https://pustokum.blogspot.com/2016/01/perang-diponegoro-dimata-muhammad-yamin.html
Sebagai
seorang sejarawan, Muhammad Yamin tahu betul fungsi sejarah sebagai modal
sosial untuk mencapai cita-cita persatuan. Tak heran, karya-karyanya yang
berbau sejarah selalu saja diarahkan pada satu titik, ‘demi persatuan dan
kesatuan bangsa’. Sejarah baginya bukan lagi sesuatu yang selesai. Tapi sebagai
sebuah entitas yang bergerak dinamis. Penafsiran-penafsirannya tentang sejarah
selalu punya misi yang bersifat kekinian.
Itulah
Yamin. Dengan segala kontroversialnya, ia acapkali memiliki segudang ide yang
tak terduga. Apa yang dilakukan Yamin adalah memunculkan gagasan tentang
indo-sentrisme sebagai lawan Neerlando-centrisme
yang telah dikecam oleh Van Leur.
Di
samping itu, Yamin juga memandang
sejarah Indonesia sebagai sebuah proses ke arah terwujudnya Indonesia
yang bersatu dan berdaulat. Nilai yang dianut pada masa itu, yaitu kesadaran
akan kesatuan Indonesia, ini dipantulkan oleh Yamin dan pengikut-pengikutnya ke
dalam uraian rekonstruksi sejarah Indonesia dari dahulu hingga sekarang. Selain
itu, juga Yamin merasa bahwa saat itu di tahun 1950-an Indonesia baru saja
melepaskan diri dari penjajahan dan bahkan masih memperjuangkan sebagian
wilayahnya yaitu Irian Jaya.
Oleh
Taufik Abdullah seperti yang dikutip oleh Restu Gunawan, secara corak pemikiran
Muhammad Yamin memakai “Tafsiran Whigg” yaitu suatu tafsiran yang menggunakan
kecenderungan masa kini untuk menerangkan masa lampau.
Termasuk
ketika ia menulis sejarah peperangan Diponegoro. Yamin juga mempunyai misi dan
pembacaan ke arah itu. Dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Peperangan
Dipanegara Pahlawan Kemerdekaan Indonesia”, ia mencoba untuk menjelaskan masa
kini dengan rentetan peristiwa masa lalu. Peperangan yang dilakukan oleh
Pangeran Diponegoro ditafsirkan sebagai sebuah rentetan peristiwa yang
memunculkan keadaan masa kini, yaitu alam kemerdekaan.
Perang yang Menentukan Nasib Tanah
Indonesia
Perang
Diponegoro atau dikenal dengan Perang Jawa merupakan perang yang memakan banyak
korban. Perang yang berlangsung selama lima tahun ini telah menewaskan serdadu
Belanda sebanyak 8 ribu jiwa dan menghabiskan biaya sebanyak 20 juta gulden. Konon,
karena adanya peperangan ini, pemerintah Hindia-Belanda hampir mengalami
kebangkrutan.
Penyebab
perang ini adalah persoalan tanah. Pangeran Diponegoro kala itu lebih memilih
tinggal di luar keraton yaitu di Tegalrejo. Suatu ketika pada 1825, pemerintah –
yang dipimpin oleh Danurejo bersama Residen Belanda – hendak membangun jalan
yang melintasi tanah Tegalrejo. Hal itu dilakukan tanpa persetujuan dari
Pangeran Diponegoro. Lalu Pangeran Diponegoro dipanggil. Saat dipanggil itulah,
ternyata di luar terdengar dentuman meriam yang menghancurkan daerah Tegalrejo. Sejak
saat itu meletuslah perang Diponegoro tersebut.
Jelas
dalam peperangan tersebut murni disebabkan oleh persoalan tanah. Pangeran
Diponegoro terusik dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah kala itu. Yang
mengambil kebijakan tanpa melalui persetujuannya.
Tapi
bagi Muhammad Yamin, perang ini dinilai sebagai perang yang ditujukan untuk
lingkup nasional Indonesia. Ia menulis, “Peperangan inilah yang menentukan
nasib tanah Indonesia: merdeka atau terus menjadi jajahan. Peperangan hebat ini
adalah saat yang penting dalam perjalanan sejarah Indonesia, karena sejak itu
bergoyanglah kekuasaan penjajahan sampai kepada batu-batu sendinya.”
Yamin
juga mengaitkan dengan apa yang terjadi di luar pulau Jawa. “Darah tertumpah,
seperti juga di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, untuk maksud yang sama dan
tujuan suci: membersihkan tanah air daripada kedurjanaan Barat dan hendak
menegakkan negara merdeka yang mempunyai kedaulatan sendiri.”
Sang Pahlawan Adat dan Agama
Di
mata Yamin, Pangeran Diponegoro adalah sosok pahlawan adat dan agama. Pangeran
Diponegoro melakukan peperangan karena atas dasar itu. Dari segi adat, menurut
Yamin, Pangeran Diponegoro telah benar melakukan pemberontakan atau dalam adat
Indonesia dinamai dengan Keraman. Dasar
peperangan keraman itu sendiri
terejawantah dari nilai adat yang berbunyi: ‘Raja adil raja disembah, raja
lalim raja disanggah’.
Lalu
dari segi agama, peperangan ini dilakukan atas dasar untuk memperjuangkan dan
mengembangkan agama suci, baik dengan perang kecil maupun perang besar. Selanjutnya
Yamin menulis,
“Menurut
hukum Islam maka peperangan yang demikian bernama Jihad; jihad yang cukup
syaratnya menurut hukum Islam, dinamai perang sabil atas jalan Allah.”
Dalam
konteks ini, Yamin ingin membangun sebuah jembatan antara adat dan agama. Apa yang
dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dalam berperang itu selalu mengaitkan dua
entitas ini, baik adat maupun agama. Dengan kata lain, Pangeran Diponegoro –
dalam kacamata Yamin – melakukan peperangan dalam rangka memperjuangkan
nilai-nilai adat dan agama.
Selanjutnya,
Yamin berkesimpulan bahwa Pangeran Diponegoro mempunyai jiwa pahlawan adat dan
agama. Yamin mengatakan, “Pusat daripada perhatian Dipanegara, yaitu sangat
setia dan tertambat pada adat pusaka Indonesia yang luhur, dan kepada perintah
agama Islam.”
mantab infonya gan, ditunggu artikel selanjutnya gan
BalasHapussakong online
buku mimpi
bandar togel online
togel online
BalasHapusCapsa susun Online Uang asli
poker online terpercaya
judi online uang asli
judi poker indonesia
promo bonus poker terbesar
agen poker terbaik
Togel Online aman dan terpercaya
Bandar Togel Online
Judi Online Togel singapore
Prediksi Togel Online hongkong
Togel singapore
Togel Hongkong
Togel Sydney
Taruhan bola indonesia
judi bola terpercaya
Online Casino indonesia