Fauzi Abdullah, HP Rajagukguk, Imam Soepomo dan Iskandar Tedjokusumo : Empat Aktor Politik Hukum Perburuhan

Sumber foto www.rmol.co
Buruh mempunyai sejarah panjang sebagai aktor penggerak di republik Indonesia. Zaman sebelum merdeka, peran buruh sangat vital dalam membangkitkan semangat masyarakat Indonesia untuk terus bergerak dan mengampanyekan kemerdekaan Indonesia.

Organisasi dan gerakan buruh sudah ada sejak Indonesia belum memproklamirkan dirinya sebagai bangsa yang merdeka. Sehingga cikal bakal berdirinya Republik Indonesia juga tidak bisa dijauhkan dari pernak pernik gerakan buruh. Pada tahun 1942-1945 para buruh sudah berani melakukan perlawanan terhadap bangsa Jepang yang menududuki bumi nusantara.[1]

Pada tahun 1931 jumlah serikat pekerja (buruh) yang terdaftar di Batavia sudah mencapai angka 109 buah dengan anggotanya mencapat 79.280.[2] masing-masing serikat mempunyai caranya sendiri dalam melindungi dan melakukan gerakan dalam meraih cita-citanya. Pada titik tertentu cita-cita mereka adalah melakukan gerakan kemerdekaan, karena bekerja dengan bangsa sendiri dirasa lebi menentramkan ketimbang bekerja dengan bangsa asing.

Gerakan buruh selalu solid hingga saat ini, namun aktornya penggeraknya yang berganti. Jika zaman sebelum Indonesia merdeka aktornya adalah Tan Malaka dan beberapa temanya yang berada di Partai Murba maka, pasca kemerdekaan muncul beberapa aktor penggerak buruh seperti Fauzi Abdullah, Imam Soepomo, Iskandar Tedja, dan Humalatua Pardamean Rajagukguk (HP Rajagukguk). Masing-masing  aktor mempunyai cara yang berbeda, Fauzi Abdullah dan Iskandar Tedja mempunyai cara yang hampir sama, karena mereka ditakdirkan lahir dari rahi aktivis, sedangkan HP Rajagukguk dan Imam Soepomo bergerak melalui jalur-jalu akademisi yang cenderung ilmiah, karya menjadi dasar penilaiannya. Namun, ke empat aktor tersebut mempunyai tujuan yang sama, yakni melindungi kaum buruh dari kedzaliman para kaum pemodal.

Fauzi Abdulllah

Fauzi Abdulllah (selanjutnya disebut Fauzi), seorang aktivis buruh yang oleh teman-temannya dikenal dengan gayanya yang sederhana. Namun otak dan gerakannya mampu menyihir banyak orang. Fauzi seringkali menggunakan kaos oblong dan celana bahan yang sudah sobek-sobek,[3] itu adalah pakaian yang sering ia kenakan di setiap pergerakannya.

Meskipun demikian, pakaian ala gelandangan Fauzi berbeda jauh dengan pemikiran dan gerakan yang ia produksi di lapangan. Pemikiran dan gerakan-gerakan yang Fauzi cetuskan sangat efektif untuk membuat perubahan pada diri kaum buruh.

Dalam gerakannya, Fauzi menggunakan metode dan gerakan yang jauh dengan sifat-sifat heroik, tidak seperti para aktivis buruh pada umumnya yang terlalu sering mengandalkan massa, mogok makan dan gerakan-gerakan “heboh” lainnya. Fauzi lebih banyak menggunakan pendekatan pikiran dan pengorganisasian di dalam buruh itu sendiri. Sehingga setiap buruh bisa memiliki bekal yang kelak digunakan untuk mengadvokasi dirinya, selain itu Fauzi juga mampu menanamkan sifat kolektif pada anggota buruh, sehingga buruh tidak berjuang secara individu namun juga bisa melalui aksi massa.

Fauzi pandai dalam mengorganisir dan memetakan sebuah permasalahan yang dihadapi oleh kaum buruh. Dalam gerakannya Fauzi terinspirasi dengan pemikirannya Paolo Freire yakni “Pedogogi Kaum Tertindas”. Ia pun mempraktekkan metode Freire ini dalam pengorganisasian buruh. Fauzi menggali pengalaman buruh bersama-sama buruh, mendorong mereka untuk mampu mengartikulasikan pengalamannya, mampu melakukan analisis sendiri atas kondisinya, dan juga mampu merumuskan tuntutannya sendiri.[4]

Pendidikan-pendidikan kritis selalu ia ajarkan kepada para buruh, supaya buruh tidak tergantung kepada salah satu aktor, sehingga buruh bisa melindungi dirinya sendiri dari cengkraman dan kedzaliman para kaum pemodal. Kesetiaannya pada gerakan-gerakan buruh tersebut membuatnya diganjar dengan Yap Thiam Hien Award dengan katagori “Lifetime Achievement”.[5]

Imam Soepomo

Imam Soepomo, seorang aktivis buruh namun melalui jalur akademisi. Imam Soepomo merupakan guru besar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Imam Soepomo merupakan sosok yang langka, larena sebagai guru besar dirinya masih mau untuk memikirkan gerakan-gerakan kelas proletar, sebuah gerakan yang di identikan dengan gerakan-gerakan kiri.

Sebagai staff pengajar hukum perburuhan di kampusnya, tentu Imam Soepomo memiliki analisis yang tajam terhaadap perkembangan hukum perburuhan. Banyak para penggerak buruh yang melakukan konsultasi kepadanya, sehingga hal yang wajah jika Imam Soepomo selalu menjadi rujukan bagi kaum buruh ketika menghadapi persoalan hukum ataupun persoalan gerakannya buruh lainnya.

Imam Soepomo menjadi rujukan banyak aktivis buruh karena karya-karyanya banyak tersebar di kantor-kantor serikat buruh dan juga tersebar bebas di lapak-lapak buku. Imam Soepomo banyak menulis mengenai hukum perburuhan, sehingga para pegiat buruh seringkali merujuk pada karya-karyanya ketika ingin menganalisis kebijakan-kebijakan baru terkait dengan permasalahan buruh dan ketenagakerjaan. Beberapa buku atau karyanya adalah “Pengantar Hukum Perburuhan”, “Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja dan Hukum Perburuhan”, dan “Undang-undang dan Peraturan-peraturan”.

Sebagai seorang teoritikus, Imam Soepomo dalam menulis karyanya tidak “melangit”, namun dirinya selalu menulis karya-karyanya itu berdasarkan keadaan yang ada. Dalam menulis karyanya itu, Iman Soepomo mengaku terinspirasi dengan pembagian tugas dari berbagai instansi perburuhan. Semisal Bab tentang orang atau badan yang bersangkutan, bab tentang hubungan kerja, bab tentang pemutusan hubungan kerja dan bab tentang penyelesaian perselisihan perburuhan.[6]

Kebanyakan orang memanggap hukum perburuhan itu adalah antara pekerja dan pemberi kerja, namun Imam Soepomo menolak kalau definisinya hanya sampai disitu saja, karena baginya, hukum perburuhan itu juga terkait dengan para pencari kerja. Padangan-pandangan “nakal” yang seperti itulah yang membuat dirinya sering dijadukan rujukan oleh kalangan para pegiat buruh. Tetapi posisi Imam Soepomo lebih dekat kepada aktor akedemik daripada aktor penggerak, karena dirinya lebih banyak bergerak melalui karya bukan melalui pengorganisasian buruh, seperti yang dilakukan oleh Fauzi Abdullah.

Iskandar Tedjokusuma

Iskandar Tedjokusuma (selanjutnya disebut sebagai Iskandar), merupakan aktivis buruh yang merintis gerakannya diwaktu “rezim” Soekarno atau lebih dikenal dengan rezim orde lama. Iskandar masuk dalam Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Hatta dan Sjahrir, sebelum perang di Sumatera.[7]

Pada hakikatnya Iskandar merupakan seorang aktivis buruh, namun demi memperjuangkan nasib buruh dirinya menjelma menjadi seorang aktivis politik juga, karena perpolitikan saat itu sangat efektif untuk memperjuangkan buruh melalui jalur partai politik.

Dalam gerakannya, Iskandar merupakan orang yang mempunyai jiwa yang radikal, berjuang dengan sungguh-sungguh. Demi melanjutkan perjuangannya itu, Iskandar membuat Front Rakyat (Volkfron), sebuah organisasi yang hampir sama dengan Persatuan Perjuangan (PP) yang dibentuk oleh Tan Malaka. Pada waktu itu, Iskandar menjabat sebagai wakil dari Partai Sosialis.[8] Setelah melewati beberapa periode gerakan di Sumatera Barat, Iskandar masuk ke dalam Partai Buruh Indonesia, menjabat di biro politik (1951-1956).

Ketika Iskandar sudah tidak aktif lagi sebagai aktivis partai politik, Iskandar tidak hanya duduk santai diteras rumahnya, karena Iskanda tetap bekerja dan bergerak dalam jalur pergerakan buruh dengan mendirikan beberapa organisasi buruh. Jadi, Iskandar sangat mengerti betul perkembangan-perkembangan organisasi buruh dari masa orde lama sampai dengan masa orde baru. Tentu Iskandar juga berada di tengah-tengah gejolak yang terjadi di dalam organisasi buruh yang ada di Indonesia.

Bagi Iskandar, organisasi buruh juga merupkan wadah ideologi bagi sesama anggotanya, sehingga seluruh anggota buruh wajib memperjuangkan tujuan-tujuan ideologi organisasi buruh itu sendiri.[9] Sehingga banyak organisisasi buruh yang terjun ke politik adalah suatu hal yang tidak terhindarkan, karena berusaha untuk merebut kursi-kursi kekuasaan yang nantinya apabila kekuasaan berhasil direbut maka, akan mempermudah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kepentingan buruh.

Latar belakang pendidikan hukum yang dimiliki oleh Iskandar memberikan alat berharga bagi dirinya untuk mempermudah melakukan kajian-kajian kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Bahkan, pad saat pemerintah Jepang pernah meminta bantuannya untuk mengkaji beberapa kebijakan hukum kepadanya.[10]

Humalatua Pardamean Rajagukguk

Humalatua Pardamean Rajagukguk (HP Rajagukguk), seorang akademisi yang fokus pada pengajaran hukum perburuhan. Keahliannya dalam bidang hukum buruh membuat dirinya didapuk sebagai Penasehat Perhimpunan Pengajar Hukum Perburuhan se Indonesia. Hal itu menandakan kadar keilmuannya memang sudah diakui oleh banyak pengajar hukum perburuhan.

Sebagai seorang guru, karya HP Rajagukguk sering dijadikan rujukan bagi kalangan akademisi maupun praktisi. Dalam dunia praktisi, pemikiran HP Rajagukguk pernah dijadikan rujukan oleh seorang lawyer yang ingin melegitimasi gugatannya mengenai perselisihan hak.[11]

Sebagai seorang akademisi yang lihai dalam hukum perburuhan, HP Rajagukguk sering kali dimintai pendapat ketika negara akan merumuskan kebijakan-kebijakan mengenai ketanagakerjaan. Pada tahun 1997 HP Rajagukguk terlibat dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Ketanagakerjaan. Bagi HP Rajagukguk hukum kenagakerjaan harus bisa meminimalisir terjadinya pergolakan buruh dengan perusahaan.[12]

Konflik antara buruh dengan perusahaan memang bisa saja muncul setiap waktu, HP Rajagukguk mengaini akan hal itu, karena secara sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas, buruh terpaksa bekerja pada orang lain, hal itu bisa terjadi karena majikan mempunyai kewenangan besar dalam menentukan syarat-syarat kerja. Pada titik ini HP Rajagukguk seirama dengan Imam Soepomo yang menilai hukum ketenagakerjaan itu tidak hanya membahas hubungan pekerja dengan perusahaan, tetapi juga membahas mengenai hubungan para pencari kerja dengan perusahaan.

Salam Takdzim

Muhtar Said
Peneliti PUSTOKUM



[1] Razif, Dekoloniasasi : Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa, (Yayasan Pustaka Obor Indonesia-KITLV, Jakarta : 2013) Hlm 93
[2] Ibid 191
[3] “Buruh dan Politik : Tantangan dan Peluang Gerakan Buruh Indonesia Pascareformasi“ Junal Sosial Demokrasi Vol. 10/4 januari 2011,  Hlm 79
[4] Fahmi Panimbang, Mengenang Fauzi Abdullah (1949-2009) : Beberapa Pikirannya tentang Gerakan Buruh, Indoprogres, 2009.
[5] “Peraih Yap Thiam Gien Award 2009” Viva.co.id, diunduh pada hari rabu, 14 September 2016
[6] “Mengenal Wajah Hukum Perburuhan” Hukum Online, Sabtu 03 September 2011
[7] Audrey R. Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi : Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998, (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 2005) hlm 171
[8] Ibid hlm 172
[9] Iskandar tedjakusuma, Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia, (Departement of Far Eastern Studies, Cornell University, 1958-alih bahasa Oey Ha Djoen-) hlm 52-57
[10] Logcit 172
[11] Baca putusan Nomor 369 K/Pdt.Sus-PHI/2016. Hlm 10
[12] Teten Masduki, Politik RUU Ketenagakerjaan, makalah tahun 1997

Related

Materi Diskusi 829908263283521938

Posting Komentar

emo-but-icon

WELCOME

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Hot in week

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item