Raden Soeprapto, Penjaga Marwah Kejaksaan

Raden Soeprapto, seorang Jaksa yang mempunyai keinginan untuk membersihkan Republik Indonesia dari kejahatan, terutama kejahatan korupsi.[1] Demi memerangi kejahatan korupsi, Soeprapto saat didapuk sebagai Jaksa Agung, dia berani memanggil para pembesar-pembesar di Republik Indonesia.

Dalam menegakan hukum, Soeprapto tidak pandang bulu, meskipun orang orang yang diperiksanya itu memiliki posisi yang kuat dalam pemerintahan. Soeprapto pernah menginvestifigasi beberapa Meteri dan para Jenderal, ini adalah sesuatu hal yang jarang terjadi pada tahun-tahun itu.

Semua tindakan yang dilakukan oleh Soeprato bertujuan untuk mendapatkan keterangan yang valid dan mendapatkan mencari bukti-bukti  yang kemudian ia bisa jadikan sebagai bahan penuntutan.

Kerja-kerja Soeprapto saat menjadi Jaksa Agung sangat terasa, karena keberanian Kejaksaan Agung dalam mengusut perkara-perkara kejahatan, politik dan korupsi sehingga Kejaksaan menjadi Lembaga yang sangat disegani, seolah tak bisa dipisahkan antara kejaksaan dan Jaksa Agungnya, yaitu Soeprapto.

Saat Soeprapto menjabat sebagai Jaksa Agung, kejaksaan begitu disegani oleh masyarakat dan para pemangku jabatan, karena (sekali lagi) Soeprapto berani memanggil dan memeriksa beberapa menteri dan Jenderal yang oleh Soeprapto ada sangkut pautnya dengan kasus yang kejaksaan tangani.

Bahkan, seorang Mr. Isqak Tjokroadisurjo, juga pernah ia periksa, padahal dia adalah teman baik Soeprapto.[2] Tetapi itulah kerja aparat penegak hukum, tidak pandang bulu, hukum itu bisa menjamah siapa saja, tidak peduli itu teman, pejabat, kerabat atau keluarga.

Soeprapto merupakan orang yang mampu menjaga wibawa dan integritas lembaga, dia mengikuti aturan kode etik yang melekat pada dirinya, tidak berbicara sembarangan. Soeprapto tidak akan berbicara hal-hal yang tidak berkaitan dengan ranah kerja kejaksaan.

Pada suatu hari, Soeprapto pernah menolak memberikan tanggapan kepada Koran Java-Bode, mengenai peraturan militer yang baru diterbitkan. Soeprapto tidak meberikan tanggapan kepada koran tersebut, karena dia merasa dirinya tidak kompeten terhadap isu tersebut.[3]

 “Djaksa agunig Soeprapto was desgevraagd niet bereid zijn mening over deze kwestie te geven. Hij zei slechts: „Ik ben niet bereid mijn mening te uiten, omdat ik niet bevoegd ben om militaire maatregelen te beoordelen".[4]

Sifat tegas yang dimiliki oleh Soeprapto sudah ia terapkan saat dirinya masih menjadi seorang hakim. Saat menjadi hakim, hukum ia tegakan tanpa tedeng aling-aling, bahkan Soeprapto menorehkan sejarah dalam dunia Kehakiman Indonesia sebagai bentuk ketegasannya hakim Soeprapto memutus hukuman mati terhadap Kutil, karena menurutnya perbuatan Kutil sangatlah kejam, melakukan pembunuhan serta membuat kekacauan yang mengganggu masyarakat dan pemerintah yang sah. Putusan tersebut adalah yang pertama dijatuhkan kepada terdakwa setelah Indonesia merdeka.[5]

Karir Soeprapto dan Peran Istri

Soeprapto lahir pada tanggal 27 Maret 1897 di Tanah Turangga Yaksa, Trenggalek. Soeprapto terlahir dari keluarga yang sudah mapan, ayahnya adalah seorang belastingen controlleur  pemeriksa pajak, pegawai yang bertugas untuk menariki pajak di tingkat karesidenan.

Raden Hadiwiloyo adalah nama bapaknya, gelar Raden yang disematkan di awal namanya membuktikan ayah Soeprapto berasal dari keluarga priyayi.[6] Untuk itu Soeprapto juga berhak mendapatkan gelar Raden diawal namanya.

Soeprapto mengenyam pendidikan yang baik pada sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda. Soeprapto sekolah di ELS (Europesche  Lagere School) dan menamatkannya ketika remaja di usia 17 tahun, yaitu pada tahun 1914. Tentu pada waktu itu pendidikan yang didapat Soeprapto lebih baik daripada kaum Pribumi yang bersekolah di HIS (Hollandsch-Inlandsche School), karena ELS sebenarnya adalah sekolah dasar untuk bangsa Eropa.

Selepas dari ELS Soeprapto melanjutkan pendidikannya di Rechtschool Batavia (Jakarta) dan merampungkannya pada tahun 1920. Berkat keuletannya Soeprapto diakui kecerdasannya sehingga mampu menembus lulusan tiga besar dan berhak memilih tempat dimana ia akan mengabdikan ilmunya. Tokoh yang juga teman seangkatan Soeprapto diantaranya adalah Wongsonegoro, Isqak Tjokroadisurjo dan Mas Soemardi. Tak seperti Wongsonegoro dan Iskaq yang memilih melanjutkan studi Hukumnya ke Universitas Leiden, Soeprapto lebih memilih untuk langsung bekerja, karena ia termasuk lulusan tiga besar maka ia ber hak memilih, dan benar saja Soprapto lebih memilih untuk ditempatkan di Trenggalek, tanah kelahirannya.

Landraaad (pengadilan untuk kaum Bumiputera) Tulungagung dan Trenggalek adalah tempat pertama Soeprapto mengawali kariernya sebagai hakim. Walaupun pertama kali meniti karir dari tanah kelahirannya Soeprapto tidak melulu dan seterusnya berada disitu, selama masa kependudukan Belanda Hakim Soeprapto berpindah tugas dari Trenggalek ke Surabaya, Semarang, Demak, Purworejo, Bandung, Banyuwangi, Singaraja, Denpasar bahkan sampai Mataram – Lombok Nusa Tenggara Barat. Walaupun masih ditingkat daerah Hakim Soeprapto pernah menjadi pimpinan di beberapa Landraad, diantaranya Cirebon-Kuningan dan Salatiga-Boyolali hingga kembali ke Landraad tempat ia pernah bertugas yaitu Banyuwangi. Setelah masa pendudukan Belanda berakhir dan Jepang datang pada bulan Maret tahun 1942, hakim Soeprapto menjabat sebagai Kepala Pengadilan Karesidenan Pekalongan. Bahkan Hakim Soeprapto sempat menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta di tahun 1947 yang juga sekaligus merangkap sebagai hakim militer. Bukan perjalanan yang singkat memang bagi Soeprapto sebagai Hakim/wakil Tuhan di dunia.

Pada masa kemerdekaan sewaktu di Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang juga kota tersebut sebagai ibukota Indonesia karena agresi militer Belanda barulah Soeprapto berkarier di ranah Penuntut Umum (jaksa) pada tahun 1950, setelah 30 tahun mengeyam pengalaman sebagai hakim. Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949 mengukuhkan Kedaulatan Indonesia dan kembalilah pemerintah ke Jakarta yang juga menghantarkan Soeprapto menghuni Ibukota Negara.

Walaupun dikenal sebagai orang yang tegas namun, Soeprapto adalah seorang suami dan bapak dari anak-anaknya yang begitu sayang terhadap keluarga. Diskusi dengan istri juga tak ditinggalkannya, dalam suatu obrolan istrinya berkata “Mbok ya jangan ikut partai”, Sebagai seorang suami yang sayang sama istri, Soeprapto mengikuti nasehat istri tercintanya itu.[7]

Jadi Soeprapto bukanlah orang yang dibesarkan karena relasi kuasa yang sering dipraktekan oleh para politisi, namun Soeprapto bisa menjadi “besar” karena kerja kerasnya. Kewibawaan yang  disandangnya bukan karena politik, melainkan kemampuannya yang handal dalam administrasi peradilan, keteguhannya dalam memegang hukum untuk memecahkan masalah hukum serta pendiriannya begitu kuat, bahkan ia mengundurkan diri dari jabatannya karena situasi politik tanah air bertambah buruk, bersamaan dengan diperkenalkannya konsep Demokrasi terpimpin oleh Soekarno.[8]

Pantaslah kini, kita dapat melihat di sebelah kanan gedung utama kejaksaan Agung berdiri dengan megah dan gagah sosok patung dari Jaksa Agung R.Soeprapto dan telah ditetapkan sebagai Bapak Kejaksaan Indonesia[9]  dengan pertimbangan : pertama, sebagai salah satu pioneer dalam masa awal institusi kejaksaan dibangun pada masa era pasca kemerdekaan RI, tentu bukan hal yang mudah. Kedua, sifat-sifat kebapakan dan rasa ingin memajukan perkembangan korps kejaksaan dan umumnya negara-bangsa, perasaan korps terhadap beliau perlu mendapat kenyataan yang selayaknya, terutama dari warga Kejaksaan. Patung ini menjadi saksi prestasi seorang Jaksa Agung ke-IV di Republik ini, yang tekun, berani, cerdas dan tegas tidak pandang bulu.

oleh : 
David Bayu Narendra
Peneliti Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum (Pustokum)





[1] Jaksa Agung Soeprapto bersama Kepala Investigasi Pusat Mr. Umar Seno Adji datang ke Semarang dan berdiskusi dengan Kepala kejaksaan Tinggi Semarang Mr. Imam bardjo terkait penyelidikan korupsi di Jawa tengah. Setelah itu dilanjut Jaksa Agung Soeprapto memberikan kuliah umum di Salatiga dengan Persatuan Petugas Bea Cukai. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-03-1956
[2] Jaksa Agung Suprapto, mengatakan kepada pers bahwa dalam proses penyelidikan kasus mr. Iskaq Tjokroadisurjo, exminister Urusan Ekonomi, yang namanya disebut dalam kaitannya dengan tindak pidana, sudah beberapa pejabat dari Kementerian Perekonomian telah dijawab. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-09-1956
[3] Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18 September 1956

[4] Terjemahan “Jaksa Agung diminta, namun tidak bersedia untuk memberikan pendapatnya terkait masalah ini. Dia hanya mengatakan: "Saya tidak siap untuk mengungkapkan pendapat saya, karena saya tidak kompeten untuk menilai tindakan militer”. Ibid.

[7] Asvin Marwan Adam dalam dialognya mengatakan bahwa belum ada yang mewarisi keberanian sosok Jaksa Agung, R Suprapto. Asvin mengatakan, dalam masa jabatan Jaksa Agung R Suprapto, sangat sulit bagi pejabat pemerintahan untuk melakukan praktek korupsi. Dirinya mengatakan sosok R Suprapto adalah sosok yang tidak pernah ingin mempolitikkan jabatannya. Baca “Belum Ada generasi Seperti Jaksa Agung Suprapto” http://www.tribunnews.com/2011/11/29
[8] Imam Brotoseno .Jaksa Agung Soeprapto. Makalah, 2009
[9] SK Jaksa Agung ke IX Soegiharto, No KEP-061/D.A/196 tanggal 22 Juli 1967 menetapkan R. Soeprapto sebagai Bapak kejaksaan Indonesia

Related

Hukum 6660450531199540571

Posting Komentar

  1. kita pernah bertemu dengan keluarga Soeprapto. ada tuduhan anti nasionalisme terhadap Soeprapto, yang menyebabkan dirinya mengundurkan diri

    BalasHapus

emo-but-icon

WELCOME

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Hot in week

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item