Mr. Djokosoetono, Pemalu namun Berilmu (Ulasan Singkat)



Patung Djokosoetono
di depan Fak. Hukum UI
Prof. Mr. Djokosoetono, ahli hukum yang lahir pada tanggal 5 Desember 1908.[1]Surakarta menjadi tanah kelahirannya, Surakarta merupakan tanah yang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar, banyak tokoh yang dilahirkan maupun digodok di tanah ini. Surakarta merupakan salah satu pusat peradaban nusantara pada waktu itu.

Aura kelembutan keraton Surakarta memberikan selimut bagi dirinya, dia dibalut dengan kelembutan budaya Surakarta, sehingga wajah dan tindak tanduk Djokosoetono bisa memancarkan aura kharismatik. Dia lembut, namun tidak lemah, pemikiran-pemikiran  yang ia telurkan banyak membantu kemajuan republik ini. Ia pun punya perhatian yang besar pada hukum adat,[2]sebagai hukum rakyat yang perlu dikembangkan.

Sejak menjadi mahasiwa di Recht Hoge School(Sekolah Tinggi Hukum), Djokosoetono terkenal dengan kecerdasannya, banyak yang mengakui, termasuk para guru dan profesor yang mengajarnya. Meskipun demikian, gaya Jawa Surakarta tetap melekat pada dirinya, ia tetap rendah hati. Tidak larut dalam pujian.

Djokosoetono memang mempunyai gaya yang rendah hati, itu tampak pada saat ujian akhirnya (skripsi) di Rech Hoge School. Djokosoetono, merasa dirinya belum pantas mendapatkan gelar (sarjana), ujian akhir-pun ia tunda terus menerus, dirinya merasa ilmunya belum mengendap dan masih membutuhkan banyak bimbingan, jika ia meninggalkan kampus, maka kesempatan untuk dibimbing oleh para guru-gurnya menjadi berkuran.

Begitulah sifat pemalu Djokosoetono. Baginya, gelar bukanlah tujuan, namun ilmu adalah hal yang utama di dunia ini, karena bisa membimbingnya dalam kehidupan. Meskipun terus dibujuk oleh teman-temannya untuk segera melaksanakan ujian, dirinya tetap teguh pada pendiriannya, mengendapkan ilmu, meskipun dia sendiri tidak tahu kapan dirinya bisa mencapai puncak yang dinginkannya itu, karena tidak ada ukuran pasti, dan yang bisa mengukur itu adalah dirinya sendiri.

Kabar sifat rendah hati Djokosoetono-pun mulai terdengar ke mana-mana, tidak terkecuali Profesor. Schepeer, guru besarnya. Prof. Schepper mengetahui betul sifat Djokosoetono, memaksa bukanlah salah satu perbuatan yang bijak. Prof. Schepper, mulai memutar otaknya, mencari cara yang halus, supaya Djokosoetono mau diuji.

Setelah sekian lama merenung, akhirnya Prof. Schepper mempunyai cara yang unik dalam menguji Djokosoetono. Tibalah suatu hari, Prof. Schepper mengajak Djokosoetono naik mobil bersamanya, dengan dalih mendampingi dirinya untuk berkeliling Kota Batavia. Di dalam perjalanan, Prof. Schepper mengajak Djokosoetono berbincang-bincang santai, di dalam perbincangannya, Prof. Schepper menyelipkan beberapa pertanyaan terkait dengan karya akhirnya.

Djokosoetono tidak tahu, kalau profesornya itu ternyata memberikan pertanyaan kepadanya, mengingat itu adalah obrolan santai, seperti diskusi biasa, yang sering ia lakukan bersama teman-temannya waktu dikelas, di halaman kampus, maupun di pondokan.

Obrolan (yang didalamnnya terbesit pertanyaan-pertanyaan itu) mengalir, adegan saling tanya jawab terjadi di dalam mobil milik Prof. Schepper. Canda tawa mengiasi obrolan itu, terkadang Djokosoetono mengeyitkan dahinya tanda obrolan semakin serius, sedangkan Schepper tetap santai menunggu jawaban Djokosoetono. Begitu juga, dengan Schepper terkadang dirinya juga dikagetkan dengan jawaban-jawaban dari Djokosoetono yang agak asing, karena ada hal-hal yang baru.

Setelah puas berkeliling kota Batavia, Schepper yang juga penguji tugas akhir Djokosoetono itu juga merasakan kepuasan, karena mendapatkan ilmu yang banyak dari Djokosoetono. Schepper-pun menyatakan, Djokosoetono telah lulus ujian dan pantas mendapatkan gelar Meester in de rehten (MR). Djokosoetono merasa kaget, karena dirinya tidak tahu kalau obrolan di mobil tadi adalah bentuk dari sebuah ujian.[3]

Djokosoetono memang unik, mempunyai kecerdasan namun tidak ia lihatkan. Tetapi yang namanya mutiara tetaplah mutiara, meskipun ditutupi oleh lumpur, tetap bisa dibersihkan dan mempunyai kilaunya tetap tidak memudar sedikitpun.

Pasca menamatkan kuliahnya di Recht Hoge School, Ilmu Djokosoetono dipergunakan dimana-mana. Bahkan dalam periode 1942-1945, dia diangkat menjadi Pegawai Tinggi Shihobu (Dep. Kehakiman) di Jakarta. Begitulah orang-orang yang mempunyai kemilau ilmu, dia akan dicari dan hidupnya akan bermanfaat bagi banyak orang.

Jasanya tidak sedikit untuk bangsa, karena pasca proklamasi. Djokosotoeno banyak memberikan kontribusi nyata, bukan hanya pikiran tetapi juga tindakan. Bersama Soepomo dan Soenario Kolopaking, Djokosoetono menjadi pelopor berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).[4]

Djokosoetono ingin mendesain kepolisian menjadi lembaga yang humanis, meskipun tugasnya sebagai alat penegak hukum. Paradigma polisi yang berkutat sebagai alat “penggebuk” pemerintah, dirubahnya menjadi alat pemerintah yang humanis, namun tidak meninggalkan sisi-sisi ketegasan.

Djokosoetono tidak hanya seorang pendiri PTIK, namun dirinya juga sebagai pencetus Tri Brata, sebuah pedoman hidup kepolisian.[5]Bagi Djokosoetono, harus ada pedoman tugas bagi para polisi, dimana pedoman itu akan selalu membisiki hati para polisi ketika menjalankan tugasnya, sehingga bisa menjadi tongkat penuntun agar tidak terjatu ketika berjalan.

Djokosoetono seolah-olah ditakdirkan lahir sebagai ahli hukum, seorang ahli yang bisa membuat konsep kebijakan-kebijakan atau hukum yang dibuat oleh negara. Sebagai ahli hukum, dirinya tidak hanya lihai dalam mengajar namun juga lihai dalam memberikan pendapat yang berhubungan dengan sistem pemerintah. Baginya segala sesuatu yang terkait dengan pemerintahan haruslah mempunyai sifat yang demokratasi, termasuk partai politik.

Partai politik, bagi Djokosoetono adalah unsur terpenting dalam membangun pemerintahan yang demokrasti, oleh karena itu di dalam tubuh partai politik itu sendiri harus menerapkan sistem demokrasi terlebih dahulu. Dan benar, Djokosoetono merupakan salah seorang yang membuat instrumen Undang-Undang Partai Politik pada tahun 1959.[6]

Bagi dirinya, Indonesia merupakan negara yang menganut faham demokrasi, oleh karena itu, segala sesuatu yang menyangkut tiang negara haruslah menanamkan sifat demokrasi, termasuk partai politik.

“..According to Djokosoetono, in western literature on the subject the following could be included in a political parties law” 1) prohibition of non-democratic parties; 2) a condition that every party must work towars carrying out state principles and not merely for material interests; 3) control over party finances; 4) a condition that parties must be organized democratically; 5) regulation of candidatuter; 6) a rule that only recognized parties might participate in elections..”[7]

Memberikan bimbingan kepada para penerus bangsa menjadi tugas wajib Djokosoetno, karena dia adalah dekan pertama Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia pertama. Ketika dirinya menjabat sebagai dekan, Djokosoetono berani mengubah gelar lulusan hukum yang dulunya bernama Meester in de rechten (Mr) diganti dengan sebutan Sarjana Hukum (SH).

Bukan hanya itu, untuk memberikan contoh, Djokosoetono juga merubah gelar Mr yang ia sandang menjadi SH. Padahal pada waktu pergantian nama gelar itu, banyak terjadi perdebatan, banyak yang tidak sepakat gelar itu diganti, karena banyak yang beranggapan, sistem pendidikan Belanda lebih baik daripada sistem pendidikan Indonesia. Namun, Djokoseotono tetap tidak bergeming, dirinya tetap pada pendiirinya.

Masih banyak lagi pemikiran-pemikirannya yang belum terurai disini, padahal itu sangatlah penting, karena bisa memberikan sambungan kepada sejarah perkembangan pemikiran hukum Indonesia. Sehingga sejarah pemikiran Indonesia banyak yang terhapus dan tergilas oleh perkembangan ilmu hukum yang berasal dari luar Indonesia, yang tentunya ada ketidakcocokan dengan budaya-budaya Indonesia.

Muhtar Said
Peneliti PUSTOKUM

[1] Ada beberapa perbedaan mengenai tahun kelahirannya, data yang dicatat oleh Hukum Online Djokosotono lahir pada tahun 1908, sedangkan Harun Alrasid, muridnya mencatat tahun kelahiran mencatat dia lahir pada tahun 1903. Sedangkan data diatas adalah keterangan dari keluarga yang juga dicntumkan oleh media hukum online dalam peliputannya.
[2] Soepomo & Djokosutono. Sejarah Politik Hukum Adat. Jilid I. Dari Zaman Kompeni Hingga Tahun 1848. 1982 Pradnya Paramita. Jakarta, p. 39. Pada zaman Daendels sudah muncul dua aliran yang bertentangan, dalam hal penerapan hukum di Indonesia. Utamanya Undang-Undang Pemerintahan untuk Harta-Benda di Asia ‘Bataafsche Republick voor de Asiatische bezittingen.’ Pada tangal 27 September 1804 disyahkan, namun menyisakan berdebatan diantara aliran yang tak suka pada peubahan (behoudende ricghting) seperti Nederburg. Dan, aliran yang suka pada perubahan (vrijzinnige ricghting) seperti van Hogendorp. Kedua aliran ini juga perlakuan yang berbeda memposisikan institusi masyarakat bumiputera.
[3] Dr. Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, Kenangan Masa Lampau : Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1993 hlm 113. “tulisan diatas adalah bentuk penekanan penulis terhadap teks”.
[4] Melalui Keputusan Presiden No 3/51/53 tanggal 17 Agustus  1946
[5] Tim Narasi, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia : Biografi Singkat Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, Penerbit Narasi, Yogyakarta, Cetakan ketiga 2009 hlm 70
[6] Daniel S Lev, The Transition to Guided Democracy Indonesian Politics 1957-1959,Equinox Publishing, Jakarta-Kuala Lumpur, 2009 p 234
[7] Ibid 234

Related

Artikel 6115595464365484070

Posting Komentar

emo-but-icon

WELCOME

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Hot in week

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item