Soepomo : Totalitas, bukan Totaliter.[1]


Oleh : Muhtar Said[2]

Totalitas, begitulah makna dari pidato Soepomo tentang Negara Integralistik, bukan totaliter, seperti yang sering diperbincangkan oleh banyak orang.[3] Totalitas, mempunyai pengertian yang menekankan pada jiwa gotong royong, yang memang itu adalah nafas bangsa Indonesia, bahu membahu dalam membangun bangsa. Pemerintah dan rakyat saling percaya, tidak ada dusta diantara keduanya. Sedangkan totaliter cenderung bermakna negatif, penindasan.

Walaupun demikian, Totalitas-pun bisa menyeleweng kearah totalitarian, karena pada dasarnya manusia menurut Hobbes adalah homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesama manusia. Nafsu manusia untuk berkuasa tidak bisa dibendung. Inilah yang menjadi penghalang ide-ide totalitas yang diimpikan oleh Soepomo menjadi berantakan. Ide-ide Soepomo yang menginginkan adanya jiwa yang menyatu antara rakyat dan pemerintah, berubah menjadi pemaksaan ide-ide, yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok guna melanggengkan kekuasaannya.

Orde baru, adalah aktor yang menyelewengkan makna totalitas menjadi menjadi totaliter, melalui gerakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan P4, masyarakat dipaksa memaknai Pancasila sesuai dengan pemaknaan penguasa.[4] Namun, ada juga beberapa kalangan (ilmuan) yang masih memaknai, program P4 adalah implementasi konsep negara integralistik Soepomo.

Konsep negara integralistik adalah konsep yang sederhana. Mengingat Pedesaan mendominasi wilayah maka, alangkah baiknya sistem pemerintahan negara Indonesia meniru gaya pemerintahan desa. Karena model pemerintahan desa adalah model kekeluargaan dan kental akan nilai-nilai gotong royong.

“Kepala desa, atau kepala rakyat wajib menyelenggarakan keinsafan keadilan rakyat, harus senantiasa memberi bentuk (gestaltung) kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Oleh karena itu kepala rakyat “memegang adat” (kata pepatah minangkabau) senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desanya supaya pertalian batin antara pemimpin dan rakyat seluruhnya senantiasa terpelihara..”[5]  

Di Desa, kepala desa dijadikan sebagai bapak untuk semua warganya. Kepala desa bukan hanya sebagai petugas adminitratif atau bahkan petugas partai. Ingatlah, filosofi konsep negara Soepomo tidak pernah memberikan ruang kepada golongan tertentu untuk mendapatkan keistimewaan dari negara, meskipun golongan tersebut merupakan golongan yang mendominasi republik Indonesia. Islam, merupakan golongan terbesar di Republik Indonesia, namun demi terciptanya kesatuan, maka negara tidak boleh memberikan keistimewaan kepada Islam. Dengan berdiri dan mendekatkan diri pada golongan tertentu, berarti Indonesia telah menjauhkan dengan ide kesatuan.[6]

Tidak adil, Soepomo dibaca hanya lewat pidatonya pada tanggal 31 Mei 1945, waktu yang menjadi saksi Soepomo membacakan negara integralistik dalam sidang BPUPK. Membaca Soepomo harus komprehensif, baik sebelum maupun pasca 31 Mei 1945. Karena dengan begitu akan mengerti gelombang pergerakan dan perubahan pola pikir Soepomo.[7] Perubahan cara berpikirnya terlihat ketika memasuki era tahun 50an.[8]

Soepomo : Taktikus dan Ahli Hukum Adat

Tidak berlebihan, jika memberikan stampel kepada Soepomo, bahwa dirinya adalah seorang taktikus. Karena dia selalu menjabat, baik saat masa pemerinatahan Hindia Belanda, Jepang, maupun pasca reformasi. Hal inilah yang membuat pemikirannya cenderung kompromi. Kompromi dengan kekuasaan.[9]

Sejak kecil, dirinya sudah dimanjakan dengan kekuasaan, gelar raden di awal namanya adalah simbol yang menampakan bahwa dirinya sebagai seorang priyayi. Orang yang terpandang di dalam sistem sosial masyarakat jawa.  Jadi hidupnya selalu berada dibawah bayang-bayang kemapanan. Tidak seperti para pejuang kemerdekaan lainnya, Seperti Tan Malaka yang pikiran dan tindakannya berlawanan dengan penguasa, walaupun ia juga berasal dari keluarga yang terhormat.

Bersemai di dalam sistem kekuasaan, tidak membuat dirinya lupa dengan masyarakat kelas bawah, ia tetap memperjuangkan rakyat Indonesia dari penjajahan, tentunya dengan cara yang berbeda. Seolah-olah dirinya ingin merubah atau melindungi masyarakat Indonesia dari dalam. Cara pikirnya dalam melakukan perubahan di masyarakat bisa dilihat dalam karya-karyanya. Di dalam karya-karya ia selalu membela dan ingin memunculkan hukum adat guna menyingkirkan hukum kolonial yang dirasa tidak sesuai dengan jiwa dan ruh masyarakat Indonesia. dan pemberlakuan Undang-Undang kolonial ke masyarakat Indonesia penuh dengan politik, bukan murni untuk ketertiban bangsa Indonesia.

“pada kira-kira tahun 1870 menteri jajahan Belanda Van De Putte ingin mengganti hukum tanah Indonesia dengan buku Undang-Undang sipil Belanda, karena terdorong oleh kepentingan pertanian kaum perusahaan Belanda, akan tetapi rancangan menteri tersebut tidak diterima oleh Parlemen Belanda”[10]

Memang rancangan Undang-Undang tersebut ditolak oleh parlemen, namun bukan karena landasan ideologi tetapi ditolak oleh parlemen Belanda memandang masyarakat Indonesia masih dianggap sebagai masyarakat primitif, sehingga belum siap untuk mengikuti hukum modern. Setidaknya dari situ bisa diketahui bahwa segala peraturan perundang-undangan negara Belanda yang diterapkan di Indonesia penuh dengan kepentingan politik yang menguntungkan pihak Belanda.

Bahkan dengan terang-terangan, dalam buku “Hubungan Individu dan Masyarakat”, Soepomo menentang hukum kolonial, karena hukum di Eropa dibangun atas dasar sifat individualism. Sifat individualism digambarkan oleh Soepomo sebagai orang yang terasing, sehingga orang tersebut mempunyai keyakinan ia bisa hidup hanya dengan usahanya sendiri. Oleh karena itu ia selalu menonjolkan sifat ke-aku-anya. “Dia adalah suatu pusat kekuasaan. Dia selalu berusaha memperbesar kekuasaannya”.[11] Dengan latar belakang masyarakat Eropa seperti itu maka juga mempengaruhi produk hukumnya, produk hukum eropa dibuat dan diberlakukan kepada seseorang bukan kelompok.

Pemikiran itu juga bisa dijadikan rujukan, ia menolak sistem pemerintahan barat dan kemudian melahirkan negara integralistik, bahkan dalam pidatonya terkait dengan negara integralistik ia jelaskan mengapa ia menolak faham individual.

Begitulah cara Seopomo memperjuangkan dan menampilkan jati diri bangsa melalui caranya sendiri. Ia ahli hukum adat, oleh karena itu ia berjuang untuk  mempertahankan hukum asli Indonesia. untuk itu ia selalu masuk dalam ranah kekuasaan yang merupakan ranah setrategis. Walaupun demikian untuk menerapkan hukum asli asli Indonesia sangat sulit, bahkan sampai sekarang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih belum bisa diterapkan, dan akan “selalu” sampai dalam pembahasan di legislatif.






[1] Presentasi di Cak Tarno Institute, Depok, 14 Maret 2015.
[2] Peneliti Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum (Pustokum),
[3] Dhaniel Dakhidae, diutarakan dalam FGD tentang Soepomo, yang diadakan oleh Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum (Pustokum) pada bulan November 2014. Memaknai dengan kata totalitas dengan analogi bekerjanya sistem tubuh manusia. Soepomo menginginkan negara Indonesia itu seperti tubuh manusia, dimana masing-masing organ tidak bekerja untuk dirinya sendiri tetapi bekerja untuk organ yang lainnya. Ketika orang akan makan, maka tangan bekerja untuk menyuapi mulut dan seterusnya. Hal ini bisa dilihat dari karyanya yang berjudul “Hubungan Individu dan Masjarakat” (Soepomo : 1970), individu yang sudah mengikatkan dirinya kedalam sistem sosial tidak akan mengenal kata keterpaksaan dalam bertindak, karena dilandasi dengan solidaritas. Dalam konteks Ini Soepomo juga ingin mengatakan bahwa, individu bekerja untuk menjaga sistem sosial bukan untuk dirinya sendiri.
[4] Susanto Zuhdi dan M. Hisyam, Krisis Masa Kini dan Orde Baru, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003 hlm 122. Sejak P4 ditetapkan menjadi GBHN, penafsiran dan pemahaman atas ideologi Pancasila telah dimonopoli oleh negara. Sehingga yang tidak sejalan dengan P4 bisa dengan mudah dinilai bertentangan dengan Pancasila, dan menjadi musuh pancasila. Untuk melegitimasinya kemudian dikeluarkanlan Tap MPR No. II/1983, yang mengharuskan semua organisasi masyarakat dan parta berdasarkan diri pada asa tunggal, yakni pancasila. Bahkan untuk membumikan program P4, pemerintah menaruh militer keberbagai distrik/ kecamatan dan militer pada waktu itu adalah simbol Pancasila sejati.  
[5] Saafroedin Bahar, et.al., Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945, Sekretariat Negara, Jakarta 1992, hlm 28
[6] Para pendiri bangsa, khususnya Soepomo memang mempunyai pemikiran yang pluralis, yakni tidak membeda-bedakan golongan. Namun, sekarang sudah mulai berubah, para pemikiran pendiri bangsa yang mencintai persatuan dan berpikir kebajikan kolektif dirubah menjadi kebajikan yang berkepentingan golongan. Khittah Politik yang mengedepankan kebajikan kolektif sudah tergerus dengan model reason of state ala Machiavelli, dimana politik hanya untuk kepentingan kaum elit. Lihat Yudi Latif, Menyemai Karakter Bangsa, Kompas, Jakarta, 2009.
[7] Soepomo memang sebagai penggerak, karena pada saat di Indonesia maupun saat di Belanda (saat mengenyam pendidikan) Soepomo sudah melakukan kampanye untuk kemerdekaan Indonesia dari imperialisme Belanda. Keahlian sebagai seorang aktivis (organisastoris) didapat dari pengalamannya di Jong Java, Budi Utomo, Pergerakan Indonesia dan organisasi yang konsen di kebudayaan, seperti perkumpulan krida karawitan dll.Pada tahun 1930an organisasi budi utomo mengalami perubahan yang signifikan, sifat kebangsaan lebih ditonjolkan.Kemudian Budi Utomo melakukan fusi dengan Partai Indonesia Raya (Perindra). Pada waktu itu Soepomo terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar yang berkedudukan di Surabaya. Saat masih menjadi pelajar di Belanda, Soepomo juga aktif dalam gerakan terutama melalui dunia seni. Pada tahun 1927 ia pernah mengenalkan budaya seni Indonesia, bersama Wiryono Diprojo ia ditusu oleh Hatta sebagai ketua PI untuk menyebarkan budaya Indonesi. Dalam waktu itu Hatta sebagai ketua PI menghadiri Kongres “Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial” di Brussel, Belgia pada tanggal 10-15 Februari tahun 1927. Soepomo tidak mengikutinya karena dia diutus untuk mempromosikan tarian kepada dunia di Paris, Ibukota Prancis. Hatta mengetahui betul bahwa Soepomo pintar menari, karena ia terlahir di keluarga ningrat Jawa sehingga dunia tari adalah dunianya. Sejak kecil memang ia diajarkan untuk menari. Ternyata keahliannya dalam menari bisa mengangkat nama negeri Indonesia di mata dunia. Hal ini juga melengkapi tulisan Daniel Hutagalung (Soepomo dan Jejak-jejak Negara Integralistik Indonesia), yang dalam hasil penelusurannya mengatakan Soepomo kurang aktif dalam pergerakan di Belanda.
[8] Memang pemikiran Soepomo sangat berkembang dan terus berubah seiring dengan kebutuhan zaman. Konsep negara integralistik yang ia bacakan pada tanggal 31 Mei 1945, sering menjadi perdebatan, karena dirasa tidak memberikan ruang kepada hak-hak individu warga negara, ternyata pemikirannya bisa berubah pada masa 50an. Saat menyusun Konstitusi RIS, Soepomo memasukan pasal kebebasan berpendapat dan berekspresi di pasal 19.
[9] Sebagai taktikus, tentunya juga akan menyelami alam pemikiran orang-orang yang akan didekatinya. Kehebatannya dalam mendekati penguasa sangat diakui, karena Soepomo berhasil meraih hati penguasa Jepang, sehingga Jabatan sebagai kepala Hooki Kyoku Cho (kantor Perundang-Undangan) diamanahkan kepadanya. Disinilah titik singgung lahirnya konsep negara Integralistik. Jepang dirasa mempunyai model kebudayaan yang hampir sama dengan Indonesia, bahkan bukan hanya Soepomo saja yang jatuh cinta dengan Jepang. Satjipto Rahardjo juga jatuh cinta pada kebudayaan Jepang.  Masyarakat Jepang dinilai sangat aktif dalam mensosialisasikan nilai-nilai harmoni, menghindari konflik dan kekerasan serta agresi, turut membangun Jepang sebagai masyarakat dengan tingkat kekerasan yang rendah. Senggolan-senggolan antara orang-orang di tempat keramaian yang segera memancing keributan di Amerika, tidak terjadi di Jepang. orang cukup saling minta maaf dan selesai. (Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku :Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, Kompas, Jakarta, 2009 hlm 120)
[10] R. Soepomo, Kedudukan Hukum Adat dikemudian Hari, Penerbit Kebangsaan Pustaka Rakyat, Jakarta, 1951 hlm 5.
[11] Ibid, hlm 1

Related

Soepomo 776473733102838137

Posting Komentar

emo-but-icon

WELCOME

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Hot in week

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item