Jimly Asshiddiqie, Membangun Organisasi dengan Ilmu
https://pustokum.blogspot.com/2016/11/jimly-asshiddiqie-membangun-organisasi.html
Oleh : Muhtar Said
Organisatoris sejati ternyata
sudah menjadi maqom Jimly, apapun
yang dijalankan oleh Jimly bisa dirasakan kharisma kebesarannya, meskipun
lembaga yang dipegangnya itu tidak mempunyai “taring”, setelah Jimly pegang,
taringnya tampak berada di depan dan siap menerkam siapa saja yang
menyalahgunakan tugas dan wewenangnya.
Jimly pandai mengelola
organisasi, organisasi ataupun lembaga negara yang pernah dikelolanya menjadi
organisasi yang dipandang khalayak umum sebagai organisasi yang mempunyai
harkat dan martabat yang kuat.
Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi
lembaga negara yang paling fenomenal yang pernah Jimly bangun. Karena MK
merupakan lembaga yang memonopoli kebenaran tafsir konstitusi. Dengan adanya
MK, maka Indonesia memang menerapkan kedaulatan hukum. hukum merupakan produk
politik yang digodok oleh para politisi yang duduk di legislatif yang total semuanya berjumlah 560 orang
tetapi bisa dikalahkan oleh 9 (sembilan) hakim MK. Ini adalah bukti bahwa MK
merupakan simbol kedaulatan hukum di Republik Indonesia.
Ada beberapa latar belakang yang
mempengaruhi berdirinya MK, terutama terkait dengan sengketa antar lembaga yang
tidak ada yang mampu menjadi penengah atau menjadi wasit penyelesaian sengketa
lembaga dan juga dengan adanya perubahan ketiga UUD 1945.
Ide
pendirian mahkamah konstitusi ini sebagai ciri dari negara berkembang yang
ingin menjadikan negaranya menjadi lebih demokrasi.[1] Untuk itu MK memang
benar-benar diharuskan menjadi lembaga yang mempunyai kewenangan khusus untuk
menjaga marwah dan martabat Republik Indonesia.
Jimly Asshiddiqie bersama koleganya
M. Laica Marzuki, Abdul Mukthie Fadjar dan Harjono, menjadi awal motor
penggerak berdirinya MK. Dikomandoi oleh Jimly mereka bahu membahu dalam
membangun MK.
Dalam membangun MK, pertama kali
Jimly hanya diberikan modal oleh negara berupa tiga kertas, yakni Keputusan
Presiden, Undang-Undang MK dan Undang-Undang Dasar. Awalnya, pemerintah tidak
memberikan modal berupa gedung, apalagi uang operasional, sama sekali tidak
ada. Kejadian seperti ini bisa terjadi karena saat pertama kali MK dibentuk,
negara belum memasuki tahap pembuatan anggaran.
Meskipun tidak diberikan
fasilitas, Jimly tidak patah semangat, Jimly memimpin teman-temannya sesama
hakim konstitusi dan jajaran kesekretariatan untuk bisa langsung mulai bekerja.
Jimly memimpin kerja lembaga hanya bermodalkan tiga kertas. Tigas kertas ini
kemudian dijadikan landasan hukum bagi Jimly dan jajarannya untuk bekerja
sebagai abdi negara.
Membangun MK dengan Modal Tiga Kertas
Tiga kertas yang dimaksud itu
adalah Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi,[2] dan Keputusan
Presiden. Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003
dijadikan pegangan oleh Jimly sebagai legitimasi MK harus segera diadakan oleh
pemerintahan karena konstitusi dan undang-undang telah memberikan atribusi
kepada pemerintahan untuk segera mendirikan MK. Sedangkang surat keputusan
Presiden dijadikan pegangan oleh Jimly untuk memperlihatkan bahwa dirinya
mempunyai kewenangan untuk memperjuangkan dan menjalankan roda organisasi MK.
Tiga kertas “azimat” itu dibawa
oleh Jimly kemana-mana sebagai alat pembuka untuk melakukan lobi-lobi ke para
pemangku kekuasaan di negeri ini. Lobi-lobi harus segara dilakukan karena itu
untuk kebaikan negara Indonesia itu sendiri dan cepat-cepat menjadikan MK
sebagai simbol kedaulatan hukum yang dipilih oleh Indonesia.
Pengalaman Jimly yang waktu
mudanya selalu berada di lingkungan penguasa, sehingga dia bisa melakukan
komunikasi yang baik terhadap para pemangku kebijakan di Republik Indonesia
saat itu. Dalam berkomunikasi, Jimly seperti para pujangga yang melantunkan
karya sastranya di panggung kebesarannya, Jimly
mampu membuat para pendengar terpana mendengarkan presentasinya.
Jimly bukanlah pesulap yang mampu
menghipnotis orang, supaya mau mengikuti apa yang dibicarakannya. Tetapi, Jimly
merupakan seorang seniman ilmu pengetahuan, orang-orang mendengarkannya karena
ilmunya bukan karena jabatanya sebagai Ketua MK yang pertama.
Jaringan yang dibangun oleh Jimly
di kala muda adalah jaringan yang dibangun melalui ilmu pengetahuan bukan
jalinan yang dibangun melalui politik praktis belaka. Hal inilah yang membuat
orang-orang bersikap takdzim kepada
Jimly.
“Ilmu adalah hiasan hidup”
begitulah derma seorang sufi yang
bermana Azzarnuzi dalam kitab Ta’lim Muta’alimnya. Orang-orang yang mempunyai
ilmu akan selalu menjadi pusat sorotan orang, orang akan belajar pada dirinya.
Begitu pula dengan Jimly, sebagai
seorang ilmuan, orang-orang yang ada di sekitarnya akan menjadi pendengar yang
baik dan percaya dengan untaian kata yang keluar dari mulut Jimly. Saat Jimly
mempresentasikan betapa pentingnya lembaga MK dalam struktur ketatanegaraan
kepada para pemangku kebijakan di Republik ini, tidak butuh waktu yang lama
untuk langsung percaya kepada Jimly. Kemudian mereka bergerak dan berusaha
semaksimal mungkin untuk mengadakan apa saja yang dibutuhkan oleh MK.
MK mempunyai tugas dan wewenang
yang tidak kecil, karena salah satunya adalah menjadi pemutus perselisihan
antar lembaga negara. Jadi seorang presiden yang posisinya sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan bisa di sidang di MK. Untuk itu untuk menjaga
harkat dan martabat para pimpinan negara maka harus ada tempat representatif
yang bisa mendukungnya.
Untuk melengkapai
perlengkapan-perlengkapan atau kebutuhan MK (dengan standar dan kwalitas yang
seperti itu), bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun Jimly dan koleganya tetap
berusaha, karena ini terkait dengan harkat dan martabat lembaga negara itu
sendiri. Untuk itu, sebelum para lembaga
negara duduk di kursi persidangan MK, maka harus bersiap terlebih dahulu untuk menata
adminitrasinya, sehingga mereka percaya dengan putusan-putusan yang kelak akan
dikeluarkan oleh MK.
Ilmu yang membalut tubuh Jimly
itu ternyata memberikan jalan mudah untuk membesarkan dan menjalankan roda
organisasi agung seperti MK. Jimly benar-benar mampu memanfaatkan jaringan ilmu
yang telah ia bangun sejak muda.
Sejak muda, Jimly memang dikenal
dengan ilmu pengetahuannya yang mendalam, Jimly tetap istiqomah dalam dunia kajian Hukum Tatanegara.[3]
Sehingga hal yang wajar, ketika ada permasalahan mengenai hukum tatanegara,
sorot mata orang-orang akan tertuju pada dirinya. Ilmu hukum tatanegara benar-benar
mampu menjadi hiasan bagi dirinya sendiri dan juga bisa dimanfaatkan oleh orang
lain.
Bagi Jimly, ilmu bukan hanya
untuk mengembangkan ilmu lainnya tetapi juga untuk diterapkan dalam dunia,
seperti menata sistem ketatanegaraan di Indonesia. Untuk itu, ilmu yang dia
miliki itu juga bisa dijadikan alat untuk melobi para pemangku kekuasaan untuk
menerapkan ide-ide briliannya.
Perlu diketahui, dalam membangun
jaringan, Jimly bukanlah tipe orang yang hanya menjual muka, mengemis-ngemis
pada penguasa agar keinginannya bisa terlaksana. Jimly menggunakan ilmu
pengetahuannya untuk mendapatkan jaringan, waktu mudanya Jimly rajin membaca
dan menulis, dan itulah yang mengantarkannya pada penguasa, karena ide-idenya
itu selalu menggunakan dasar dan bisa dilaksanakan.
Membangun Organisasi Melalui Ilmu
Disinilah letak penting posisi
ilmu pengetahuan, yang mana ilmu pengetahuan bisa menjadi magnet beberapa
elemen. Jimly berkiblat pada nabi Sulaiman, ketika orang mempunyai ilmu, maka
harta kekuasaan akan menghampirinya.
Lobi-lobi yang dilakukannya bukan
hanya sekedar lobi politik dalam artinya meraih kuasa, namun lobi politik yang
berideologi, karena di dalam melaksanakan lobi itu Jimly selalu “memamerkan” ilmu
pengetahuannya. Jadi, Jimly selalu menggunakan metode silaturrahmi untuk
kepentingan sosial bukan hanya kepentingan Individu.
Kekuatan-kekuatan yang dimiliki
oleh Jimly, seperti yang telah dijelaskan diatas (baca ilmu) merupakan modal
awal dalam membangun organisasi. Apapun itu organisasinya, Jimly selalu
menggunakan metode yang sama, yakni menggunakan ilmu pengetahuan dalam
melancarkan aksinya.
Ahli hukum tatanegara muda, Refli
Harun, dalam candaannya pernah berkata “Jimly itu terlalu besar, untuk Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dia bisa membesarkan organisasi yang
dipegangnya, Satpol PP juga akan besar kalau dirinya yang menjadi pucuk
pimpinannya”.[4]
Selain itu, sebagai seorang
organisatoris sejati, Jimly tidak mungkin bisa bekerja sendiri, namun bekerja
sebagai tim, Jimly lebih dominan dalam merumuskan ide atau konsepnya. Di sinilah
ego Jimly bermain, banyak kalangan yang menganggap bahwa Jimly selalu ingin
memimpin, dia tidak mau dipimpin.
Hal itu sangat wajar, apabila
dilihat dari sudut pandang perjuangan ide. Ide-ide bisa terlaksana dengan baik
apabila dikawal dengan kekuatan-kuatan besar dibelakangnya. Marxisme bisa kuat
dan menyebar ke belahan dunia karena ada sosok Lenin yang menjadi ketua Partai
Komunis, ajaran-ajaran para wali yang bercorak budaya nusantara bisa menyebar
keseluruh Jawa karena didukung oleh Sultan yang memimpin kerajaan Demak. Ide-ide
akan terlaksana dengan baik, apabila mampu “berselingkuh” dengan ruang
kekuasaan.
Untuk mengaplikasikan ide-ide
basar maka dibutuhkan pengawalan bagi orang-orang yang mencetuskan ide
tersebut. Jadi, Jimly mempunyai konsep dalam membangun organisasi, maka dia
harus punya peran yang lebih tinggi daripada yang lainnya supaya konsep tidak
direduksi atau menyeleweng ditengah perjalanan, karena dipegang oleh orang-orang
yang tidak mengetahui mengenai konsep tersebut.
Terlepas dari itu semua, Jimly
merupakan sosok yang suka bekerja dengan Tim. Jimly merupakan orang yang sangat
mengakomodir segala kepentingan, kalau memang itu bisa memberikan kejayaan
bersama.
Bisa dilihat dalam menata
kepengurusan, saat Jimly diangkat sebagai Ketua Umum Ikatan Cendekia Muslim
Indonesia (ICMI). Kepengurusan Jimly sangat gemuk, yakni 752 orang. Hal itu dilandasi dengan asas organisasi yang
sebagai wadah silaturrahmi.
Melihat model dan gaya
memimpinnya, Jimly itu orang yang akomodatif, semua kepentingan ditampung,
karena dirinya sadar tidak bisa menjadi ahli untuk semua hal. Jimly berpikiran,
masing-masing individu mempunyai potensi yang bisa dijadikan alat untuk
membesarkan organisasi. Ketimbang tidak terpakai, maka Jimly merangkulnya.
Jimly tahu bahwa dari jumlah
orang yang berada di kepengurusannya itu banyak, Jimly juga mengetahui banyak
orang yang juga hanya sekedar titip nama. Namun, Jimly tetap menampungnya,
karena asas silaturrahmi jauh diatas kepentingan organisasi.
Bahkan bukan hanya sekedar itu,
Jimly juga memberikan posisi kepada orang sesuai dengan kemampuan orang
tersebut. Sebagai contoh, saat Jimly mengajak Tanri Abeng, Mantan Menteri BUMN
(1998-1999) untuk ikut dalam membangun ICMI.
Jimly menyodorkan Tanri Abeng
untuk menjadi penasehat ICMI, namun Tanri Menolak. Kemudian Tanri disodorkan
jabatan sebagai dewan pakar oleh Jimly, tetapi Tanri tetap menolak. Jimly tidak
merasa putus asa untuk mengajak orang-orang yang mempunyai dedikasi tinggi
dalam membungun negeri, seolah-olah Jimly tidak ingin kader-kader terbaik
bangsa itu disia-siakan. Oleh karena itu Jimly terus memutar otaknya supaya
Tanri bisa ikut gabung dalam membesarkan ICMI, karena dengan bergabung dengan
ICMI berarti juga membangun bangsa, karena ICMI adalah salah satu elemen yang
juga bisa berfungsi untuk memberikan sumbangan kepada bangsa dan negara.
Setelah tawaran pertama dan kedua
yang disodorkan Jimly kepada Tanri Abeng ditolak, maka Jimly menawarkan posisi
yang dirasa cocok oleh Tanri Abeng. Untuk memberikan kenyamaan bagi Tanri
Abeng, maka Jimly membuat majelis khusus di ICMi yang diber nama Majelis
Penataan Manajemen Umat.
Jimly memberikan penjelasan
kepada Tanri Abeng mengani tugas dan wewenang majelis khusus tersebut. Dan
setelah mendapatkan penjelasan dari Jimly Tanri pun menyetujui tawaran Jimly.
Memang umat membutuhkan manajemen yang bagus sehingga terkordinir dengan rapi,
sehingga dalam membangun itu mudah karena peta pembangunan sudah bisa terlihat
dan untuk bisa melaksanakan itu maka harus ada orang yang mumpuni, dan Jimly
menganggap Tanri Abeng bisa melaksanakan itu semua.
Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Tokoh Pemikir Hukum
[1]
Naskah Akademis RUU Mahkamah Konstitusi
[2]
Undang-Undang ini telah diperbaruhi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 8
tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
[3]
Minatnya terhadap masalah hukum dan konstitusi
terbaca dalam sejumlah studi yang dilakoninya bersama dengan pakar-pakar hukum
tata negara dalam dan luar negeri. Sebut saja pelatihan On Peace Research di
United Nations University, Tokyo tahun 1985 dan studi komparatif tentang Education
in the United States dalam rangka International Visitor Programme di
15 kota Amerika Serikat tahun 1987. Selain itu di bawah supervisi Prof. Dr. Daniel
S. Lev. ia juga menjadi peserta Visiting Researcher di School of Law,
University of Washington, Seattle, USA tahun 1989. Tahun 1994, Jimly
tercatat sebagai peserta Post Graduate Summer Refreshment Course on
Legal Theories and Legal Philosophy Program of Instruction for Lawyers,
Harvard Law School Cambridge
Massachussett, di bawah pengawasan Dr. Austin Wakeman Scott, Prof. Dr. Charles Davies dan Prof. Dr. Roberto Mangabera Unger. Akhir tahun 2003, giliran Kyoto University Jepang menerima kedatangannya sebagai visiting
reseacher. Di tahun yang sama pula, ia mendatangi undangan Pemerintah Perancis untuk melakukan studi komparatif di Mahkamah Konstitusi Perancis. Setelah itu, ia pun menyempatkan studi di Mahkamah Konstitusi Austria. Baca “Setengah Abad Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Semangat Kebangsaan”. Diterbitkan oleh Perhimpunan Indonesia Tionghoa dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, 2006 hlm 20.
Massachussett, di bawah pengawasan Dr. Austin Wakeman Scott, Prof. Dr. Charles Davies dan Prof. Dr. Roberto Mangabera Unger. Akhir tahun 2003, giliran Kyoto University Jepang menerima kedatangannya sebagai visiting
reseacher. Di tahun yang sama pula, ia mendatangi undangan Pemerintah Perancis untuk melakukan studi komparatif di Mahkamah Konstitusi Perancis. Setelah itu, ia pun menyempatkan studi di Mahkamah Konstitusi Austria. Baca “Setengah Abad Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Semangat Kebangsaan”. Diterbitkan oleh Perhimpunan Indonesia Tionghoa dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, 2006 hlm 20.
[4] Candaan
itu ada ketika para kaum muda penggerak Hukum Tatanegara sedang melakukan kopi
darat di warung kopi di depan Hotel Novotel dalam sela-sela acara Kongres Hukum
Tata Negara ke III yang diadakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) tahun
2016.