 |
sumber .www.beritasatu.com |
Berlakunya
Undang-undang No 8 tahun1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun
terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana Indonesia. Perubahan system peradilan
yang dianut melalui Undang-undang dimaksud,
sudah barang tentu mengakibatkan pula perubahan dalam sikap dan cara bertindak
para aparat pelaksana penegak hukum
secara keseluruhan.
Perubahan
system peradilan pidana dari sistem inkusitur
yang dianut semasa Het Herziene
Inlandasch Reglement (Stbl.1941
No 44) ke sistem akusatur yang dianut oleh
Undang-undang No 8 tahun 1981, perlu diamati dan diteliti secara amat
berhati-hati. Hal ini disebabkan perubahannya
memiliki implikasi yang mendasar dan meluas.
Setelah Undang-undang
No 8 tahun 1981 diundangkan pada tanggal 31 desember 1981, maka HIR sebagai
satu-satunya landasan hukum
bagi proses peneyelesaian perkara pidana di Indonesia, telah dicabut (lihat
bagian memutuskan sub I Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana UU No 8/1981).
Sistem Inkusitur
Sistem inkusitur merupakan bentuk
proses penyelesaian perkara pidana yang semula berkembang di daratan Eropa
sejak abad ke 13 sampai dengan awal pertengahan abad ke-19. Proses penyelesaian
perkara pidana berdasarkan sistem
inkusitur pada masa itu dimulai dengan
adanya inisiatif penyidik atas kehendak sendiri untuk menyelidiki kejahatan.
Cara penyelidikan dan pemeriksaan dilakukan secara rahasia.Tahap pertama
dilakukan oleh penyidik ialah meneliti apakah suatu kejahatan telah dilakukan,
dan melakukan indentifikasi
pelakunya. Apabila
pelaku kejahatan telah diketahui dan ditangkap, maka tahap kedua, ialah
memeriksa pelaku kejahatan
tersebut.
Tahap ini, tersangka ditempatkan
terasing dan tidak diperkenankan berkomunikasi dengan pihak lain atau
keluarganya. Pemeriksaan atas diri tersangka dan para saksi dilakukan secara
terpisah, dan semua jawaban tersangka maupun saksi dilakukan dibawah disumpah
dan dicatat dalam berkas hasil pemeriksaan. Kepada tersangka tidak
diberitahukan dengan jelas isi tuduhan dan jenis kejahatan yang telah ia
lakukan serta bukti yang memberatkannya.
Satu-satunya tujuan waktu itu ialah
untuk memperoleh pengakuan (confession) dari tersangka, khususnya
dalam kejahatan berat. Apabila tersangka tidak mau
secara sukarela
mengakui perbuatannya atau kesalahannya, maka petugas pemeriksa akan perpanjang
penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan (torture) sampai diperoleh pengakuan.
Proses pendahuluan dalam perkara
tindak pidana umum di Indonesia yang masih mengutamakan system inkusitur. Model penyidikan yang seperti sangat memalukan bagi institusi Kepolisian Republik Indonesia. Dalam era
modern seperti sekarang ini, seharusnya proses penyelidikan dan penyidikan sudah tidak lagi
menggunakan metode kekerasan dalam memperoleh keterangan. Menggunakan permainan
psikologi itu lebih baik daripada menggunakan metode kekerasan. Cara seperti
ini lebih memanusiakan manusia daripada menggunakan kekerasan. Untuk mencapai
tingkatan ini, aka kepolisian harus mulai berbenah dan melakukan reformasi
pendidikan bagi tubub polisi itu sendiri.
Samsirin
Aktivis PERMAHI
Jakarta yang sedang latihan menulis.