Mulyana : Tolak Partai Politik yang Berlambang Mirip
https://pustokum.blogspot.com/2017/07/mulyana-tolak-partai-politik-yang.html
Tugas
sebagai orang yang mempunyai kewenangan dalam melakukan verifikasi partai
politik bukanlah suatu yang gampang karena akan banyak tekanan yang Mulyana
alami. Banyak tokoh-tokoh hebata yang ingin partai politiknya bisa lolos
verifikasi dengan mudah, sehingga bisa ikut serta sebagai peserta pemilu. Dengan
keikutsertaannya sebagai peserta pemilu berarti sudah mempunyai modal awa untuk
bisa meraih kursi-kuris penting di lembaga negara atau lembaga pemerintahan,
tinggal merumuskan setrategi dalam memenangkan pertarungan pemilu.
Meskipun
banyak tekanan yang dialami oleh Mulyana, dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya sebagai penyelenggara pemilu Mulyana tetap berusaha semaksimal
mungkin untuk menyaring partai politik dengan cara yang ketat (sesuai
asas). Hal itu harus dilakukan oleh
Mulyana karena dia tidak ingin ada suatu kejadian pasca penetapan partai
peserta pemilu muncul konflik antar partai peserta pemilu atau konflik
kepengurusan di tubuh partai peserta pemilu itu sendiri, sehingga bisa merusak
jalannya tahapan pemilu.
Ketika
konflik antar partai atau konflik di dalam tubuh partai muncul maka konsentrasi
penyelenggara pemilu akan terpecah antara mengurus masalah pelaksanaan pemilu
dengan “penyelesaian” konflik di dalam tubuh partai itu sendiri. Apabila ada
konflik juga dipastikan akan mempengaruhi tata pelaksanaan pemilu itu sendiri.
Salah satu yang bisa mempengaruhi jalannya pemilu adalah terkait dengan
perselisihan kepengurusan yang sah dalam merekomendasi atau menutujui seseorang
ikut dalam pemilu legislatif ataupun pemilihan kepala daerah lainnya karena di
dalam beberapa peraturan partai politik masih mempunyai peranan penting dalam
melakukan seleksi atau mendukung seseorang mencalonkan diri sebagai legislatif
ataupun pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden serta wakil presiden.
Untuk
itu, Mulyana dan pimpinan KPU lainnya juga harus memperhatikan betul terkait
dengan verifikasi partai politik peserta pemilu. Verifikasi peserta pemilu
harus diadakan dengan ketat terkait dengan syarat adminitrasi dan verifikasi
faktualnya. Memang, melakukan penyaringan
parpol untuk dijadikan peserta pemilu bukan lah hal yang mudah, apalagi pada
tahun 2002 terdapat 205 parpol yang tercatat di Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia.[1]
Banyaknya
parpol yang sudah disahkan oleh pemerintah jelas akan membuat Mulyana bekerja
ekstra keras serta berhati hati dalam melakukan verifikasi. Hal ini dilakukan
demi memilih partai politik yang benar-benar sempurna, baik dalam legalitas
maupun ketertiban di dalam tubuh parpol itu sendiri. Meskipun sudah ada
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya namun harus ada aktor yang mampu
menerjemahkannya dengan baik, artinya perlu ada setrategi dalam melaksanakan
penyaringan parpol peserta pemilu tersebut.
Salah
satu cara atau terobosan Mulyana dalam melakukan verifikasi parpol peserta
pemilu adalah menolak partai politik yang berlambang mirip, meskipun sudah sah
sebagai parpol.[2]
Dalam hal ini, Mulyana seolah-olah ingin memberikan gambaran, semua orang bebas
melakukan kegiatan politik dengan cara mendirikan partai politik, ini adalah
bentuk demokrasi, semua orang beas untuk berserikat.. Namun, demi menjaga
marwah pemilu, maka partai politik tersebut harus memenuhi persyaratan yang
diajukan oleh KPU. Jadi, parpol yang sudah disahkan oleh pemerintah tidak
otomastis langsung menjadi partai peserta pemilu. Parpol yang sudah disahkan
oleh pemerintah tetap menjadi parpol yang mempunyai visi dan misi dalam
membangun bangsa Indonesia melalui caranya, tetap diakui oleh KPU sebagai
partai politik, namun belum tentu diakui sebagai peserta pemilu. Mulyana
melakukan verifikasi yang ketat itu bukan hanya kehendak dirinya sendiri namun
karena adanya keinginan bersama untuk menciptakan kualitas pemilu yang baik.
Mulyana berharap dalam pelaksanaan pemilu nantinya masing-masing parpol sudah
konsentresi dalam mengkampanyekan visi dan misi serta program partai, tidak
lagi ribut dengan urusan internnya sendiri yang akan berakibat pada kebingungan
konstituen dalam menentukan sikapnya.
Konflik internal parpol bisa memicu adanya
golongan putih (golput) baik golput yang “alami” maupun golput yang diorganisir
secara tersistem dan komando. Apabila golput mempunyai angka yang tinggi maka
bisa dikatakan demokrasi mengalami kelumpuhan.[3]
Parpol merupakan alat yang bisa dijgunakan untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam keikutsertannya di pemilu karena parpol merupakan mesin
pembangkit partisipasi politik. Akan tetapi parpol tidak akan bisa bekerja
maksimal (sebagai mesin pembangkit partisipasi) kalau didalamnya disubukan
dengan konflik kepengurusan, energinya habis untuk menyelesaikan konflik.
Menyelesaikan konflik dalam tubuh partai itu tidak mudah karena dibutuhkan
waktu yang lama, sehingga sangat memakan waktu, sedangkan pelaksanaan pemilu itu
sudah ada ukuran waktu yang jelas dari persiapan sampai dengan pelaksanaannya.
Sebenanya
tugas untuk meningkatkan partisipasi masyarakat bukanlah tugas KPU namun tugas
parpol karena memang yang mempunyai kepentingan adalah parpol itu sendiri.
Namun, Mulyan mengetahui betul pemahaman masyarakat, masyarakat akan mudah
menghakimi KPU apabila angka golput sangat tinggi, KPU akan dihujat, dianggap
tidak efektif dalam melaksanakan sosialisasinya. Sebagai seorang aktor
intelektual dan peneliti di bidang sosial tentu Mulyana mampu membaca peta
lebih jauh, dampak dari konflik partai juga akan beribas pada penyelenggara
pemilu karena orang akan beranggapan sukses dan tidaknya pelaksanaan pemilu itu
tergantung oleh kesiapan KPU dalam melaksanakannya. Apabilah angka golput
tinggi maka bisa dianggap pemilu yang dilaksanakan oleh KPU dianggap cacat
karena tidak mendapat banyak pengakuan dari masyarakat.
Langkah-langkah
yang ditempuh oleh Mulyana apabila diukur dengan pemilu setelahnya memang lebih
baik dalam hal golput karena partisipasi pemilu 2009 ternyata lebih rendah
dibandingkan dengan pemilu yang diadakan pada tahun 2004.[4]
Hal itu menandakan pencegahan konflik dalam tubuh partai yang dilakukan oleh
Mulyana melalui jalan (pengetatan) verifikasi parpol peserta pemilu sudah tepat
sasaran.
Langkah-langkah
Mulyana yang sedemikian ketatnya itu memberikan dampak yang siginifikan kepada
parpol dan juga KPU secara kelembagaan. Dampak yang terjadi kepada partai
politik yang masih berselisih, membuat mereka terdorong untuk cepat
menyelesaikan sengketa kepengurusan yang terus terjadi, bahkan ada beberapa
tokoh yang mengalah dan mendirikan parpol sendiri. Seperti yang dialami oleh
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Dalam
tubuh PKB ada sengketa kepengurusan antara PKB versi Kuningan dan versi Batu
Tulis, masing-masing menganggap dirinya sudah sah secara hukum. Dengan adanya
kebijakan KPU yang mengharuskan partai peserta pemilu harus sudah “klir”
sebelum mendaftar sebagai peserta pemilu maka pengurus PKB lebih memilih
mendirikan partai sendiri yakni dengan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa
Indonesia (PKBI).
Langkah-langkah
yang digunakan oleh Mulyana merupakan langkah yang sangat berani karena suasana
politik waktu itu masih labil, sebab aura reformasi masih bergelora. Hak-hak kebebasan
berserikat masih bergelora di bumi Indonesia. Mulyana sebagai aktivis
pro-reformasi telah “pasang badan”
apabila ada banyak tokoh yang akan menghujat.
Memang, strategi seperti itu sangat riskan untuk Mulyana karena potensi
dianggap sebagai orang yang menghalang-halangi kebebasan kelompok untuk bebas
berserikat dan berpolitik sangat kuat.
Sudah
banyak orang yang mengenak kepribadian Mulyana. Tidak diragukan lagi
kepribadian Mulyana sangat kuat, kalau berbicara masalah jati diri, Mulyana
seolah-olah tidak tergoyahkan seperti tembok besar cina yang berdiri gagah
dalam mencegah serangan dari kaum Mongol. Mulyana tahu betul, tindakan-tindakan
yang ia gunakan itu akan ada dampak bagi dirinya, hujatan, makian dan fitnahan
akan terus menerpa dirinya namun demi menicptakan pemilu yang berkualitas
apapun akan ia tempuh, dan itu ia buktikan dengan melaksanakan kinerjanya
dengan baik.
Verifikasi
parpol peserta pemilu tahun 2004 dilaksanakan selama empat bulan lamanya.[5]
Mulyana sebagai ketua tim verifikasi parpol tentu menjadi “buruan” utama oleh
wartawan maupun tokoh parpol yang mendaftarkan partainya, semua menginginkan
adanya kejelasan. Setelah melakukan kerja yang melelahkan akhirnya Mulyana
mengumumkan peserta pemilu tahun 2004 diikuti oleh 24 parpol.
Pengumuman
parpol peserta pemilu dinanti oleh banyak orang, bagi parpol yang lulu mereka
bersorak-sorak tanda rasa bahagia yang menyelimuti mereka. Namun, bagi yang
tidak lolos tentu merasakan kesedihan yang begitu mendalam, tertunduk lesu,
rasa kecewa pasti ada, tentu rasa kecewa itu ditujukan kepada KPU, dalam hal
ini adalah ketua tim berifikasi yakni Mulyana. Bahkan seorang tokoh seperti
Andi Mallarangeng, mengkritik habis kinerja tim verifikasi yang dipimpin oleh
Mulyana. Andi beranggapan petugas pendaftaran parpol tidak profesional karena
tidak ada aliran proses yang bisa menjamin adanya pemerikssaan awal terhadap
berkas yang masuk, sehingga KPU sangat gampang percaya pada parpol yang
jelas-jelas nakal dan mencoba memanfaatkan kelegangan petugas.[6]
Kritikan
merupakan bagian dari pembangunan jiwa. Mulyana sudah biasa berada di “medan
perang” ia tumbuh subur di dunia gerakan yang rentan dengan tindakan represif,
apalagi saat menjadi aktivis pergerakan, Mulyana hidup pada zaman orde baru
yang dekat dengan ancaman-ancaman baik berupa psikologis maupun fisik, jadi
Mental Mulyana sudah terbangun sejak dini sehingga ia tetap istiqomah terhadap pendirian.
Saat
Mulyana menentukan pilihannya sebagai orang yang terlibat langsung di pemilu,
sebagai penyelenggara pemilu, tentu hal-hal semacama kritikan dan hujatan sudah
diperhitungkan secara matang-matang. Bahkan terkait hasil verifikasi parpol
peserta pemilu, Mulyana tidak mengkhatirkan adanya gelombang cacian atau
hujatan yang menimpa dirinya, Mulyana malah lebih khawatir terhadap dampak
hasil dari pemilu. Mulyana memprediksikan ada 14 titik kerawanan sepanjang
proses demokrasi lima tahunan itu. Dari 14 titik kerawanan itu dikelompokan
lagi menjadi tiga yakni reaksi dan protes massa, bentrok antar massa
pendukunhg, dan aktivitas massa menyikapi hasil pemilu.[7]
Mulyana
pintar dalam mempredeksi potensi kejadian karena Mulyana seorang kriminolog
handal. jadi Mulyana merupakan orang yang berpikir jauh ke depan, keputusan
yang ia ambil sudah terpredeksi dampak dan manfaatnya, termasuk memutuskan
hasil partai yang lolos sebagai peserta pemilu.
By.
Muhtar Said
Peneliti Pusat Studi Tokoh Pemikir Hukum (Pustokum)
Dosen, HTN/HAN Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta
[1]
“Seleksi Peserta Pemilu Tuntas Agustus 2003” Suara Pembaharuan, 22/8/2002
[2]
“KPU Tolak Parpol Berlambang Mirip” Media Indonesia 3-5-2002
[3]
Dewi Ari Kurniasih, Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pilpres 2009, Jurnal
Ilmiah PPKN IKIP Veteran Semarang hlm 32
[4] Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu 2009 ini lebih
rendah dibandingkan Pemilu 1999 dan 2004. Sebanyak 29,1% pemilih pada pemilu
legislatif, 9 April 2009, diketahui tidak menggunakan hak pilih (golput). Dari
171.265.442 jumlah pemilih yang terdaftar sebagai pemilih tetap, hanya
121.288.366 orang yang menggunakan hak pilih. Dengan demikian terdapat
49.677.076 pemilih yang tidak ikut mencontreng.
Sementara jumlah suara sah sebanyak 104.099.785 dan suara tidak sah
sebanyak 17.488.581. Banyaknya warga yang tidak menggunakan hak mereka
dilatarbelakangi oleh persoalan teknis maupun ideologis. Ada pemilih yang tidak
terdaftar dalam DPT, ada yang kecewa dengan desain format pemilu yang tidak
menghargai hak politik warga negara yang dijamin oleh konstitusi, ada pula yang
ke-golputannya sebagai bentuk protes terhadap kondisi yang ada. Ibid hlm 33
[5]
“Pemilu 2004 diikuti 24 Parpol” Suara Merdeka, Senin 8 Desember 2003
[6]
“Jangan Sakit Hati Jika Tak Lolos verifikasi, Uni Sosial Demokrat (www.unisosialdemokrat)
[7]
“Mengkhawatirkan Pemilu 2004 yang Mengkhawatirkan”, Watch Indonesia, diunduh
dari www.watchindonesia.org