Soepomo : Totalitas, bukan Totaliter.[1]
https://pustokum.blogspot.com/2015/03/soepomo-totalitas-bukan-totaliter1.html
Oleh : Muhtar Said[2]
Totalitas,
begitulah makna dari pidato Soepomo tentang Negara Integralistik, bukan
totaliter, seperti yang sering diperbincangkan oleh banyak orang.[3]
Totalitas, mempunyai pengertian yang menekankan pada jiwa gotong royong, yang
memang itu adalah nafas bangsa Indonesia, bahu membahu dalam membangun bangsa. Pemerintah
dan rakyat saling percaya, tidak ada dusta diantara keduanya. Sedangkan totaliter
cenderung bermakna negatif, penindasan.
Walaupun
demikian, Totalitas-pun bisa menyeleweng kearah totalitarian, karena pada
dasarnya manusia menurut Hobbes adalah homo
homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesama manusia. Nafsu manusia
untuk berkuasa tidak bisa dibendung. Inilah yang menjadi penghalang ide-ide
totalitas yang diimpikan oleh Soepomo menjadi berantakan. Ide-ide Soepomo yang
menginginkan adanya jiwa yang menyatu antara rakyat dan pemerintah, berubah
menjadi pemaksaan ide-ide, yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok guna melanggengkan
kekuasaannya.
Orde
baru, adalah aktor yang menyelewengkan makna totalitas menjadi menjadi
totaliter, melalui gerakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan
P4, masyarakat dipaksa memaknai Pancasila sesuai dengan pemaknaan penguasa.[4] Namun,
ada juga beberapa kalangan (ilmuan) yang masih memaknai, program P4 adalah
implementasi konsep negara integralistik Soepomo.
Konsep
negara integralistik adalah konsep yang sederhana. Mengingat Pedesaan
mendominasi wilayah maka, alangkah baiknya sistem pemerintahan negara Indonesia
meniru gaya pemerintahan desa. Karena model pemerintahan desa adalah model
kekeluargaan dan kental akan nilai-nilai gotong royong.
“Kepala
desa, atau kepala rakyat wajib menyelenggarakan keinsafan keadilan rakyat,
harus senantiasa memberi bentuk (gestaltung)
kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Oleh karena itu kepala rakyat “memegang
adat” (kata pepatah minangkabau) senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya atau
dengan kepala-kepala keluarga dalam desanya supaya pertalian batin antara
pemimpin dan rakyat seluruhnya senantiasa terpelihara..”[5]
Di
Desa, kepala desa dijadikan sebagai bapak untuk semua warganya. Kepala desa
bukan hanya sebagai petugas adminitratif atau bahkan petugas partai. Ingatlah,
filosofi konsep negara Soepomo tidak pernah memberikan ruang kepada golongan tertentu
untuk mendapatkan keistimewaan dari negara, meskipun golongan tersebut
merupakan golongan yang mendominasi republik Indonesia. Islam, merupakan
golongan terbesar di Republik Indonesia, namun demi terciptanya kesatuan, maka
negara tidak boleh memberikan keistimewaan kepada Islam. Dengan berdiri dan
mendekatkan diri pada golongan tertentu, berarti Indonesia telah menjauhkan
dengan ide kesatuan.[6]
Tidak
adil, Soepomo dibaca hanya lewat pidatonya pada tanggal 31 Mei 1945, waktu yang
menjadi saksi Soepomo membacakan negara integralistik dalam sidang BPUPK. Membaca
Soepomo harus komprehensif, baik sebelum maupun pasca 31 Mei 1945. Karena dengan
begitu akan mengerti gelombang pergerakan dan perubahan pola pikir Soepomo.[7] Perubahan
cara berpikirnya terlihat ketika memasuki era tahun 50an.[8]
Soepomo
: Taktikus dan Ahli Hukum Adat
Tidak
berlebihan, jika memberikan stampel
kepada Soepomo, bahwa dirinya adalah seorang taktikus. Karena dia selalu menjabat,
baik saat masa pemerinatahan Hindia Belanda, Jepang, maupun pasca reformasi. Hal
inilah yang membuat pemikirannya cenderung kompromi. Kompromi dengan kekuasaan.[9]
Sejak
kecil, dirinya sudah dimanjakan dengan kekuasaan, gelar raden di awal namanya
adalah simbol yang menampakan bahwa dirinya sebagai seorang priyayi. Orang yang
terpandang di dalam sistem sosial masyarakat jawa. Jadi hidupnya selalu berada dibawah bayang-bayang
kemapanan. Tidak seperti para pejuang kemerdekaan lainnya, Seperti Tan Malaka
yang pikiran dan tindakannya berlawanan dengan penguasa, walaupun ia juga berasal
dari keluarga yang terhormat.
Bersemai
di dalam sistem kekuasaan, tidak membuat dirinya lupa dengan masyarakat kelas
bawah, ia tetap memperjuangkan rakyat Indonesia dari penjajahan, tentunya
dengan cara yang berbeda. Seolah-olah dirinya ingin merubah atau melindungi
masyarakat Indonesia dari dalam. Cara pikirnya dalam melakukan perubahan di
masyarakat bisa dilihat dalam karya-karyanya. Di dalam karya-karya ia selalu
membela dan ingin memunculkan hukum adat guna menyingkirkan hukum kolonial yang
dirasa tidak sesuai dengan jiwa dan ruh masyarakat Indonesia. dan pemberlakuan
Undang-Undang kolonial ke masyarakat Indonesia penuh dengan politik, bukan
murni untuk ketertiban bangsa Indonesia.
“pada
kira-kira tahun 1870 menteri jajahan Belanda Van De Putte ingin mengganti hukum
tanah Indonesia dengan buku Undang-Undang sipil Belanda, karena terdorong oleh
kepentingan pertanian kaum perusahaan Belanda, akan tetapi rancangan menteri
tersebut tidak diterima oleh Parlemen Belanda”[10]
Memang
rancangan Undang-Undang tersebut ditolak oleh parlemen, namun bukan karena
landasan ideologi tetapi ditolak oleh parlemen Belanda memandang masyarakat
Indonesia masih dianggap sebagai masyarakat primitif, sehingga belum siap untuk
mengikuti hukum modern. Setidaknya dari situ bisa diketahui bahwa segala
peraturan perundang-undangan negara Belanda yang diterapkan di Indonesia penuh
dengan kepentingan politik yang menguntungkan pihak Belanda.
Bahkan
dengan terang-terangan, dalam buku “Hubungan Individu dan Masyarakat”, Soepomo
menentang hukum kolonial, karena hukum di Eropa dibangun atas dasar sifat individualism.
Sifat individualism digambarkan oleh Soepomo sebagai orang yang terasing,
sehingga orang tersebut mempunyai keyakinan ia bisa hidup hanya dengan usahanya
sendiri. Oleh karena itu ia selalu menonjolkan sifat ke-aku-anya. “Dia adalah
suatu pusat kekuasaan. Dia selalu berusaha memperbesar kekuasaannya”.[11]
Dengan latar belakang masyarakat Eropa seperti itu maka juga mempengaruhi
produk hukumnya, produk hukum eropa dibuat dan diberlakukan kepada seseorang
bukan kelompok.
Pemikiran
itu juga bisa dijadikan rujukan, ia menolak sistem pemerintahan barat dan
kemudian melahirkan negara integralistik, bahkan dalam pidatonya terkait dengan
negara integralistik ia jelaskan mengapa ia menolak faham individual.
Begitulah
cara Seopomo memperjuangkan dan menampilkan jati diri bangsa melalui caranya
sendiri. Ia ahli hukum adat, oleh karena itu ia berjuang untuk mempertahankan hukum asli Indonesia. untuk itu
ia selalu masuk dalam ranah kekuasaan yang merupakan ranah setrategis. Walaupun
demikian untuk menerapkan hukum asli asli Indonesia sangat sulit, bahkan sampai
sekarang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih belum bisa diterapkan,
dan akan “selalu” sampai dalam pembahasan di legislatif.
[1] Presentasi di Cak Tarno Institute, Depok, 14 Maret 2015.
[2] Peneliti Pusat Studi Tokoh
Pemikiran Hukum (Pustokum),
[3] Dhaniel Dakhidae, diutarakan
dalam FGD tentang Soepomo, yang diadakan oleh Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum
(Pustokum) pada bulan November 2014. Memaknai dengan kata totalitas dengan
analogi bekerjanya sistem tubuh manusia. Soepomo menginginkan negara Indonesia
itu seperti tubuh manusia, dimana masing-masing organ tidak bekerja untuk
dirinya sendiri tetapi bekerja untuk organ yang lainnya. Ketika orang akan
makan, maka tangan bekerja untuk menyuapi mulut dan seterusnya. Hal ini bisa
dilihat dari karyanya yang berjudul “Hubungan Individu dan Masjarakat” (Soepomo
: 1970), individu yang sudah mengikatkan dirinya kedalam sistem sosial tidak
akan mengenal kata keterpaksaan dalam bertindak, karena dilandasi dengan
solidaritas. Dalam konteks Ini Soepomo juga ingin mengatakan bahwa, individu
bekerja untuk menjaga sistem sosial bukan untuk dirinya sendiri.
[4] Susanto Zuhdi dan M. Hisyam, Krisis Masa Kini dan Orde Baru, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2003 hlm 122. Sejak P4 ditetapkan menjadi GBHN,
penafsiran dan pemahaman atas ideologi Pancasila telah dimonopoli oleh negara. Sehingga
yang tidak sejalan dengan P4 bisa dengan mudah dinilai bertentangan dengan
Pancasila, dan menjadi musuh pancasila. Untuk melegitimasinya kemudian dikeluarkanlan
Tap MPR No. II/1983, yang mengharuskan semua organisasi masyarakat dan parta
berdasarkan diri pada asa tunggal, yakni pancasila. Bahkan untuk membumikan
program P4, pemerintah menaruh militer keberbagai distrik/ kecamatan dan
militer pada waktu itu adalah simbol Pancasila sejati.
[5] Saafroedin Bahar, et.al.,
Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945, Sekretariat Negara,
Jakarta 1992, hlm 28
[6] Para pendiri bangsa, khususnya
Soepomo memang mempunyai pemikiran yang pluralis, yakni tidak membeda-bedakan
golongan. Namun, sekarang sudah mulai berubah, para pemikiran pendiri bangsa
yang mencintai persatuan dan berpikir kebajikan kolektif dirubah menjadi
kebajikan yang berkepentingan golongan. Khittah Politik yang mengedepankan
kebajikan kolektif sudah tergerus dengan model reason of state ala Machiavelli,
dimana politik hanya untuk kepentingan kaum elit. Lihat Yudi Latif, Menyemai
Karakter Bangsa, Kompas, Jakarta, 2009.
[7] Soepomo memang sebagai
penggerak, karena pada saat di Indonesia maupun saat di Belanda (saat mengenyam
pendidikan) Soepomo sudah melakukan kampanye untuk kemerdekaan Indonesia dari imperialisme
Belanda. Keahlian sebagai seorang aktivis
(organisastoris) didapat dari pengalamannya di Jong Java, Budi Utomo,
Pergerakan Indonesia dan organisasi yang konsen di kebudayaan, seperti
perkumpulan krida karawitan dll.Pada tahun 1930an organisasi budi utomo mengalami
perubahan yang signifikan, sifat kebangsaan lebih ditonjolkan.Kemudian Budi
Utomo melakukan fusi dengan Partai Indonesia Raya (Perindra). Pada waktu itu Soepomo terpilih sebagai Ketua
Pengurus Besar yang berkedudukan di Surabaya. Saat masih menjadi pelajar di Belanda,
Soepomo juga aktif dalam gerakan terutama melalui dunia seni. Pada tahun 1927
ia pernah mengenalkan budaya seni Indonesia, bersama Wiryono Diprojo ia ditusu
oleh Hatta sebagai ketua PI untuk menyebarkan budaya Indonesi. Dalam waktu itu
Hatta sebagai ketua PI menghadiri Kongres “Liga Menentang Imperialisme dan
Penindasan Kolonial” di Brussel, Belgia pada tanggal 10-15 Februari tahun 1927.
Soepomo tidak mengikutinya karena dia diutus untuk mempromosikan tarian kepada
dunia di Paris, Ibukota Prancis. Hatta mengetahui betul bahwa Soepomo pintar
menari, karena ia terlahir di keluarga ningrat Jawa sehingga dunia tari adalah
dunianya. Sejak kecil memang ia diajarkan untuk menari. Ternyata keahliannya
dalam menari bisa mengangkat nama negeri Indonesia di mata dunia. Hal ini juga
melengkapi tulisan Daniel Hutagalung (Soepomo dan Jejak-jejak Negara
Integralistik Indonesia), yang dalam hasil penelusurannya mengatakan Soepomo
kurang aktif dalam pergerakan di Belanda.
[8] Memang pemikiran Soepomo sangat
berkembang dan terus berubah seiring dengan kebutuhan zaman. Konsep negara
integralistik yang ia bacakan pada tanggal 31 Mei 1945, sering menjadi
perdebatan, karena dirasa tidak memberikan ruang kepada hak-hak individu warga
negara, ternyata pemikirannya bisa berubah pada masa 50an. Saat menyusun
Konstitusi RIS, Soepomo memasukan pasal kebebasan berpendapat dan berekspresi
di pasal 19.
[9] Sebagai taktikus, tentunya juga
akan menyelami alam pemikiran orang-orang yang akan didekatinya. Kehebatannya dalam
mendekati penguasa sangat diakui, karena Soepomo berhasil meraih hati penguasa
Jepang, sehingga Jabatan sebagai kepala Hooki Kyoku Cho (kantor
Perundang-Undangan) diamanahkan kepadanya. Disinilah titik singgung lahirnya
konsep negara Integralistik. Jepang dirasa mempunyai model kebudayaan yang hampir
sama dengan Indonesia, bahkan bukan hanya Soepomo saja yang jatuh cinta dengan
Jepang. Satjipto Rahardjo juga jatuh cinta pada kebudayaan Jepang. Masyarakat Jepang dinilai sangat aktif dalam
mensosialisasikan nilai-nilai harmoni, menghindari konflik dan kekerasan serta
agresi, turut membangun Jepang sebagai masyarakat dengan tingkat kekerasan yang
rendah. Senggolan-senggolan antara orang-orang di tempat keramaian yang segera
memancing keributan di Amerika, tidak terjadi di Jepang. orang cukup saling
minta maaf dan selesai. (Satjipto Rahardjo, Hukum
dan Perilaku :Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, Kompas, Jakarta,
2009 hlm 120)
[10] R. Soepomo, Kedudukan Hukum Adat dikemudian Hari, Penerbit Kebangsaan Pustaka
Rakyat, Jakarta, 1951 hlm 5.
[11] Ibid, hlm 1