Prof. Jimly
Asshiddieqie SH (lebih akrab dipanggil dengan Jimly), benar-benar memberikan
sumbangsih yang besar terhadap perkembangan dan “penegakan” konstitusi
Indonesia. Ilmuan hukum tata negara pantas disematkan diatas pundaknya,
mengingat dedikasinya terkait dengan keilmuan, baik melalui karya-karyanya,
kurang lebih 46 karya yang telah dibuatnya.
Yang mulia
adalah sebutan saat dirinya bertindak sebagai garda terdepan dalam menjaga marwah
konstitusi Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) ia bangun dengan hati, pikiran
dan tenaganya. Jimly bukan hanya sekedar membangun lembaga agung milik
Indonesia itu, namun juga memberikan ruh terhadap lembaga tersebut. Dalam menjaga
marwah MK, Jimly menggunakan ilmunya
bukan dengan cara-cara politik, sehingga orang yang memandangnya akan tertunduk
hormat.
Pengetahuannya
mengenai konstitusi menjadi “pembungkus” MK, sehingga orang akan segan dengan MK karena disitu adalah “gudangnya”
ilmu pengetahuan, sehingga putusan-putusan yang dikeluarkan oleh MK akan
dihormati, karena semua orang tahu, produk itu adalah hasil godokan oleh
orang-orang yang berilmu.
“Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia” merupakan karya yang lahir dari tangan lembut
Jimly, saat dirinya masih menjadi ketua MK. Dibalik kesibukannya sebagai ketua,
yang juga harus mengurus adminitrasi lembaga, dirinya tetap menyempatkan untuk
membaca buku dan menulis.
Di ruang
kerjanya, Jimly sering membuka-buka buku. Buku itu ia baca dengan serius,
sesekali tangan (tua) Jimly membenahkan kacamatanya yang mulai tergeser. Membaca
bukanlah pekerjaan yang mudah, membaca membutuhkan energi yang banyak, karena
harus memeras otak dan konsentrasi tinggi, sehingga untuk menjernihkan otak dan
konsentrasinya, seringkali Jimly mengambil dan meneguk teh hangat yang tertuang
dalam gelas besarnya.
Setelah
membaca buku, barulah Jimly mulai menghidupkan komputer, membuka sofware
microssof dan kemudian jari-jari halusnya mulai “menari” diatas keyboard dan membentuk tulisan-tulisan
yang mudah dibaca oleh orang lain.
Di saat
jari-jari Jimly sedang asik menari diatas keyboard, tiba-tiba terdengar suara
ketukan pintu
“tok...tok...tok,
Assalamualaikum” . Seorang staff MK masuk dengan membawa setumpuk berkas,
yang kemudian diletakkan diatas meja kerjanya.
“Maaf Prof, ada beberapa berkas yang harus ditandatangani”, ujar
staff MK sebelum menaruh berkas tersebut diatas meja Jimly.
Melihat setumpuk
berkas yang ditaruh dihadapannya itu, wajah Jimly langsung berubah menjadi
muram, karena dirinya merasa terganggu. Jimly, pantas mengubah mimik wajahnya
menjadi muram, karena dengan datangnya tumpukan berkas itu, berarti, dirinya
harus menghentikan pekerjaan menulisnya. Padahal menulis membutuhkan energi
yang kuat. Jimly sudah bersusah payah mengumpulkan tenaga dan pikirannya untuk
menulis, namun dihentikan dengan “paksa” oleh staff dan berkas-berkas yang diberikan
kepadanya.
Jimly terdiam
sejenak, wajah muramnya kemudian berubah dengan wajah santai, karena Jimly
mengetahui betul tentang tugas dan tanggung jawabnya, yakni, mengelola
organisasi MK yang mau tidak mau harus bergulat dengan persoalan-persoalan adminitrasi,
bukan hanya buku saja.
Setelah
berkas-berkas diperiksanya satu persatu dengan teliti dan setelah memastikan
berkas telah diperiksa secara detail, barulah tangan Jimly mengabil pena yang
berada disakunya. Diletakanlah pena itu diatas kertas, tepat diatas nama Prof.
Dr. Jimly Asshiddiqie,SH. Setelah benar-benar memastikan posisi penanya benar,
barulah tangan Jimly mulai “menggoyangkan” penanya dan membentuk paraf (tanda
tangan).
Setelah urusan
adminitrasi selesai. Jimly mulai mengembalikan tatapannya kepada monitor
komputer. Jimly sedikit merasa kesulitan saat akan menulis lagi, karena
konsentrasi sudah hilang saat sang staff datang dan membawa berkas.
Untuk
memecahkan kebuntuannya itu, tangan Jimly mengambil gelas besar yang berisi teh
manis yang sudah agak dingin karena hembusan air conditioner (ac) ruangan. Setelah teh manis sudah membasahi
tenggorokannya, pikiran Jimly mulai tenang kembali, konsentrasi-pun mulai
pulih. Kemudian ia baca kembali tulisannya, dan setelah menemukan momen yang
hilang, barulah Jimly mulai menulisnya kembali. Kejadian itu sering
berulang-ulang. Namun kesabaran Jimly menjadi kunci utamanya. Setelah sekian
lama menulis munculllah karyanya yang berjudul “ Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia”
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, buku yang memberikan tuntunan bagi para pembaca. Pembaca
saat membaca buku ini, akan disuguhkan dengan luasnya pengetahuan Jimly
mengenai sejarah konstitusi dan konstitusionalisme di dunia.
Jimly bukanlah
pakar sejarah, namun dirinya juga tidak mau dianggap sebagai orang yang ahistoris terhadap perkembangan ilmu konstitusi dari waktu ke waktu. Jimly
bukan seorang filsuf, namun saat menulis buku tentang konstitusinya ini,
dirinya sampai menarik jauh ke belakang, ke masa peradaban Yunani kuno, sebuah
peradaban yang oleh banyak orang dianggap sebagai pusat peradaban pertama di
dunia.
Pemikiran
Plato dan Aristoteles menghiasasi “dinding-dinding” buku “konstitusi dan
konstitusionalisme Indonesia”.
Sehingga mampu membuat pembaca
“memanggut-manggutkan”, sebuah tanda orang tersebut
mendapatkan pencerahan.
Dalam karyanya
itu, Jimly tidak membandingkan, namun hanya memberikan gambaran kepada pembaca
untuk mengetahui sejarah konstitusi di dunia. Bahkan, pembaca akan merasa
terheran-heran karena Jimly memasukan Piagam Madinah, sebagai konstitusi
tertua.
Piagam Madinah
memang bisa dijadikan rujukan untuk memberikan inspirasi bagi perumusan
konstitusi, karena di dalamnya terdapat “wejangan-wejangan”
mengenai persatuan. Penjabarannya mengenai Piagam Madinah ini seolah-olah
memberikan penegasan bahwa dirinya memang seorang cendekiawan muslim, sehingga
pantaslah Jimly “didapuk” sebagai Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI).
Kembali ke
buku Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Selain memberikan uraian
mengenai sejarah konstitusi, Jimly juga memberikan penjelasan alasan konstitusi
dibentuk. Pada abad modern, konstitusi dibentuk sebagai langkah untuk memberikan
pembatas bagi para penguasa, supaya penguasa tidak melakukan
kesewenang-wenangan terhadap warganya. Lambat laun, konstitusi bukan hanya
sebagai pembatas kekuasan, namun juga sebagai pengatur hubungan antar lembaga
negara.
Konstitusi Muhammad Yamin dan Konstitusi Jimly
Pengetahuan
Jimly terkait dengan konstitusi tentunya menjadi nilai lebih bagi MK pada waktu
itu, karena wibawa MK juga bisa terangkat, sehingga orang tidak akan memandang
remeh putusan-putusan yang dibuat oleh MK.
Seperti yang
sudah dijelaskan di atas, dimana Jimly
mampu menguraikan secara detail sejarah perkembangan konstitusi di dunia hingga
sampai penerapan konstitusi di Indonesia. Sehingga pembaca seolah-olah diberi
beberapa hidangan, yang memudahkan pembaca untuk memilih salah satu hidangan
dan kemudian mendalaminya lagi. Begitulah sifat seorang guru, memberikan
gambaran-gambaran kepada muridnya, dan memberikan rangsangan kepada para
murid-muridnya untuk menelisik lebih jauh.

Sebenarnya,
karya orang Indonesia mengenai konstitusi sudah ada sebelum Jimly, yakni
Muhammad Yamin. “Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia” merupakan karya
Yamin. Dalam pembahasan konstitusi Indonesia, Yamin lebih cenderung mengurai
isi-isi konstitusi dan menariknya ke dalam ranah filosofis, sedangkan Jimly
lebih terkesan memberikan gambaran.
Selain itu,
ada perbedaan konstitusi yang ditulis oleh Yamin dengan Konstitusi yang ditulis
oleh Jimly. Bukan maksud membandingkan, konstitusi yang ditulis oleh Jimly
lebih lengkap daripada konstitusi yang ditulis oleh Yamin. Meskipun demikian,
tidak berarti kemudian Jimly lebih hebat daripada Yamin. Jimly dan Yamin hidup
dalam zaman yang berbeda, dimana fasilitasnya-pun juga berbeda.
Ada beberapa
pembahasan yang sama antara Yamin dengan Jimly. Di bab II dan Bab III buku
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia membahas mengenai pokok pikiran
konstitusi Indonesia. Dalam bab II pembahasan mengenai konstitusi Jimly dengan
Yamin itu berbeda terkait dengan model pembahasannya. Jimly lebih terkesan menguraikan
prinsip-prinsip penyelenggaraan negara.
Sedangkan Yamin lebih terkesan menguraikan proses pembentukan konstitusi.
Ada pembahasan
yang hampir sama yang diuraikan oleh Jimly dan Yamin, terkait dengan pokok
pikiran konstitusi Indonesia, terutama terkait dengan pembahasan Ke-Tuahan-an
Yang Maha Esa. Bagi Yamin, dengan adanya dasar Ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
berarti menandakan negara Republik Indonesia berdasarkan
monoteisme bukan
polyteisme. Bagi
Yamin, meskipun Indonesia berdasarkan Ke-Tuhanan tetapi tidak lantas kedaulatan
Tuhan menjad dasar negara, karena di dalam konstitusi tercatat seluruh sumber
kekuasaan Indonesia berasal dari kedaulatan rakyat.
Jimly juga mempunyai pemikiran yang sama dengan Yamin, namun dalam menguraikan pendapatnya itu, terlebih dahulu memberikan
sebuah pengantar mengenai sejarah pergolakan mengenai faham kedaulatan Tuhan.
Jadi Jimly lebih panjang dalam menguraikannya sehingga memberikan pengantar
kepada pembaca mengenai sejarah pemikiran kedaulatan Tuhan, sedangkan Yamin
hanya sedikit penjelasannnya (dua halaman).
Jimly sangat
beruntung hidup di zaman yang serba mudah, akses informasi mudah didapat
sehingga memudahkan untuk mendapatkan banyak referensi. Sedangkan Yamin, hidup
dizaman yang berbeda dengan Jimly, akses informasih masih sulit, ditambah pula
dengan kesibukan-kesibukan Yamin dalam membangun negara Indonesia. Jimly, dalam
menulis konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, juga banyak mencuplik dari
pemikiran Yamin. Dalam posisi ini Jimly bisa dikatakan sebagai muridnya Yamin,
namun murid yang cerdas.
Buku
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, memberikan banyak inspirasi (baik
secara langsung maupun tidak langsung) bagi anak-anak muda yang “bergelut”
dengan konstitusi, salah satu orangnya adalah Yance Arizona, yang menelurkan
karya yang berjudul “Konstitusi Agraria”.
Yance dalam
tulisannya juga memberikan kupasan yang cukup mendalam mengenai konstitusi
sehingga bisa mengarahkan ke pembahasan yang lebih khusus yakni mengenai
agraria. Memang, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, seolah-olah
menjadi manifesto bagi lahirnya buku-buku lainnya yang menjabarkan konstitusi
secara khusus. Bahkan Jimly sendiri juga menulis buku-buku yang bisa dikatakan
meneruskan buku Konstitusi dan Konstitsusionalisme Indonesia. Buku-buku Jimly yang
terkait dengan buku-buku Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia salah
satunya adalah Konstitusi Ekonomi (2010).
Muhtar Said
Peneliti Pusat Studi Tokoh
Pemikiran Hukum (PUSTOKUM)