Fauzi Abdullah, HP Rajagukguk, Imam Soepomo dan Iskandar Tedjokusumo : Empat Aktor Politik Hukum Perburuhan
https://pustokum.blogspot.com/2016/09/fauzi-abdullah-hp-rajagukguk-imam.html
Organisasi dan gerakan buruh
sudah ada sejak Indonesia belum memproklamirkan dirinya sebagai bangsa yang
merdeka. Sehingga cikal bakal berdirinya Republik Indonesia juga tidak bisa
dijauhkan dari pernak pernik gerakan buruh. Pada tahun 1942-1945 para buruh
sudah berani melakukan perlawanan terhadap bangsa Jepang yang menududuki bumi
nusantara.[1]
Pada tahun 1931 jumlah serikat
pekerja (buruh) yang terdaftar di Batavia sudah mencapai angka 109 buah dengan
anggotanya mencapat 79.280.[2]
masing-masing serikat mempunyai caranya sendiri dalam melindungi dan melakukan
gerakan dalam meraih cita-citanya. Pada titik tertentu cita-cita mereka adalah
melakukan gerakan kemerdekaan, karena bekerja dengan bangsa sendiri dirasa lebi
menentramkan ketimbang bekerja dengan bangsa asing.
Gerakan buruh selalu solid hingga
saat ini, namun aktornya penggeraknya yang berganti. Jika zaman sebelum
Indonesia merdeka aktornya adalah Tan Malaka dan beberapa temanya yang berada
di Partai Murba maka, pasca kemerdekaan muncul beberapa aktor penggerak buruh
seperti Fauzi Abdullah, Imam Soepomo, Iskandar Tedja, dan Humalatua Pardamean
Rajagukguk (HP Rajagukguk). Masing-masing aktor mempunyai cara yang berbeda, Fauzi
Abdullah dan Iskandar Tedja mempunyai cara yang hampir sama, karena mereka
ditakdirkan lahir dari rahi aktivis, sedangkan HP Rajagukguk dan Imam Soepomo
bergerak melalui jalur-jalu akademisi yang cenderung ilmiah, karya menjadi
dasar penilaiannya. Namun, ke empat aktor tersebut mempunyai tujuan yang sama,
yakni melindungi kaum buruh dari kedzaliman para kaum pemodal.
Fauzi Abdulllah
Fauzi Abdulllah (selanjutnya
disebut Fauzi), seorang aktivis buruh yang oleh teman-temannya dikenal dengan
gayanya yang sederhana. Namun otak dan gerakannya mampu menyihir banyak orang.
Fauzi seringkali menggunakan kaos oblong dan celana bahan yang sudah
sobek-sobek,[3] itu
adalah pakaian yang sering ia kenakan di setiap pergerakannya.
Meskipun demikian, pakaian ala
gelandangan Fauzi berbeda jauh dengan pemikiran dan gerakan yang ia produksi di
lapangan. Pemikiran dan gerakan-gerakan yang Fauzi cetuskan sangat efektif
untuk membuat perubahan pada diri kaum buruh.
Dalam gerakannya, Fauzi menggunakan
metode dan gerakan yang jauh dengan sifat-sifat heroik, tidak seperti para
aktivis buruh pada umumnya yang terlalu sering mengandalkan massa, mogok makan
dan gerakan-gerakan “heboh” lainnya. Fauzi lebih banyak menggunakan pendekatan
pikiran dan pengorganisasian di dalam buruh itu sendiri. Sehingga setiap buruh
bisa memiliki bekal yang kelak digunakan untuk mengadvokasi dirinya, selain itu
Fauzi juga mampu menanamkan sifat kolektif pada anggota buruh, sehingga buruh
tidak berjuang secara individu namun juga bisa melalui aksi massa.
Fauzi pandai dalam mengorganisir
dan memetakan sebuah permasalahan yang dihadapi oleh kaum buruh. Dalam
gerakannya Fauzi terinspirasi dengan pemikirannya Paolo Freire yakni “Pedogogi
Kaum Tertindas”. Ia pun mempraktekkan
metode Freire ini dalam pengorganisasian buruh. Fauzi menggali pengalaman buruh
bersama-sama buruh, mendorong mereka untuk mampu mengartikulasikan pengalamannya,
mampu melakukan analisis sendiri atas kondisinya, dan juga mampu merumuskan tuntutannya
sendiri.[4]
Pendidikan-pendidikan kritis
selalu ia ajarkan kepada para buruh, supaya buruh tidak tergantung kepada salah
satu aktor, sehingga buruh bisa melindungi dirinya sendiri dari cengkraman dan
kedzaliman para kaum pemodal. Kesetiaannya pada gerakan-gerakan buruh tersebut
membuatnya diganjar dengan Yap Thiam Hien Award dengan katagori “Lifetime
Achievement”.[5]
Imam Soepomo
Imam Soepomo, seorang aktivis
buruh namun melalui jalur akademisi. Imam Soepomo merupakan guru besar di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Imam Soepomo merupakan sosok yang langka,
larena sebagai guru besar dirinya masih mau untuk memikirkan gerakan-gerakan
kelas proletar, sebuah gerakan yang di identikan dengan gerakan-gerakan kiri.
Sebagai staff pengajar hukum
perburuhan di kampusnya, tentu Imam Soepomo memiliki analisis yang tajam
terhaadap perkembangan hukum perburuhan. Banyak para penggerak buruh yang
melakukan konsultasi kepadanya, sehingga hal yang wajah jika Imam Soepomo
selalu menjadi rujukan bagi kaum buruh ketika menghadapi persoalan hukum
ataupun persoalan gerakannya buruh lainnya.
Imam Soepomo menjadi rujukan
banyak aktivis buruh karena karya-karyanya banyak tersebar di kantor-kantor
serikat buruh dan juga tersebar bebas di lapak-lapak buku. Imam Soepomo banyak
menulis mengenai hukum perburuhan, sehingga para pegiat buruh seringkali
merujuk pada karya-karyanya ketika ingin menganalisis kebijakan-kebijakan baru
terkait dengan permasalahan buruh dan ketenagakerjaan. Beberapa buku atau
karyanya adalah “Pengantar Hukum Perburuhan”, “Hukum Perburuhan Bidang Hubungan
Kerja dan Hukum Perburuhan”, dan “Undang-undang dan Peraturan-peraturan”.
Sebagai seorang teoritikus, Imam
Soepomo dalam menulis karyanya tidak “melangit”, namun dirinya selalu menulis
karya-karyanya itu berdasarkan keadaan yang ada. Dalam menulis karyanya itu, Iman
Soepomo mengaku terinspirasi dengan pembagian tugas dari berbagai instansi
perburuhan. Semisal Bab tentang orang atau badan yang bersangkutan, bab tentang
hubungan kerja, bab tentang pemutusan hubungan kerja dan bab tentang
penyelesaian perselisihan perburuhan.[6]
Kebanyakan orang memanggap hukum
perburuhan itu adalah antara pekerja dan pemberi kerja, namun Imam Soepomo
menolak kalau definisinya hanya sampai disitu saja, karena baginya, hukum
perburuhan itu juga terkait dengan para pencari kerja. Padangan-pandangan
“nakal” yang seperti itulah yang membuat dirinya sering dijadukan rujukan oleh
kalangan para pegiat buruh. Tetapi posisi Imam Soepomo lebih dekat kepada aktor
akedemik daripada aktor penggerak, karena dirinya lebih banyak bergerak melalui
karya bukan melalui pengorganisasian buruh, seperti yang dilakukan oleh Fauzi
Abdullah.
Iskandar Tedjokusuma
Iskandar Tedjokusuma (selanjutnya
disebut sebagai Iskandar), merupakan aktivis buruh yang merintis gerakannya
diwaktu “rezim” Soekarno atau lebih dikenal dengan rezim orde lama. Iskandar
masuk dalam Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Hatta dan
Sjahrir, sebelum perang di Sumatera.[7]
Pada hakikatnya Iskandar merupakan
seorang aktivis buruh, namun demi memperjuangkan nasib buruh dirinya menjelma
menjadi seorang aktivis politik juga, karena perpolitikan saat itu sangat
efektif untuk memperjuangkan buruh melalui jalur partai politik.
Dalam gerakannya, Iskandar merupakan
orang yang mempunyai jiwa yang radikal, berjuang dengan sungguh-sungguh. Demi
melanjutkan perjuangannya itu, Iskandar membuat Front Rakyat (Volkfron), sebuah
organisasi yang hampir sama dengan Persatuan Perjuangan (PP) yang dibentuk oleh
Tan Malaka. Pada waktu itu, Iskandar menjabat sebagai wakil dari Partai
Sosialis.[8]
Setelah melewati beberapa periode gerakan di Sumatera Barat, Iskandar masuk ke
dalam Partai Buruh Indonesia, menjabat di biro politik (1951-1956).
Ketika Iskandar sudah tidak aktif
lagi sebagai aktivis partai politik, Iskandar tidak hanya duduk santai diteras
rumahnya, karena Iskanda tetap bekerja dan bergerak dalam jalur pergerakan
buruh dengan mendirikan beberapa organisasi buruh. Jadi, Iskandar sangat
mengerti betul perkembangan-perkembangan organisasi buruh dari masa orde lama
sampai dengan masa orde baru. Tentu Iskandar juga berada di tengah-tengah
gejolak yang terjadi di dalam organisasi buruh yang ada di Indonesia.
Bagi Iskandar, organisasi buruh
juga merupkan wadah ideologi bagi sesama anggotanya, sehingga seluruh anggota
buruh wajib memperjuangkan tujuan-tujuan ideologi organisasi buruh itu sendiri.[9]
Sehingga banyak organisisasi buruh yang terjun ke politik adalah suatu hal yang
tidak terhindarkan, karena berusaha untuk merebut kursi-kursi kekuasaan yang
nantinya apabila kekuasaan berhasil direbut maka, akan mempermudah untuk
membuat kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kepentingan buruh.
Latar belakang pendidikan hukum
yang dimiliki oleh Iskandar memberikan alat berharga bagi dirinya untuk
mempermudah melakukan kajian-kajian kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Bahkan, pad saat pemerintah Jepang pernah meminta bantuannya untuk mengkaji
beberapa kebijakan hukum kepadanya.[10]
Humalatua Pardamean Rajagukguk
Humalatua Pardamean Rajagukguk
(HP Rajagukguk), seorang akademisi yang fokus pada pengajaran hukum perburuhan.
Keahliannya dalam bidang hukum buruh membuat dirinya didapuk sebagai Penasehat
Perhimpunan Pengajar Hukum Perburuhan se Indonesia. Hal itu menandakan kadar
keilmuannya memang sudah diakui oleh banyak pengajar hukum perburuhan.
Sebagai seorang guru, karya HP
Rajagukguk sering dijadikan rujukan bagi kalangan akademisi maupun praktisi.
Dalam dunia praktisi, pemikiran HP Rajagukguk pernah dijadikan rujukan oleh
seorang lawyer yang ingin melegitimasi gugatannya mengenai perselisihan hak.[11]
Sebagai seorang akademisi yang
lihai dalam hukum perburuhan, HP Rajagukguk sering kali dimintai pendapat
ketika negara akan merumuskan kebijakan-kebijakan mengenai ketanagakerjaan.
Pada tahun 1997 HP Rajagukguk terlibat dalam perumusan Rancangan Undang-Undang
Ketanagakerjaan. Bagi HP Rajagukguk hukum kenagakerjaan harus bisa
meminimalisir terjadinya pergolakan buruh dengan perusahaan.[12]
Konflik antara buruh dengan perusahaan memang bisa saja muncul setiap waktu, HP Rajagukguk mengaini akan hal itu, karena secara sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas, buruh terpaksa bekerja pada orang lain, hal itu bisa terjadi karena majikan mempunyai kewenangan besar dalam menentukan syarat-syarat kerja. Pada titik ini HP Rajagukguk seirama dengan Imam Soepomo yang menilai hukum ketenagakerjaan itu tidak hanya membahas hubungan pekerja dengan perusahaan, tetapi juga membahas mengenai hubungan para pencari kerja dengan perusahaan.
Salam Takdzim
Muhtar Said
Peneliti PUSTOKUM
[1] Razif, Dekoloniasasi : Buruh Kota dan Pembentukan
Bangsa, (Yayasan Pustaka Obor Indonesia-KITLV, Jakarta : 2013) Hlm 93
[2] Ibid 191
[3] “Buruh
dan Politik : Tantangan dan Peluang Gerakan Buruh Indonesia Pascareformasi“ Junal
Sosial Demokrasi Vol. 10/4 januari 2011,
Hlm 79
[4] Fahmi
Panimbang, Mengenang Fauzi Abdullah
(1949-2009) : Beberapa Pikirannya tentang Gerakan Buruh, Indoprogres, 2009.
[5] “Peraih
Yap Thiam Gien Award 2009” Viva.co.id, diunduh pada hari rabu, 14 September
2016
[6]
“Mengenal Wajah Hukum Perburuhan” Hukum Online, Sabtu 03 September 2011
[7] Audrey
R. Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi
: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998, (Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta : 2005) hlm 171
[8] Ibid hlm
172
[9] Iskandar
tedjakusuma, Watak Politik Gerakan
Serikat Buruh Indonesia, (Departement of Far Eastern Studies, Cornell
University, 1958-alih bahasa Oey Ha Djoen-) hlm 52-57
[10] Logcit
172
[11] Baca
putusan Nomor 369 K/Pdt.Sus-PHI/2016. Hlm 10
[12] Teten
Masduki, Politik RUU Ketenagakerjaan, makalah tahun 1997