Perang Diponegoro di Mata Muhammad Yamin

Sebagai seorang sejarawan, Muhammad Yamin tahu betul fungsi sejarah sebagai modal sosial untuk mencapai cita-cita persatuan. Tak heran, karya-karyanya yang berbau sejarah selalu saja diarahkan pada satu titik, ‘demi persatuan dan kesatuan bangsa’. Sejarah baginya bukan lagi sesuatu yang selesai. Tapi sebagai sebuah entitas yang bergerak dinamis. Penafsiran-penafsirannya tentang sejarah selalu punya misi yang bersifat kekinian.
Itulah Yamin. Dengan segala kontroversialnya, ia acapkali memiliki segudang ide yang tak terduga. Apa yang dilakukan Yamin adalah memunculkan gagasan tentang indo-sentrisme sebagai lawan Neerlando-centrisme yang telah dikecam oleh Van Leur.[1]
Di samping itu, Yamin juga memandang  sejarah Indonesia sebagai sebuah proses ke arah terwujudnya Indonesia yang bersatu dan berdaulat. Nilai yang dianut pada masa itu, yaitu kesadaran akan kesatuan Indonesia, ini dipantulkan oleh Yamin dan pengikut-pengikutnya ke dalam uraian rekonstruksi sejarah Indonesia dari dahulu hingga sekarang. Selain itu, juga Yamin merasa bahwa saat itu di tahun 1950-an Indonesia baru saja melepaskan diri dari penjajahan dan bahkan masih memperjuangkan sebagian wilayahnya yaitu Irian Jaya.[2]
Oleh Taufik Abdullah seperti yang dikutip oleh Restu Gunawan, secara corak pemikiran Muhammad Yamin memakai “Tafsiran Whigg” yaitu suatu tafsiran yang menggunakan kecenderungan masa kini untuk menerangkan masa lampau.[3]
Termasuk ketika ia menulis sejarah peperangan Diponegoro. Yamin juga mempunyai misi dan pembacaan ke arah itu. Dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Peperangan Dipanegara Pahlawan Kemerdekaan Indonesia”, ia mencoba untuk menjelaskan masa kini dengan rentetan peristiwa masa lalu. Peperangan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro ditafsirkan sebagai sebuah rentetan peristiwa yang memunculkan keadaan masa kini, yaitu alam kemerdekaan.
Perang yang Menentukan Nasib Tanah Indonesia
Perang Diponegoro atau dikenal dengan Perang Jawa merupakan perang yang memakan banyak korban. Perang yang berlangsung selama lima tahun ini telah menewaskan serdadu Belanda sebanyak 8 ribu jiwa dan menghabiskan biaya sebanyak 20 juta gulden.[4] Konon, karena adanya peperangan ini, pemerintah Hindia-Belanda hampir mengalami kebangkrutan.
Penyebab perang ini adalah persoalan tanah. Pangeran Diponegoro kala itu lebih memilih tinggal di luar keraton yaitu di Tegalrejo. Suatu ketika pada 1825, pemerintah – yang dipimpin oleh Danurejo bersama Residen Belanda – hendak membangun jalan yang melintasi tanah Tegalrejo. Hal itu dilakukan tanpa persetujuan dari Pangeran Diponegoro. Lalu Pangeran Diponegoro dipanggil. Saat dipanggil itulah, ternyata di luar terdengar dentuman meriam yang menghancurkan daerah Tegalrejo.[5] Sejak saat itu meletuslah perang Diponegoro tersebut.
Jelas dalam peperangan tersebut murni disebabkan oleh persoalan tanah. Pangeran Diponegoro terusik dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah kala itu. Yang mengambil kebijakan tanpa melalui persetujuannya.
Tapi bagi Muhammad Yamin, perang ini dinilai sebagai perang yang ditujukan untuk lingkup nasional Indonesia. Ia menulis, “Peperangan inilah yang menentukan nasib tanah Indonesia: merdeka atau terus menjadi jajahan. Peperangan hebat ini adalah saat yang penting dalam perjalanan sejarah Indonesia, karena sejak itu bergoyanglah kekuasaan penjajahan sampai kepada batu-batu sendinya.”[6]
Yamin juga mengaitkan dengan apa yang terjadi di luar pulau Jawa. “Darah tertumpah, seperti juga di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, untuk maksud yang sama dan tujuan suci: membersihkan tanah air daripada kedurjanaan Barat dan hendak menegakkan negara merdeka yang mempunyai kedaulatan sendiri.”[7]
Sang Pahlawan Adat dan Agama
Di mata Yamin, Pangeran Diponegoro adalah sosok pahlawan adat dan agama. Pangeran Diponegoro melakukan peperangan karena atas dasar itu. Dari segi adat, menurut Yamin, Pangeran Diponegoro telah benar melakukan pemberontakan atau dalam adat Indonesia dinamai dengan Keraman. Dasar peperangan keraman itu sendiri terejawantah dari nilai adat yang berbunyi: ‘Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah’.[8]
Lalu dari segi agama, peperangan ini dilakukan atas dasar untuk memperjuangkan dan mengembangkan agama suci, baik dengan perang kecil maupun perang besar. Selanjutnya Yamin menulis,
“Menurut hukum Islam maka peperangan yang demikian bernama Jihad; jihad yang cukup syaratnya menurut hukum Islam, dinamai perang sabil atas jalan Allah.”[9]
Dalam konteks ini, Yamin ingin membangun sebuah jembatan antara adat dan agama. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dalam berperang itu selalu mengaitkan dua entitas ini, baik adat maupun agama. Dengan kata lain, Pangeran Diponegoro – dalam kacamata Yamin – melakukan peperangan dalam rangka memperjuangkan nilai-nilai adat dan agama.
Selanjutnya, Yamin berkesimpulan bahwa Pangeran Diponegoro mempunyai jiwa pahlawan adat dan agama. Yamin mengatakan, “Pusat daripada perhatian Dipanegara, yaitu sangat setia dan tertambat pada adat pusaka Indonesia yang luhur, dan kepada perintah agama Islam.”[10]


[1] Lihat Restu Gunawan, Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005, hal. 219
[2] Ibid, hal. 220
[3] Ibid, hal. 221
[4] Hembing Wijaya Kusuma, Pembantaian Massal, 1740: Tragedi Berdarah Angke, Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2005, hal. 177
[5] A.G. Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1977, hal. 276
[6] Muhammad Yamin, Sejarah Peperangan Dipanegara Pahlawan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, hal. 27
[7] Ibid
[8] Muhammad Yamin, Op. Cit., hal. 32
[9] Ibid
[10] Ibid, hal. 152

Posting Komentar

emo-but-icon
:noprob:
:smile:
:shy:
:trope:
:sneered:
:happy:
:escort:
:rapt:
:love:
:heart:
:angry:
:hate:
:sad:
:sigh:
:disappointed:
:cry:
:fear:
:surprise:
:unbelieve:
:shit:
:like:
:dislike:
:clap:
:cuff:
:fist:
:ok:
:file:
:link:
:place:
:contact:

WELCOME

NEWSHot in weekArsip

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Hot in week

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item