Penelitian Hukum Masih Berkutat Pada Penelitian Norma atau Implementasi Norma
https://pustokum.blogspot.com/2016/07/penelitian-hukum-masih-berkutat-pada_28.html
Salam sambutan
Yth Kepada Menteri Sekretaris Negara
Yth Ketua Mahkamah Konstitusi dan jajaran hakim
konstitusi
Yth Prof. Jimly Asshiddiqie, SH. Pembina Pusat Studi Tokoh
Hukum (Pustokum)
Saya berterima kasih diberikan kesempatan untuk memberikan
Orasi dalam peluncuran buku Biografi Sundoro Budhyarto Martoatmodjo.
Sejarah
bukan saja milik manusia besar
Mengawali sambutan
ini saya hendak mengutip satu pernyataan dari Sejarawan Skotlandia, Thomas
Carlyle. Carlyle menyampaikan bahwa, “sejarah itu adalah biografi manusia besar
yang tampil seperti halilintar dan orang-orang awam menantinya seperti kayu
bakar.” Oleh karena itu, ketika membicarakan sejarah selalu yang dibicarakan
adalah orang-orang besar. Membicarakan halilintar yang memercikan api pada kayu
bakar. Manusia besar adalah Nabi Muhammad, Isa, Newton, Einstein yang menentukan
gerak peradaban. Di Indonesia ada orang-orang seperti Soekarno,
Hatta, Soepomo, Sjahrir, dan sejumlah nama besar lainnya.
Namun
sejatinya sejarah bukanlah hanya milik manusia besar. Beberapa perubahan besar
terjadi karena laku dari orang-orang yang biasa-biasa saja. Sejarah, seperti
api, tak lagi hanya tercipta karena halilintar, tetapi dapat pula karena
percikan dari gesekan kedua batu kali, dari korek api, atau pertemuan arus
listrik. Kita masih ingat bagaimana Mohamed
Bouazizi, seorang penjual buah berusia 26 tahun di Tunisia membakar diri
sebagai bentuk protes yang kemudian mengubah kontur politik timur tengah yang
kita sebut sebagai Arab Spring. Atau apa yang dilakukan oleh Didier Drogba,
pemain bola yang mendamaikan pemberontak dan pemerintah melalui pertandingan
sepak bola di Negara Pantai Gading. Sejarah kemudian bisa tercipta karena laku
yang sederhana.
Sejarah
seringkali tidak dipersonifikasi kepada figure tertentu saja. Melainkan
ditempatkan pada gerak zamannya, pada generasinya. Saya kira pada tempatnyalah
kita menempatkan Sundoro Budhyarto Martoatmodjo sebagai bagian dari pembentuk
sejarah kemerdekaan di Indonesia. Tokoh ini cukup unik karena dia berinteraksi
sangat dekat dengan para pendiri Republik yang berbeda-beda aliran politik,
pemikiran dan pendekatannya terhadap kolonialisme. Seperti Mohammad Hatta, dia
juga pernah menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda ketika menjalankan
studi di Universitas Leiden. Bersama Soekarno di Algemeene Studie Club Bandung dan kemudian mendirikan Partai
Nasional Indonesia (PNI). Bahkan dia memperluasnya ke Jawa Timur dengan menjadi
Ketua PNI di Jember. Bersama dengan Muhammad Yamin dan Tan Malaka menolak
pendekatan diplomasi yang dilakukan oleh Sjahrir dalam menghadapi Belanda.
Sundoro Budhyarto menghendaki kemerdekaan 100% untuk Republik Indonesia dan
menyediakan rumahnya sebagai tempat pertemuan untuk memperjuangkan itu.
Kisah Sundoro Budhyarto menghantarkan
kita pada satu pandangan bahwa sejarah bukanlah milik individu, melainkan suatu
perjuangan bersama. Kita seringkali membaca biografi manusia-manusia besar
Republik seperti Soekarno maupun Hatta yang buku tentangnya sudah sangat banyak
beredar, tapi kita tidak bisa menafikan peran penting dari kolega yang
merupakan komunitas epistemis dan pergerakan dari pada pendiri Republik. Disitulah,
penulisan buku tentang Sundoro Budhyarto menjadi penting karena selama ini
beliau belum pernah dituliskan.
Belajar dari Kehidupan dan Pemikiran
Tokoh Hukum Indonesia
Saya
menyambut baik inisiatif untuk menuliskan biografi Sundoro Budhyarto sebagai
seorang tokoh hukum yang dilakukan oleh Pusat Studi Tokoh Hukum (Pustokum).
Kami di Epistema Institute juga melakukan hal yang sama dengan menerbitkan Seri
Tokoh Hukum Indonesia. Diantaranya yang telah dituliskan adalah Tokoh Pertama:
Satjipto Rahadjo yang bukunya diterbitkan dari makalah-makalah sebuah seminar
yang diselenggarakan di Mahkamah Konstitusi tahun 2011. Diberi judul: “Satjipto
Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik”. Seri Tokoh Hukum berikutnya
yang telah diterbitkan adalah Mochtar Kusumaatmadja dan Teori Hukum
Pembangunan, Mohammad Koesnoe dalam Pengembaraan Gagasan Hukum Indonesia,
Soetandyo Wignjosoebroto tentang Hukum, Sejarah dan Keindonesiaan. Saat ini
kami sedang mempersiapkan buku tentang Bernard Arief Sidharta.
Ketika Epistema Institute lebih banyak
membahas kehidupan dan pemikiran Tokoh Hukum Indonesia kontemporer, PUSTOKUM
memulai penelusurannya dari Tokoh Hukum Indonesia generasi awal. Disitulah
rekan-rekan di Pustokum mulai dengan Soepomo, Muhammad Yamin, dan kali ini
dengan Sundoro Budhyarto. Sehingga antara Epistema Institute dan PUSTOKUM bisa
saling mengisi. PUSTOKUM mengerjakan penulisan tokoh hukum Indonesia dengan
cara unik dimana menggabungkan gaya penulisan sastra dengan data-data sejarah,
dan pemikiran hukum. Tentunya dengan harapan gaya penulisan demikian lebih
mudah diterima oleh generasi mudah hari ini.
Penulisan tokoh hukum memerlukan suatu
penelitian yang mendalam, terutama yang berkaitan dengan sejarah hukum.
Penelitian mengenai tokoh dan pemikiran hukum belum menjadi sesuatu yang lazim
dalam tradisi metodologi penelitian hukum di Indonesia. Selama ini di fakultas
hukum hanya diajarkan bahwa penelitian hukum itu kalau tidak normatif ya
penelitian empiris. Tak jarang pencampuran keduanya pun dianggap sebagai
“dosa”. Penelitian hukum masih berkutat pada penelitian norma atau implementasi
norma. Oleh karena itu, rangkaian penelitian mengenai tokoh dan pemikiran hukum
yang tengah dirintis ini kelak diharapkan dapat memberikan kontribusi
metodologis bagi pembaruan metodologi penelitian di perguruan tinggi hukum.
Penelusuran mengenai sejarah hukum
merupakan sesuatu yang penting dalam melakukan penulisan biografi pemikiran
hukum. Selain dari keluarga dan kolega dari tokoh yang dituliskan, sumber
penulisan biografi tokoh hukum lengkap tersimpan di negeri Belanda. Beruntung
PUSTOKUM punya Awaludin Marwan yang tengah menempuh studi doktoral di
Universitas Utrecht yang melakukan penelusuran dokumen-dokumen hukum Indonesia
disana. Awaludin bersama Saya, Muhtar Said dan beberapa teman lainnya
mendirikan PUSTOKUM dibawah bimbingan Prof. Jimly Asshiddiqie mengembangkan
ranah kajian mengenai tokoh hukum Indonesia. Saya pun akan turut bagian dalam
upaya penelusuran data dan informasi mengenai tokoh hukum Indonesia ketika akan
melanjutkan studi doktoral di Universitas Leiden dalam beberapa waktu
mendatang.
Penelusuran mengenai biografi
pemikiran hukum merupakan ranah penting guna memberi pembelajaran bagi
pembangunan sistem hukum. Karena itu tidak saja berbicara mengenai tokoh,
tetapi juga kontribusinya. Kelak kami mengharapkan orang akan mengkaji tokoh
hukum Indonesia seperti orang-orang Amerika yang mengkaji pemikiran Alexander
Hamilton, James Madison, dan John Jay para penulis The Federalist Papers. Atau
seperti orang India mengkaji tokoh hukum seperti Mohandas K. Gandri, atau
seperti orang Afrika Selatan mengkaji tokoh hukum seperti Nelson Mandela.
SBM: Aktivisme dan Kemanusiaan
1.
Aktivisme
Sundoro
Budhyarto Martoatmodjo, meskipun selama ini belum banyak terdengar, memberikan
pembelajaran-pembelajaran penting. Setelah menimbang-nimbang buku ini, saya
melihat setidaknya ada dua warisan utama yang dititipkan oleh Budhyarto bagi
generasi penerusnya. Pertama mengenai Aktivisme dan kedua mengenai Kemanusiaan.
Sundoro Budhyarto, seperti kebanyak kaum terpelajar pada
masanya adalah seorang aktivis. Dahulu kita mengenal orang-orang seperti ini
sebagai pejuang tanah air. Sekarang pejuang tanah air itu kita namakan aktivis
yang menyebar pada ranah perjuangan buruh, petani, nelayan dan masyarakat adat.
Para pendiri Republik ini memang adalah pejuang tanah air, aktivis agraria. Oleh
karena itulah Mohammad Hatta dalam pledoi Indonesia
Merdeka tahun 1928 di Pengadilan Belanda mengkritik sistem kapitalisme
agraria kolonial Belanda. Soekarno dalam Pledoi Indonesia Menggugat tahun 1930 di Landraad Bandung juga mengkritik
hal serupa. Mereka ditangkap, ditahan dan dipenjara.
Sundoro
Budhyarto mengalaminya tiga kali, mulai pada masa Belanda, Jepang, sampai dengan
masa Republik ketika berselisih dengan Sjahrir. Bagi Budhyarto, kemerdekaan
bukan semata perginya orang Belanda dari bumi nusantara, melainkan kedaulatan
rakyat yang merdeka 100% menguasai dan menikmati tanah dan sumber dayanya
sendiri. Perjuangannya untuk merdeka 100% tidak surut meskipun Republik telah
diproklamasikan. Saat ini kita masih melihat para pejuang tanah air
mempertahankan dan merebut kembali tanah airnya dari bentuk-bentuk baru
kolonialisme.
Disitulah
kita melihat Eva Bande, seorang ibu dan aktivis agraria yang dipenjara di
Banggai, Sulawesi Tengah karena membela petani. Alhamdulillah sudah mendapatkan
Grasi dari Presiden Joko Widodo. Kita melihat Japin dan Vitalis Andi, Sakri dan
Ngatimin empat orang petani dari Ketapang Kalimantan Barat yang dikriminalisasi
karena konflik dengan perkebunan kelapa sawit. Alhamdulillah mereka datang ke MK
menguji ketentuan kriminalisasi UU Perkebunan dan dikabulkan oleh MK.
Tetapi masih banyak dari mereka yang terus berjuang.
Misalkan empat warga Semende Banding Agung yang dikriminalisasi karena konflik
dengan kawasan hutan di Bengkulu Selatan. 26 aktivis buruh harus menghadapi
tuntutan hukum karena menuntut peraturan yang adil mengenai pengupahan di
Jakarta. Ibu-ibu dari pegunungan Kendeng yang rela menyemen kakinya dihadapan
Istana sebagai bentuk protes terhadap hadirnya perusahaan semen yang mengganggu
ruang hidup mereka sebagai petani. Atau misalkan mahasiswa Papua yang
menghadapi represi dalam menyampaikan aspirasi di Yogyakarta.
Mereka-mereka itu, seperti Sundoro Budhyarto, Tan Malaka,
dan koleganya, percaya bahwa kemerdekaan rakyat harus diperjuangkan 100%.
Proklamasi dan pendirian republik hanyalah langkah awal.
2.
Kemanusiaan
Pelajaran
lain yang patut dipetik dari kehidupan Budhyarto adalah mengenai Kemanusiaan.
Budhyarto mewarisi tauladan solidaritas dan kepedulian sesama manusia. Karena
itu pulalah selama menjadi advokat dia banyak membantu orang-orang miskin yang
menghadapi permasalahan hukum. Di tangannya dia menjadikan advokat sebagai
profesi yang mulia. Dia menempuh jalan yang dilalui oleh Nelson Mandela dan
Mohamad Gandi membela orang-orang miskin dihadapan pengadilan kolonial,
terutama selama berpraktik di Jember.
Semangat kemanusiaan itu terus dia
lakoni ketika menjadi pengurus Palang Merah Indonesia. Dia sempat menjadi
Bendahara PMI dan selama itu tak terdengar ada kasus-kasus yang berkaitan
dengan keuangan yang membelitnya. Disitu pula kita perlu belajar untuk tidak
korupsi ketika mengemban amanat penting bagi kemanusiaan. Semangat itu pun menular
kepada keluarga beliau. Selang dua tahun kepergiannya pada tahun 1981, pada
tahun 1983 keluarga almarhum Budhyarto menyumbangkan satu unit mobil transfusi
darah untuk PMI Jakarta, yang juga kemudian menjadi cikal bakal transfusi darah
keliling.
Penutup
Demikian
sambutan/orasi ini saya sampaikan. Semoga kita memetik banyak pelajaran dari
Kisah Sundoro Budhyarto Martoatmodjo.
Jakarta,
27 Juli 2016.
Yance Arizona, SH, MH.
Direktur Eksekutif Epistema Institute
Dosen Ilmu Hukum,
President University
Keterangan
1. Disajikan dalam orasi
ilmiah Launching Buku Mr.R.S Budhyarto Martoatmodjo : Pejuang Kemerdekaan dan
Pendidik Tiga Zaman, karya Muhtar Said & Ibnu Mufti (Peneliti PUSTOKUM)
2. Judul diedit oleh
admin, guna memberikan cangkupan yang lebih luas bagi para pembaca. Judul aslinya
“Aktivisme dan Kemanusiaan : Pembelajaran dari Kisah Sundoro Budhyarto
Martoatmodjo”