan Hindia dari penguasa Jepang kepada pangkuan
haribaan pemerintah kolonial Belanda.[5]
Proklamasi kemerdekaan
adalah sebuah tindakan “treatikal separatis”, yang oleh pihak pemerintah
Belanda sungguh dibenci. Dalam sebuah sidang di parlemen Belanda (Tweede Kamer) yang diikuti oleh 61
anggota parlemen dan menteri-menteri (Menteri dalam negeri (Minister van
Binnenlandsche Zaken), Menteri Luar Negeri (Minister van Buitenlandsche Zaken),
Menteri Ekonomi (Minister van Financiёn), Menteri Sosial (Minister van Sociale
Zaken, dst) pada tanggal 17 Oktober 1945, adalah anggota Parlemen van Poll
bersuara keras. Ia menyulut kemarahan dengan dalih sekitar 50.000 perempuan
Belanda bermukim di Batavia dikelilingi oleh pemuda Indonesia yang bersenjata.[6]
Sehari sebelumnya, sidang parlemen Belanda yang diisi oleh laporan Logeman Menteri
Daerah Jajahan (Minister van Overzeesche Gebeidsdeelen) menceritakan paska
proklamasi masyarakat Indonesia diselimuti dengan sikap penuh kebencian
terhadap ras kulit putih (volgegoten met
blankenhaat).[7]
Proklamasi
dan Konstitusi
Kendatipun demikian, Yamin
tetap bersikukuh pada proklamasi. Proklamasi dan konstitusi bagai dua keping
logam yang tak bisa terpisahkan. Proklamasi adalah sebuah penisbatan politik,
sementara konstitusi adalah magnum opus
para jenius nusantara. Bagi Yamin, kemerdekaan Indonesia, bukan setelah
penyerahan kedaulatan RI-Belanda tahun 1949, melainkan sejak disyairkannya
proklamasi 1945. Sebab dalam proklamasi itulah lantunan maklumat kedaulatan
yang ditandai juga dengan menyingsingnya konstitusi. Menghormati Indonesia,
maka hormati dulu konstitusi yang sudah diproklamirkan.
“Satu
daripada berpuluh-puluh sembojan jang ditulis sekeliling tanggal 17 Agustus itu
dengan segala kehormatan pada dinding-dinding jang berdiri atau pada kereta-api
jang bergerak diseluruh pulau Djawa dan jang sangat menusuk otak dan perasaan
jalah: Respect our Constitution, August 17 Hormatilah Konstitusi kami tanggal
17 Agustus!”[8]
Dalam bukunya yang berjudul
‘Proklamasi dan Konstitusi Indonesia,’ Yamin menyebutkan bahwa slogan tersebut
ditulis dalam bahasa Inggris. Kenapa ditulis dalam bahasa Inggris? Sebab,
menurut Yamin, adanya kesinsyafan para pemuda terhadap keadaan politik
international setelah runtuhnya Tokyo dan munculnya kekuatan pemenang
Anglo-Amerika. Yamin juga mencatat Jenderal perang Inggris Panglima Mountbatten
juga sudah menyerukan pendaratan pasukan ke Nusantara. Slogan tersebut adalah
sebuah tantangan pada pihak internasional untuk menghormati konstitusi
Republik.
Teks konstitusi itu memang
mempunyai sistem yang terintegrasi dengan kehidupan ekonomi, politik,
pendidikan, sosial, kebudayaan dan utamanya motor dari sistem hukum.[9]
Maka topografi konstitusi bukanlah tumpukan ‘aturan’ saja, melainkan juga
terkandung tata nilai dan dentingan cita ideal yang utopis.[10]
Konsitusi adalah doktrin cita rasa keadilan sebuah masyarakat, yang menjadi
pembatas dan pagar dengan institusi hukum international.[11]
Sementara konstitusi itu sendiri, disuntik ruhnya ruhnya oleh proklamasi.
Menurut Yamin ‘ditinjau dari pihak hukum maka proklamasi itu ialah suatu
‘source of the soucers’ atau dasar dari pada segala dasar ketertiban baru di
tanah indoensia semenjak 17 Agustus 1945.’[12]
Barangkali proklamasi adalah
sebuah metapolitik.[13]
Sebuah diktum yang diucapkan sekali, namun sebagai pertanda, ada sebuah zaman
baru. Sebuah zaman yang dirumuskan oleh Soekarno, Hatta, Yamin, Soepomo, Agus
Salim, Wahid Hasyim, dan para tokoh yang lain sebagai Republik berdaulat. Dalam
sebuah proses yang dinamakan revolusi oleh para tokoh ini, proklamasi menduduki
peristiwa yang penting. Proklamasi sebagai salah satu jantung dari mengawali
sebuah revolusi, saat para Kempetai (polisi Jepang) mengultimatum pelarangan
keras pengibaran bendera merah putih. Namun tokoh-tokoh nasional bersikeras
mengibarkannya, bahkan sempat bertahan hingga 6 (enam) minggu sebagai simbol
kemerdekaan.[14]
Bagi Yamin, proklamasi bukan
hanya simbol kemerdekaan. Akan tetapi sebagai sebuah tindakan menerjemahkan
aspirasi rakyat Murba Indonesia. Seperti yang digambarkan dalam pengantar
bukunya ‘Proklamasi dan Kemerdekaan Republik Indonesia.’
‘Mendjelaskan
isi Piagam dan Proklamasi berarti melukiskan ketetapan hati Murba Indonesia,
supaja Revolusi dan Mahajuda Kemerdekaan itu berhasil penuh mentjapai
kemenangan dalam menegakan Republik Indonesia atas kemerdekaan seratus prosen.
Suara rakjatlah jang memproklamirkan kemerdekaan, dan kekuasaan rakjat Indonesialah
jang berpindah ke dalam tangan Negara Indonesia Merdeka, sehingga Rakjat
Indonesialah jang menggugurkan dari kedua belah bahunja segala beban
pendjajahan asing dan feodalisme nasional untuk mendjalankan Revolusi dan
Peperangan Kemerdekaan, sebagai akibat penjorakan suara Rakjat jang membentuk
dan mendapat kedaulatan negara tanggal 17 Agustus 1945 itu. Lemahkerasnya
desakan musuh dan turun naiknja kemenangan kemerdekaan penuh, seperti diingini
Rakjat dalam proklamasi 17 Agustus dan Deklarasi 22 Djuni 1945 itu. Keinginan
selainnja daripada itu adalah semuanja djalan terpaksa menjimpang menudju
perombakan dan terpaksa masuk kembali kedalam djurang penghinaan jang
ditinggalkan Rakjat. Bangsa Indonesia memerdekakan dirinja pada tanggal 17
Agustus itu jalah djelasan ini memperingatkan wudjud dan udjung pangkal
Keinginan Rakjat dengan pembentukan Republik Indonesia jang mulia raja itu.’[15]
Proklamasi adalah sebuah
momen sakral yang memproduksi kedaulatan.[16]
Sistem sosial yang dibangun oleh pemerintah kolonial masihlah sangat rasis.
Bahkan Belanda pun masih berjuang hingga hari ini untuk melawan rasisme.[17]
Penindasan pada bangsa pribumi dari pemerintah kolonial cukuplah buruk dan
masih eksploitatif, meskipun politik etis dibaharui terus-menerus. Dengan politik
etis, sebenarnya keran politik demokrasi dibuka (Volksraad), sekolah dan perguruan tinggi dibangun, pegawai negeri
juga diisi oleh bangsa pribumi, dst. Namun kesenjangan rasial masih saja muncul
dan sungguh lebar. Yamin merujuk pada kalimat rakyat Murba.[18]
Sebuah kalimat yang menunjukan kondisi rakyat akar rumput Indonesia. Yang sudah
tidak mau lagi ditindas. Proklamasi adalah usaha awal untuk mengakhiri
penghisapan kolonialisme itu.[19]
Yamin,
“Diburu” karena loyal terhadap proklamasi
Yamin adalah orang yang
loyal pada proklamasi. Mungkin ini juga yang menyebabkan ia menjadi orang yang
paling diburu setelah Soekarno.[20]
Meskipun Yamin tak mendapat ‘jatah’ menteri, pada awal era kemerdekaan,[21]
kesetiaannya pada proklamasi dan Indonesia terlihat dalam tulisan-tulisannya
dan sikap politiknya. Dalam bukunya Proklamasi dan Konstitusi Republik
Indonesia (1951) Yamin memberi dukungan sepenuhnya pada proklamasi, bahkan
menganggapnya setara dengan US Declaration of Independence (4 Juli 1776) dan
Proklamasi Lenin dalam revolusi soviet (November 1917).[22]
Kolonialisme telah
menyebabkan banyak kerugian pada rakyat Murba Indonesia. Sebanyak 200.000an
orang kelaparan dan meninggal dalam perang Jawa, 70.000 orang tewas dalam
perang Aceh, dan agresi militer 1947 dan 1948, begitu juga kerugian besar
akibat tanam paksa (Cultuurstelsel).[23]
Maka Yamin menegaskan bahwa proklamasi adalah sebuah pertanda. Bahwa bangsa
Indonesia tidak mau ‘terpaksa masuk kembali kedalam djurang penghinaan.’ Cukup
sudah eksploitasi yang berlangsung cukup lama itu. Kolonialisme itu soal
pendudukan manusia dan penghisapan sumber daya alam.[24]
Sudah saatnya bangsa Indonesia, pada waktu itu berdiri bebas tanpa pendudukan
dan bisa menikmati kekayaan alamnya bersama anak cucunya.
Kerugian yang ditanggung
Nusantara dan bangsa Indonesia sangatlah besar. Dimulai dari tanam paksa yang
mengeksplotasi Indonesia disektor agro-industrialisme.[25]
Sampai rasisme yang berlangsung di ranah pendidikan, kesehatan, hukum, politik,
sosial, pelayanan publik, kepegawaian, dst.[26]
Semua penderitaan kaum pribumi itu akan sirna dengan upaya proklamasi. Saat
semua orang bisa duduk sama rata, berdiri sama tinggi.
Yamin percaya bahwa
proklamasi sebagai sebentuk nasehat kepada bangsa Asing (Inggris dan Belanda)
yang akan melakukan pendaratan di wilayah Indonesia, adalah pelanggaran
konstitusional terhadap negara merdeka. Lanjut Yamin menilai dengan menembak,
membunuh dan menangkap rakyat dan pemuda Indonesia, yang membuat pecahnya
peperangan mempertahankan kemerdekaan. Pengorbanan pemuda Indonesia itu bagi
Yamin sebagai sikap ‘bersiap memikul segala kejakinan memegang kebenaran.’
Proklamasi adalah kemerdekaan itu sendiri. Tak heran korban berjatuhan pun
sangat banyak. Belum lagi soal pembantaian, beberapa pembunuhan massal dan
pembumi-hangusan berlangsung, seperti di Rowogede pada tanggal 9 Desember 1947,
kurang lebih 430an penduduk desa dibantai.[27]
Untuk mempertahankan
proklamasi, pertempuran demi pertempuran dijalani oleh pemuda Indonesia, antara
lain: pertempuran 10 November di Surabaya, Bandung Lautan Api, Pertempuran
Medan Area, pertempuran lima hari di Semarang, pertempuran Ambarawa, dst.
Korban berjatuhan dari kalangan pemuda Indonesia sangat banyak. Sama
semangatnya dengan para pemuda, Yamin total mendukung proklamasi 17 Agustus
1945. Sebab kemerdekaan punya dua versi, menurut Indonesia sebagaimana
dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, sementara menurut Belanda saat
Ratu Beatrix mengunjungi Indonesia harus singgah di Singapura untuk menghindari
hari peringatan kemerdekaan Indonesia, sebab Belanda hanya mengakui 29 Desember
1949 Indonesia Merdeka.[28]
Sebab proklamasi bukanlah
keinginan segelintir elite saja. Menurut Yamin, proklamasi adalah keinginan
rakyat Indonesia. Soekarno menyusun kabinet dengan menteri-menterinya,
menggunakan gedung-gedung peninggalan Belanda sebagai kantor pemerintahannya,
menyusun komunikasi dengan beberapa negara, mengklaim mewakili 95 % dari 70-an
juta rakyat Indonesia.[29]
Selanjutnya menurut Yamin, proklamasi bukanlah pepesan kosong, melainkan
terdapat konstitusi yang tersusun yang menyertainya. Sah sebagai negara hukum
yang berdaulat.
Suara jang mengutjapkan Proklamasi jalah suara
keinginan Rakyat Indonesia; keinginan itu berdaulat dan berisi kemerdekaan
penuh dan bulat. Sesuai dengan keadaan itu maka menurut Undang-Undang Dasar
1945 kedaulatan jang disuarakan dengan alat proklamasi dan jang mendorongkan
menjusun Konstitusi 1945 itu jalah usaha kemerdekaan jang mendjadi inti-isi
Kedaulatan di dalam tangan Rakjat Indonesia.[30]
Rakyat sudah bosan
barangkali dengan janji kolonialisme yang membujuk dengan beberapa perbaikan.
Yamin menyebutkan hal ini sebagai pengejawantahan kekecewaan bersama atas
kolonialisme. Terang saja, sejak VOC masuk ke Indonesia standar kualitas hidup mereka
jauh ketimbang kaum pribumi. Bahkan pada zaman itu, orang pribumi maksimal
umpamanya bekerja dalam sehari untuk satu pising nasi, pegawai VOC bisa
memperoleh 25 kali dari apa yang didapat bangsa pribumi.[31]
Upah minimum yang timpang dari waktu ke waktu menyebabkan jurang kesenjangan.
Yamin dan para pemuda yang
lain merasakan bahwa hidup dibawah bayang-bayang kolonialisme sungguh
menyengsarakan. Pribumi terlahir sebagai baboe dan warga kelas dua. Belum lagi
kalau dalam setiap kolonialisme selalu saja ada ‘motif terselubung.’ Kafka menyebutnya
hasrat erotisme dan eksotisme sebagai penyembahan pada seksualitas
mengeksploitasi penduduk terjajah.[32]
Maka, dalam tradisi kolonial, perempuan-perempuan yang jadi gundik dan simpanan
para tuan pejabat kolonial cukup akrap di dunia sastra. Perempuan-perempuan ini
diantaranya sangat berkarakter dan populer dalam dunia literasi dengan sebutan
Nyai. Beberapa Nyai terkenal yang diceritakan antara lain Nyai Dasima dan Nyai
Ontosoroh. Nyai Dasima difilmkan pada tahun 1929 oleh sutradara Lie Tek Swie.[33]
Sementara Nyai Ontosoroh[34]
dalam novelnya Pramudya Anantatoer. Dalam cerita dua Nyai ini punya kekuasaan
harta berlimpah, lebih mujur ketimbang para Nyai yang hanya jadi tumbal nafsu.
Tapi tetap saja mereka lemah tanpa ikatan dan status yang jelas.
Kembali sebaik apapun
karakter sebuah kolonialisme, tetap saja wataknya berbentuk lintah dan
penghisapan. Oleh karenanya, tak ada satu pun bangsa Indonesia yang bersumpah
setia pada kolonialisme yang menindas. Bahkan progaganda dan agitasi, ‘lebih
baik mati ketimbang kembali dijajah,’ berkobar melingking di emosi para pemuda.
Begituhalnya Yamin, yang berusaha mendudukan segitiga penyangga kedaulatan:
proklamasi, konstitusi dan suara rakyat.
Awaludin Marwan
Peneliti Senior Pustokum
Keterangan :
Ini adalah bagian dari draft buku pemikiran Muhammad Yamin
yang akan diterbitkan Pustokum
[1] Muhammad Yamin. Proklamasi dan
Konstitusi Republik Indonesia. 1951. Penerbit Djambatan., p. 82
[2] Batavia Komt tot Kalmte. On Noorden.
Pada tanggal 9 September 1945
[3] De Betoging van Soekarno. Dagblad
Amigoe di Cuacao pada tanggal 29 September 1945. Soekarno juga pada saat itu
ditangkap oleh pemerintah Sekutu dan Belanda yang kemudian segera dilepaskan.
Pengamanan Soekarno dan tokoh nasionalis yang lain termasuk Yamin yang ditulis
dalam berita itu sebagai advokat yang terlibat dalam proses makar (proklamasi),
ialah upaya untuk meredam gelombang massa yang melawan pemerintahan sah versi
Belanda.
[4] Rustige Nacht in Batavia, Strijdend
Nederland, pada tanggal 25 September 1945
[5] Leuwarder Koerier. Bezetting van
indie versneld. Pada tanggal 25 September 1945
[6] Handelingen Tweede Kamer 17, pada
tanggal 17 Oktober 1945. Membahas pada pokoknya pembaharuan undang-undang
tentang daerah-daerah jajahan dan secara khusus soal Hindia-Belanda. Hadir juga
PFM Cremers sebagai pejabat pendaftaran kasus di pengadilan Hindia-Belanda.
Namun dalam rapat ia tidak tercatat berbicara apapun soal Hindia.
[7] Handelingen Tweede Kamer 16, pada
tanggal 16 Oktober 1945. Sidang dilaksanakan pada hari Rabu, pada tanggal 16
Oktober 1945, dipimpin oleh van Schalk. Rapat secara khusus membahas soal
situasi perkembangan di Hindia, yang menghadirkan perwakilan langsung kerajaan.
Dan, pada waktu itu akan memutuskan sikap resmi pemerintah kolonial Belanda
terhadap situasi Indonesia, termasuk di bidang bisnis dan perusahaan-perusahaan
Belanda.
[8] Muhammad Yamin. Proklamasi dan
Konstitusi Republik Indonesia. 1951. Penerbit Djambatan., p. 25
[9] Ronald Dworkin. Freedom’s Law: The Moral Reading of the Amerian Constitutions.
1991. Oxford University Press. p. 9-11. Di Amerika umpamanya, meskipun
konstitusi pertama dibangun dengan banyak aneka macam persoalan, seperti
rasisme. Namun tak lantas membuat konstitusi pertama tidak bermakna. Pada
amandemen konstitusi berikutnya, misalnya yang keempat belas pada tanggal 9
Juli 1869 disahkannya, segregasi rasial coba untuk dipecahkan dan merujuk pada
konstitusi awal mula Amerika.
[10] Jeremy Waldron. Ronald Dworkin: An Appreciation. New York University School of Law
Paper Working No. 13-19., Juli 2013.
[11] Ronald Dworkin. Justice in Robes. 2006. The Belkpan Press of Harvard University
Press. p. 107-8. Dworkin menyebutkan konstitusilah yang menggaransi status
setiap warga yang seharunys mendapat sekuritas sosial, dengan asuransi
kesehatan, bantuan tempat tinggal yang layak, pekerjaan yang memadai, dst. Konstitusi
lebih lanjut menyerukan bahwa setiap insan warga negara itu mempunyai kesamaan
kedudukan di depan hukum dan negara.
[12] Muhammad Yamin. Proklamasi dan
Konstitusi Republik Indonesia. 1951. Penerbit Djambatan., p. 24-25
[13] Alain Badiou. Metapolitics. Verso.,
p. 11-15. Ialah sebuah upaya untuk mengembalikan telos politik dalam sebuah
pencarian kebenaran, bukan semata-mata hitung-hitungan untung rugi politik.
Metapolitik bisa diartikan memahami politik sebagai sebuah pemikiran, setelah
alam dialektika gagasan sudah dibungkam dengan sistem birokrasi, pemilu, dan
administrasi yang membuat manusia menjelma menjadi robot dan tunggangan
kapitalisme. Bagaimana kita melihat tulisan-tulisan yang berkembang pada masa
gerakan nasional kemerdekaan, bagaimana pula kita membaca risalah-risalah
dokumen tentang perdebatan fundamental tentang dasar negara dan bentuk negara,
para terpelajar menyusun kapital dengan menggali sedalam mungkin sari sejarah
nusantara.
[14] Beberapa hubungan baik dengan perwira
Jepang yang mendukung kemerdekaan cukup membantu dalam proses proklamasi ini.
Meskipun, Jepang dengan polisinya Kempeitai waspada dan mengawasi dengan cukup
dekat proses proklamasi. Hatta mengubungi Laksamana Mayeda untuk menggunakan
rumahnya sebagai tempat pertemuan para tokoh, ia pun setuju. Mayeda sendiri
ikut bergabung dalam pertemuan, meskipun jam 2 pagi, ia berpamitan untuk
istirahat. Soekarno dan Hatta bertemu dengan para anggota BPUPKI, seperti
Soebardjo, Wikana, dan Sukarni menyusun naskah proklamasi. Setelah berdiskusi,
pagi harinya, di depan rumah Soekarno, kalimat proklamasi dibacakan di depan
grup kecil di halaman rumahnya. Hatta kemudian bergerak cepat dengan mengirim
pesan pribadi kepada teman-temannya yang menjangkau penyiaran radio di seluruh
Indonesia dan jejaring telegram. George McTurnan Kahin. Nationalism and
Revolution in Indonesia. Cornell University Press., p. 136-137
[15] Muhammad Yamin. Proklamasi dan
Konstitusi Republik Indonesia. 1951. Penerbit Djambatan., p. x
[16] Hizkia Yosie Polimpung. Asal-Usul
Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis terhadap Hasrat Mikrofasisme Bernegara.
(Jakarta: 2014. Penerbit Kepik). Dalam perkembangan berikutnya, gagasan tentang kedaulatan pun muncul dengan
kritiknya, sebagai cikal bakal dari fasisme dan tirani yang memungkinkan pagi penguasa
dan mayoritas lalim untuk membantai kelompok tertindas.
[17] Philomena Essed & Sandra
Trienekens. Who Wants to Feel White? Race Ducth Culture and Contested
Identities. Ethnic and Racial Studies. Vol. 31 No. 1 January 2008. P. 52-72.
Meskipun ras Indonesia sekarang sudah keluar dari target group yang sering
mendapat perlakuan rasis (walaupun masih tetap ada kasus yang masuk baik di
pengadilan maupun komisi hak asasi manusia/ college de rechten van de mens),
saat ini rasisme di Belanda berkutat pada pengungsi Siria, orang pendatang
Maroko, Turki dan Afrika.
[18] Yamin adalah pengagum berat Tan
Malaka. Ia mengunakan kosakata Tan Malaka soal Murba ketimbang rakyat Marhein a
la Soekarno. Hingga Tan Malaka pun memberikan pidatonya ‘Sambutan Murba’ (1948)
dengan lantang berkata [..]Sampai saatnya sekarang Murba bangkit;
Murba berpikir; Murba bergerak; dan Murba memanggul beban revolusi ini menuju
kepada masyarakat yang makmur, berdasarkan demokrasi dalam politik dan ekonomi.
Bangunlah partai Murba, administrasi Murba dan laskar Murba di dalam pabrik,
tambang, kebun dan desa! [...] Dengan granat di pinggang dan bambu runcing di
tangan, kemerdekaan 100% dapat dilaksanakan, karena 99% rakyat Murba masih bersemangat
anti penjajahan! Lihat pada : https://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1948-SambutanMurba.htm
diunduh pada tanggal 12 Agustus 2016
[19] Lantaran proklamasi, Batavia setelah
tanggal 17 Agustus 1945 sampai bulan-bulan berikutnya dikepung oleh balatentara
Sekutu. Sebagai pusat gerakan nasionalis, Batavia akhirnya rela dilepaskan oleh
para tokoh nasional dan hijrah ke Yogjakarta hingga penyerahan kedaulatan
tanggal 27 Desember 1949. Jakarta masih menjadi kota berkarakter ganda, sebagai
pusat pembangunan politik dan tumbuh kembangnya tradisi intelektual. Thomas
Benjamin. Encyclopedia of Western Colonialism Since 1450. 2007. Macmillan
Reference., p. 124
[20] Sluiers over Indonesie. Helmondsch
Dagblad, 25 September 1945.
[21] Para menteri di era kemerdekaan, RAAA
Wiranatakusumah, Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo, Menteri Kehakiman Prof.
Dr. Supomo, Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis, Menteri Kemakmuran Ir Surachman
Tjokroadisurjo, Menteri Pengajaran Ki Hajar Dewantara, Menteri Sosial Mr. Iwa
Kusumasumantri, Menteri Keamanan Rakyat Supriyadi, Menteri Penerangan Mr. Amir
Syarifuddin, Menteri Perhubungan dan Menteri Pekerjaan Umum Abicusno
Cokrosujoso, Menteri Negara Wahid Hasyim, Dr. Mr. Amir, Mr. RM Sartono, dan
Otto Iskandardinata.
[22] Muhammad Yamin. Proklamasi dan
Konstitusi Republik Indonesia. 1951. Penerbit Djambatan., p. 24
[23] Puluhan tahun
Belanda tidak meminta maaf terhadap penjajahan yang dilakukannya di tanah
nusantara setelah proklamasi kemerdekaan. Hingga akhirnya pada tahun 2000an
perdana menteri Wim Kok menyeluarkan pernyataan permintaan maaf, meskipun agak
kabur kata-katanya. Beberapa veteran mengkritik, kalaupun ada permintaan maaf,
itu hanyalah permintaan kosong. Sebuah permintaan maaf tanpa reparasi dan
kompensasi. Sampai sekarang, nasib permintaan maaf itu pun tak jelas. Kalau
saja, semua pelanggaran HAM masa lalu diusut, pencarian kebenaran dibutuhkan
untuk digali pada kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, peristiwa 65, Aceh,
Papua, Timor Leste, dst, akan menjadi modal berharga dalam menyongsong masa
depan. Berdamai dengan sejarah itu memang tidak mudah. Tapi harus
diperjuangkan. Peter Baehr. Colonialism, Slavery, and the Slave Trade: A Dutch
Perspective. Mark Gibney, Rhoda E. Howard-Hassmann and Jean-Marc Coicaud (eds),
the Age of Apology: Facing Up to the Past. 2008. Unversity of Pennsylvania
Press., p. 229-240
[24] Barbara L. Stark. Colonialism and
Landscape: Postcolonial Theory and Applications. Ethnohistory, Volume 51,
Number 4, Fall 2004, pp. 656-860
[25] Ajo Roersch van der Hoogte &
Toine Pieters. Science in the service of colonial agro-industrialism: the case
of cinchona cultivation in the Dutch and Britis East Indies, 1852-1900. Studies
in History and Philosophy of Biological and Biomedical Sciences 47 (2014) 12-22.
[26] Soepomo. Sistem Hukum di Indonesia.
1981. Pradnya Paramita. Jakarta., p. 34
[27] Pembunuhan massal, pemerkosaan, dan
pembumi hangusan sudah biasa dilakukan oleh tentara Jerman dan Jepang, namun
para tentara Belanda jarang melakukannya, kecuali di beberapa peristiwa seperti
di Rawagede. Abu Hanifah yang pada waktu itu adalah seorang tenaga medis
menyaksikan secara langsung pembakaran desa-desa diseluruh wilayah sekitarnya.
Tentara Belanda melakukan ekseskusi random terhadap para masyarakat sipil.
Elizabeth Buthner. Europe after Empire: Decolonization, Scoeity, and Culture.
2016. Cambridge University Press., p. 92
[28] Peter Baehr. Colonialism, Slavery,
and the Slave Trade: A Dutch Perspective. Mark Gibney, Rhoda E. Howard-Hassmann
and Jean-Marc Coicaud (eds), the Age of Apology: Facing Up to the Past. 2008.
Unversity of Pennsylvania Press., p. 229-240
[29] Een Indonesische Quisling Regeering.
Friesch Dagblad, 29 September 1945.
[30] Muhammad Yamin. Proklamasi dan
Konstitusi Republik Indonesia. 1951. Penerbit Djambatan., p. 53
[31] Pim de Zwart. Globalization and the
Colonial Origins of the Great Divergence. 1986. Utrecht University., p. 121
[32] Allen Thiher. Kafka’s Travels:
Exoticism, Colonialism and the Traffic of Writing. MFS Modern Fiction Studies,
Volume 51, Number 3, Fall 2006, pp. 706-709. Eksotisme dan kolonialisme tidak
bisa dipisahkan. Sudah tertanjam dalam diri para penahluk sebelum berangkat
bepergian melalui kapal perang/ dagangnya untuk tidak hanya menundukan bangsa
budak, tapi juga para perempuannya. Di tanah jajahan para penahluk itu punya
aramah dan hasrat yang berlebihan, sehingga rindu dendam birahinya membuncah.
Hal itu pun terlihat pada karya sastra dan lukisan kolonialisme.
[33] Njai Dasima dambil dari riwayat novel
G Francis pada tahun 1896, yang menggambarkan kisah nyata kehidupan Nyari.
Semula dari seorang gadis kampung Kuripan Bogor, ia diangkat jadi perempuan
simpanan orang berkebangsaan Inggris, Edward William, pindah ke Batavia, sang
Gadis bernama Dasima kaya raya. Saking
kecantikan dan berlimpahnya hartanya, ia disukai banyak lelaki.
[34] Nyai Ontosoroh adalah sosok yang
sangat berkarakter. Ia memimpin sebuah perusahaan besar, pertenakan, persawahan
dan perkebunan yang cukup luas. Ia tak sekedar gundik dari Herman Mellema yang
frustasi dan mabok-mabokan serta pergi entah kemana. Ia juga membaca banyak
buku, berbahasa Belanda dengan lancar, dan anaknya bernama Annelies adalah
gadis keturunan yang ayu berkepribadian Jawa. Ontosoroh juga sangat tegar dalam
menghadapi rintangan, satu nasehat yang cukup memukau pada Minke (tokoh utama
dalam Novel itu) adalah ‘Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia
tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis
adalah bekerja untuk keabadian.’
wuaahhh tercerahkan dengan pemikiran proklamasi niee yaaa..dari dulu hanya diceritakan mengenai perjuangan fisiknya, tetapi ini disajikan pergolakan pemikirannya
BalasHapusini adalah sajian kami, menjelang proklamasi. biar kita tidak hanya terjebak pada sifat heroisme sesaat, namun juga pemikiran mengenai proklamasi
BalasHapus