Hukum Progresif “ Warisan dari sang Begawan”

Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia. Reformasi hukum di Indonesia belum berhasil atau bahkan gagal antara lain disebabkan masih maraknya tindak criminal, parahnya lagi criminal yang terjadi adalah criminal kelas kakap seperti korupsi, komersialisasi dan commodification, hal tersebut terjadi karena positivistic penegak hukum kadang tergadaikan dengan materi sehingga masih marak tebang pilih dalam penegakan hukum sendiri.
Padahal selama ini hukum menempati tempat yang paling mulia. Dia dipandang sebagai teks tertutup dengan kepastian makna demi tujuan-tujuan yang sublim. Frase seperti “kepastian hukum”, “persamaan di muka hukum”, “praduga tak bersalah”, “Imparsialitas” adalah sebagian materialisasi dari keyakinan tersebut.

Banyak yang beranggapan Hukum Positif paling tepat dalam mengatasi permasalahan hukum di Indonesia, tetapi hal tersebut mungkin berlaku bagi kelas proletar karena bagi para orang yang sering disebut kaum borjuis dengan mudah dapat mempermainkan hukum dengan materinya. Terbukti dengan lolosnya para koruptor dan penjahat kelas kakap lainnya beda halnya dengan kasus seperti nenek Minah yang sampai dipersidangkan gara-gara mengambil 3 buah kakao dari Perkebunan PT, Rumpun sari Antan Banyumas, padahal seorang nenek yang buta aksara tersebut hanya memungut buah yang sudah terjatuh dari pohonnya untuk dibuat bibit dan perkebunanpun tak akan mengalami kerugian yang berarti dari hal tersebut, benar-benar hal yang menjijikkan hal tersebut terjadi dalam hukum di Indonesia. Para pengamat, termasuk pengamat Internasional menyatakan bahwa sistem hukum Indonesia termasuk yang terburuk didunia. Tidak hanya pengamat, bahkan rakyat Indonesia sendiripun menyatakan demikian.

Dalam CLS (Critical Legal Study), salah satu kritiknya yang fenomenal ialah “bahwa hukum itu sudah cacat sejak dilahirkan”. Hal ini sejatinya adalah sebuah tragedi hukum. Masyarakat diatur hukum yang penuh cacat, karena ketidakmampuannya untuk merumuskan secara tepat kebutuhan dan persoalan yang ada di masyarakat, akibatnya masyarakat diatur oleh hukum yang sudah cacat sejak lahir dan sarat dengan unsur politik didalamnya.
Keadaan hukum Indonesia yang karut-marut, seperti menjadi cambuk bagi lahirnya sebuah gagasan hukum baru, Sang Begawan Hukum Prof. Satjipto Rahardjo,S.H (Alm) seorang guru besar SOsiologi Hukum membuat gagasan yang fenomenal yaitu hukum progresif. Proses lahirnya gagasan tersebut tidak berlangsung dalam waktu singkat. Pergulatan gagasan dan pemikiran ini sudah berlangsung lama, makanya energi yang dilahirkan demikian menggumpal hingga mencapai puncak gagasan hukum progresif ini pada tahun 2002. Namun demikian, bila kita melihat dari perkembangan berbagai tulisan dari pemikiran progresif Prof. Tjip, sepertinya telah dimulai jauh sebelum tahun 2002. Dalam buku Hukum Progresif “ Sebuah Sintesa Hukum di Indonesia” Prof. Tjip menyatakan Hukum Progresif juga untuk menyindir hukum modern yang sangat procedural dan menyiksa manusia, sangat bertolak belakang dengan hakikat hukum yaitu untuk mensejahterakan manusia. Hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya.

Penegakan hukum progresif dibutuhkan karena pengamatan selama ini menunjukkan meski bangsa meneriakkan supremasi hukum dengan keras, hasilnya tetap amat mengecewakan. Dengan meminjam kacamata Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies/CLS), Hukum Progresif mencoba meneropong kelahiran Hukum Positivistik yang berkelindan dengan kemunculan kapitalisme. Lahirnya Hukum Positivistik menyebabkan hukum yang dulunya tidak tertulis dibuat tertulis, dengan tujuan untuk melindungi dan menjamin hak-hak liberal individu.

Dalam konsep hukum progresif, hukum tidak ada untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang berada diluar dirinya. Meminjam istilah Nonet&Selznick hukum progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe responsif, hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan diluar diluar narasi tekstual hukum itu sendiri. Kedekatan hukum progresif kepada teori-teori hukum aliran alam terletak pada kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai meta jurisdical. Teor hukum alam mengutamakan the search for justice daripada lainnya, seperti yang dilakukan oleh aliran analitis. Hukum Progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan menafsirkan hukum dari sudut logika dan peraturan.

Sekarang dapat disimpulkan semua aspek yang berhubungan dengan hukum progresif akan dipadatkan kedalam konsep progresivisme. Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih saying serta kepedulian terhadap sesame. Hal tersebut menjadi modal penting dalam membangun hukum yang bersifat bottom up (berasal dari kehidupan masyarakat), dengan demikian hukum menjadi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan. Berkaitan dengan hal tersebut, hukum progresif memuat kandungan moral yang sangat kuat, Progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani melainkan suatu sistem yang bermoral.

Semoga dengan Hukum Progresif bisa mereformasi sistem hukum di Indonesia sehingga kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Salam hormat & Terima Kasih kepada Almarhum Prof. Satjipto Rahardjo,S.H

Related

Artikel 7289320024789198526

Posting Komentar

emo-but-icon

WELCOME

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Hot in week

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item