Hukum Progresif “ Warisan dari sang Begawan”
https://pustokum.blogspot.com/2014/12/hukum-progresif-warisan-dari-sang.html
Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi
masyarakat di Indonesia. Reformasi hukum di Indonesia belum berhasil
atau bahkan gagal antara lain disebabkan masih maraknya tindak criminal,
parahnya lagi criminal yang terjadi adalah criminal kelas kakap seperti
korupsi, komersialisasi dan commodification, hal tersebut terjadi
karena positivistic penegak hukum kadang tergadaikan dengan materi
sehingga masih marak tebang pilih dalam penegakan hukum sendiri.
Padahal selama ini hukum menempati tempat yang paling mulia. Dia
dipandang sebagai teks tertutup dengan kepastian makna demi
tujuan-tujuan yang sublim. Frase seperti “kepastian hukum”, “persamaan
di muka hukum”, “praduga tak bersalah”, “Imparsialitas” adalah sebagian
materialisasi dari keyakinan tersebut.
Banyak yang beranggapan Hukum Positif paling tepat dalam mengatasi
permasalahan hukum di Indonesia, tetapi hal tersebut mungkin berlaku
bagi kelas proletar karena bagi para orang yang sering disebut kaum
borjuis dengan mudah dapat mempermainkan hukum dengan materinya.
Terbukti dengan lolosnya para koruptor dan penjahat kelas kakap lainnya
beda halnya dengan kasus seperti nenek Minah yang sampai dipersidangkan
gara-gara mengambil 3 buah kakao dari Perkebunan PT, Rumpun sari Antan
Banyumas, padahal seorang nenek yang buta aksara tersebut hanya memungut
buah yang sudah terjatuh dari pohonnya untuk dibuat bibit dan
perkebunanpun tak akan mengalami kerugian yang berarti dari hal
tersebut, benar-benar hal yang menjijikkan hal tersebut terjadi dalam
hukum di Indonesia. Para pengamat, termasuk pengamat Internasional
menyatakan bahwa sistem hukum Indonesia termasuk yang terburuk didunia.
Tidak hanya pengamat, bahkan rakyat Indonesia sendiripun menyatakan
demikian.
Dalam CLS (Critical Legal Study), salah satu kritiknya yang fenomenal
ialah “bahwa hukum itu sudah cacat sejak dilahirkan”. Hal ini sejatinya
adalah sebuah tragedi hukum. Masyarakat diatur hukum yang penuh cacat,
karena ketidakmampuannya untuk merumuskan secara tepat kebutuhan dan
persoalan yang ada di masyarakat, akibatnya masyarakat diatur oleh hukum
yang sudah cacat sejak lahir dan sarat dengan unsur politik didalamnya.
Keadaan hukum Indonesia yang karut-marut, seperti menjadi cambuk bagi
lahirnya sebuah gagasan hukum baru, Sang Begawan Hukum Prof. Satjipto
Rahardjo,S.H (Alm) seorang guru besar SOsiologi Hukum membuat gagasan
yang fenomenal yaitu hukum progresif. Proses lahirnya gagasan tersebut
tidak berlangsung dalam waktu singkat. Pergulatan gagasan dan pemikiran
ini sudah berlangsung lama, makanya energi yang dilahirkan demikian
menggumpal hingga mencapai puncak gagasan hukum progresif ini pada tahun
2002. Namun demikian, bila kita melihat dari perkembangan berbagai
tulisan dari pemikiran progresif Prof. Tjip, sepertinya telah dimulai
jauh sebelum tahun 2002. Dalam buku Hukum Progresif “ Sebuah Sintesa
Hukum di Indonesia” Prof. Tjip menyatakan Hukum Progresif juga untuk
menyindir hukum modern yang sangat procedural dan menyiksa manusia,
sangat bertolak belakang dengan hakikat hukum yaitu untuk
mensejahterakan manusia. Hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya.
Penegakan hukum progresif dibutuhkan karena pengamatan selama ini
menunjukkan meski bangsa meneriakkan supremasi hukum dengan keras,
hasilnya tetap amat mengecewakan. Dengan meminjam kacamata Studi Hukum
Kritis (Critical Legal Studies/CLS), Hukum Progresif mencoba meneropong
kelahiran Hukum Positivistik yang berkelindan dengan kemunculan
kapitalisme. Lahirnya Hukum Positivistik menyebabkan hukum yang dulunya
tidak tertulis dibuat tertulis, dengan tujuan untuk melindungi dan
menjamin hak-hak liberal individu.
Dalam konsep hukum progresif, hukum tidak ada untuk kepentingannya
sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang berada diluar dirinya.
Meminjam istilah Nonet&Selznick hukum progresif memiliki tipe
responsif. Dalam tipe responsif, hukum akan selalu dikaitkan pada
tujuan-tujuan diluar diluar narasi tekstual hukum itu sendiri. Kedekatan
hukum progresif kepada teori-teori hukum aliran alam terletak pada
kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai
meta jurisdical. Teor hukum alam mengutamakan the search for justice
daripada lainnya, seperti yang dilakukan oleh aliran analitis. Hukum
Progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada
menafsirkan menafsirkan hukum dari sudut logika dan peraturan.
Sekarang dapat disimpulkan semua aspek yang berhubungan dengan hukum
progresif akan dipadatkan kedalam konsep progresivisme. Progresivisme
bertolak dari pandangan kemanusiaan, manusia pada dasarnya adalah baik,
memiliki sifat-sifat kasih saying serta kepedulian terhadap sesame. Hal
tersebut menjadi modal penting dalam membangun hukum yang bersifat
bottom up (berasal dari kehidupan masyarakat), dengan demikian hukum
menjadi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan. Berkaitan dengan hal
tersebut, hukum progresif memuat kandungan moral yang sangat kuat,
Progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak
bernurani melainkan suatu sistem yang bermoral.
Semoga dengan Hukum Progresif bisa mereformasi sistem hukum di Indonesia
sehingga kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat
Indonesia.
Salam hormat & Terima Kasih kepada Almarhum Prof. Satjipto Rahardjo,S.H