Raden Soeprapto, Penjaga Marwah Kejaksaan
https://pustokum.blogspot.com/2016/08/raden-soeprapto-penjaga-marwah-kejaksaan.html
Raden Soeprapto, seorang Jaksa yang mempunyai
keinginan untuk membersihkan Republik Indonesia dari kejahatan, terutama
kejahatan korupsi.[1]
Demi memerangi kejahatan korupsi, Soeprapto saat didapuk sebagai Jaksa Agung, dia berani memanggil para
pembesar-pembesar di Republik Indonesia.
Dalam menegakan hukum, Soeprapto tidak pandang
bulu, meskipun orang orang yang diperiksanya itu memiliki posisi yang kuat
dalam pemerintahan. Soeprapto pernah menginvestifigasi beberapa Meteri dan para
Jenderal, ini adalah sesuatu hal yang jarang terjadi pada tahun-tahun itu.
Semua tindakan yang dilakukan oleh Soeprato bertujuan
untuk mendapatkan keterangan yang valid dan mendapatkan mencari bukti-bukti yang kemudian ia bisa jadikan sebagai bahan
penuntutan.
Kerja-kerja Soeprapto saat menjadi
Jaksa Agung sangat terasa, karena keberanian Kejaksaan Agung dalam mengusut
perkara-perkara kejahatan, politik dan korupsi sehingga Kejaksaan menjadi
Lembaga yang sangat disegani, seolah tak bisa dipisahkan antara kejaksaan dan
Jaksa Agungnya, yaitu Soeprapto.
Saat Soeprapto menjabat sebagai
Jaksa Agung, kejaksaan begitu disegani oleh masyarakat dan para pemangku
jabatan, karena (sekali lagi) Soeprapto berani memanggil dan memeriksa beberapa
menteri dan Jenderal yang oleh Soeprapto ada sangkut pautnya dengan kasus yang
kejaksaan tangani.
Bahkan, seorang Mr. Isqak
Tjokroadisurjo, juga pernah ia periksa, padahal dia adalah teman baik
Soeprapto.[2] Tetapi
itulah kerja aparat penegak hukum, tidak pandang bulu, hukum itu bisa menjamah
siapa saja, tidak peduli itu teman, pejabat, kerabat atau keluarga.
Soeprapto merupakan orang yang
mampu menjaga wibawa dan integritas lembaga, dia mengikuti aturan kode etik
yang melekat pada dirinya, tidak berbicara sembarangan. Soeprapto tidak akan
berbicara hal-hal yang tidak berkaitan dengan ranah kerja kejaksaan.
Pada suatu hari, Soeprapto pernah
menolak memberikan tanggapan kepada Koran Java-Bode,
mengenai peraturan militer yang baru diterbitkan. Soeprapto tidak meberikan
tanggapan kepada koran tersebut, karena dia merasa dirinya tidak kompeten
terhadap isu tersebut.[3]
“Djaksa agunig Soeprapto was desgevraagd niet
bereid zijn mening over deze kwestie te geven. Hij zei slechts: „Ik ben niet
bereid mijn mening te uiten, omdat ik niet bevoegd ben om militaire maatregelen
te beoordelen".[4]
Sifat tegas yang dimiliki oleh Soeprapto sudah
ia terapkan saat dirinya masih menjadi seorang
hakim. Saat menjadi hakim, hukum ia tegakan tanpa tedeng aling-aling, bahkan Soeprapto menorehkan
sejarah dalam dunia Kehakiman Indonesia sebagai bentuk ketegasannya hakim
Soeprapto memutus hukuman mati terhadap Kutil, karena menurutnya perbuatan
Kutil sangatlah kejam, melakukan pembunuhan serta membuat kekacauan yang
mengganggu masyarakat dan pemerintah yang sah. Putusan tersebut adalah yang
pertama dijatuhkan kepada terdakwa setelah Indonesia merdeka.[5]
Karir Soeprapto
dan Peran Istri
Soeprapto lahir
pada tanggal 27 Maret 1897 di Tanah Turangga Yaksa, Trenggalek. Soeprapto terlahir dari keluarga yang sudah mapan,
ayahnya adalah seorang belastingen
controlleur pemeriksa pajak, pegawai
yang bertugas untuk menariki pajak di tingkat karesidenan.
Raden Hadiwiloyo
adalah nama bapaknya, gelar Raden yang disematkan di awal namanya membuktikan
ayah Soeprapto berasal dari keluarga priyayi.[6] Untuk itu Soeprapto juga berhak mendapatkan gelar
Raden diawal namanya.
Soeprapto mengenyam pendidikan
yang baik pada sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda. Soeprapto sekolah
di ELS (Europesche Lagere School) dan menamatkannya ketika
remaja di usia 17 tahun, yaitu pada tahun 1914. Tentu pada waktu itu pendidikan
yang didapat Soeprapto lebih baik daripada kaum Pribumi yang bersekolah di HIS
(Hollandsch-Inlandsche School), karena ELS sebenarnya adalah sekolah dasar
untuk bangsa Eropa.
Selepas dari ELS Soeprapto melanjutkan
pendidikannya di Rechtschool Batavia (Jakarta) dan merampungkannya pada
tahun 1920. Berkat keuletannya Soeprapto diakui kecerdasannya
sehingga mampu menembus lulusan tiga besar dan berhak memilih tempat dimana ia
akan mengabdikan ilmunya. Tokoh yang juga teman seangkatan Soeprapto diantaranya
adalah Wongsonegoro, Isqak Tjokroadisurjo
dan Mas Soemardi. Tak seperti Wongsonegoro dan Iskaq yang memilih melanjutkan
studi Hukumnya ke Universitas Leiden, Soeprapto lebih memilih untuk langsung
bekerja, karena ia termasuk lulusan tiga besar maka ia ber hak memilih, dan
benar saja Soprapto lebih memilih untuk ditempatkan di Trenggalek, tanah kelahirannya.
Landraaad
(pengadilan untuk kaum Bumiputera) Tulungagung dan Trenggalek adalah tempat
pertama Soeprapto mengawali kariernya sebagai hakim. Walaupun pertama kali
meniti karir dari tanah kelahirannya Soeprapto tidak melulu dan seterusnya berada disitu, selama
masa kependudukan Belanda Hakim Soeprapto berpindah tugas dari Trenggalek ke
Surabaya, Semarang, Demak, Purworejo, Bandung, Banyuwangi, Singaraja, Denpasar
bahkan sampai Mataram – Lombok Nusa Tenggara Barat. Walaupun masih ditingkat
daerah Hakim Soeprapto pernah menjadi pimpinan di beberapa Landraad, diantaranya Cirebon-Kuningan dan Salatiga-Boyolali hingga
kembali ke Landraad tempat ia pernah
bertugas yaitu Banyuwangi. Setelah masa pendudukan Belanda berakhir dan Jepang
datang pada bulan Maret tahun 1942, hakim Soeprapto menjabat sebagai Kepala
Pengadilan Karesidenan Pekalongan. Bahkan Hakim Soeprapto sempat menjabat
sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta di tahun 1947 yang juga sekaligus
merangkap sebagai hakim militer. Bukan perjalanan yang singkat memang bagi
Soeprapto sebagai Hakim/wakil Tuhan di dunia.
Pada masa kemerdekaan sewaktu di Pengadilan Tinggi
Yogyakarta yang juga kota tersebut sebagai ibukota Indonesia karena agresi militer Belanda barulah
Soeprapto berkarier di ranah Penuntut Umum (jaksa) pada tahun 1950,
setelah 30 tahun mengeyam pengalaman sebagai hakim. Konferensi Meja Bundar pada
27 Desember 1949 mengukuhkan Kedaulatan Indonesia dan kembalilah pemerintah ke
Jakarta yang juga menghantarkan Soeprapto menghuni Ibukota Negara.
Walaupun dikenal sebagai orang yang tegas
namun, Soeprapto adalah seorang suami dan bapak
dari anak-anaknya yang begitu sayang terhadap keluarga. Diskusi dengan istri
juga tak ditinggalkannya, dalam suatu obrolan
istrinya berkata “Mbok ya jangan ikut
partai”, Sebagai seorang suami yang sayang sama istri, Soeprapto mengikuti
nasehat istri tercintanya itu.[7]
Jadi Soeprapto bukanlah orang yang dibesarkan
karena relasi kuasa yang sering dipraktekan oleh para politisi, namun Soeprapto
bisa menjadi “besar” karena kerja kerasnya. Kewibawaan yang disandangnya bukan karena politik, melainkan kemampuannya yang handal dalam
administrasi peradilan, keteguhannya dalam memegang hukum untuk memecahkan
masalah hukum serta pendiriannya begitu kuat, bahkan ia mengundurkan diri dari
jabatannya karena situasi politik tanah air
bertambah buruk, bersamaan dengan diperkenalkannya konsep Demokrasi terpimpin
oleh Soekarno.[8]
Pantaslah kini, kita dapat
melihat di sebelah kanan gedung utama kejaksaan Agung berdiri dengan megah dan
gagah sosok patung dari Jaksa Agung R.Soeprapto dan telah ditetapkan sebagai
Bapak Kejaksaan Indonesia[9]
dengan pertimbangan : pertama, sebagai salah satu pioneer dalam masa awal institusi
kejaksaan dibangun pada masa era pasca kemerdekaan RI, tentu bukan hal yang
mudah. Kedua, sifat-sifat kebapakan dan rasa ingin memajukan perkembangan korps
kejaksaan dan umumnya negara-bangsa, perasaan korps terhadap beliau perlu mendapat
kenyataan yang selayaknya, terutama dari warga Kejaksaan. Patung ini menjadi
saksi prestasi seorang Jaksa Agung ke-IV di Republik ini, yang tekun, berani,
cerdas dan tegas tidak pandang bulu.
oleh :
David Bayu Narendra
Peneliti Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum (Pustokum)
[1] Jaksa
Agung Soeprapto bersama Kepala Investigasi Pusat Mr. Umar Seno Adji datang ke
Semarang dan berdiskusi dengan Kepala kejaksaan Tinggi Semarang Mr. Imam bardjo
terkait penyelidikan korupsi di Jawa tengah. Setelah itu dilanjut Jaksa Agung Soeprapto
memberikan kuliah umum di Salatiga dengan Persatuan Petugas Bea Cukai.
Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
15-03-1956
[2] Jaksa Agung Suprapto,
mengatakan kepada pers bahwa dalam proses penyelidikan kasus mr. Iskaq
Tjokroadisurjo, exminister Urusan Ekonomi, yang namanya disebut dalam kaitannya
dengan tindak pidana, sudah beberapa pejabat dari Kementerian Perekonomian
telah dijawab. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 07-09-1956
[4] Terjemahan “Jaksa Agung diminta,
namun tidak bersedia untuk memberikan pendapatnya terkait masalah ini. Dia
hanya mengatakan: "Saya tidak siap untuk mengungkapkan pendapat saya,
karena saya tidak kompeten untuk menilai tindakan militer”. Ibid.
[7] Asvin
Marwan Adam dalam dialognya mengatakan bahwa
belum ada yang mewarisi keberanian sosok Jaksa Agung, R Suprapto. Asvin
mengatakan, dalam masa jabatan Jaksa Agung R Suprapto, sangat sulit bagi
pejabat pemerintahan untuk melakukan praktek korupsi. Dirinya mengatakan sosok
R Suprapto adalah sosok yang tidak pernah ingin mempolitikkan jabatannya. Baca “Belum
Ada generasi Seperti Jaksa Agung Suprapto” http://www.tribunnews.com/2011/11/29
[8] Imam
Brotoseno .Jaksa Agung Soeprapto. Makalah, 2009
[9] SK Jaksa Agung ke IX Soegiharto, No KEP-061/D.A/196
tanggal 22 Juli 1967 menetapkan R. Soeprapto sebagai Bapak kejaksaan Indonesia
kita pernah bertemu dengan keluarga Soeprapto. ada tuduhan anti nasionalisme terhadap Soeprapto, yang menyebabkan dirinya mengundurkan diri
BalasHapus