Politisi "Ular"


Filosof Imanuel Kant pernah menggambarkan politisi mempunyai dua watak seperti merpati dan ular. Politisi yang mempunyai watak merpati mempunyai sifat yang lembut dan penuh dengan kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme masyarakat serta komitmen pada garis perjuangan partai, artinya ia loyal terhadap partai yang dianggapnya bisa menjadi alat untuk memperjuangkan idealismenya itu. Sedangkan watak politisi kedua sepeti ular yang licik dan jahat, karena selalu berupaya memangsa merpati.

Politisi ular selalu menggunakan cara-cara busuk untuk menyingkirkan lawannya, sekecil apapun kesalahan lawannya selalu akan dijadikan senjata untuk menghantam bahkan membunuhnya. Apabila lawannya tidak mempunyai “cacat” maka sang politikus yang menyerupai ular ini rela mengotak-atik pikirannya untuk merekayasa agar lawannya itu terjebak dalam suatu kesalahan.  Dari sini kemudian melahirkan adagium yang memberikan gambaran dalam dunia politik “tidak ada kawan sejati dalam politik, lawan bisa jadi kawan dan kawan bisa jadi lawan” dan juga ada yang mengatakan bahwa “politikus sejati itu bisa menggorok leher kawannya dengan tertawa lepas”.

Sifat ular yang dimiliki oleh politisi jelas merusak citra politikus yang pada awalnya profesi ini adalah sesuatu yang mulia, karena politik berasal dari kata “policy” yang mempunyai arti kebijakan. Oleh karena itu politikus dituntut untuk membuat kebijakan yang mendukung masyarakat saat ia menduduk kursi kekuasan dalam suatu instansi atau pemerintahan.

Jika kita lihat saat ini,  Maka banyak politisi yang lebih menonjolkan sifat ularnya daripada merpati, sehingga politisi saat ini terkesan kejam dan bengis, alias pembunuh berdarah dingin, sehingga bukan lagi kepentingan masyarakat yang ia perjuangkan melainkan kepentingan pribadinya dan lawan politiknya bukan malah dijadikan sebagai rekanan saat ia bekerja namun diposisikan sebagai lawan yang harus dibinasakan. Dalam filsafat politik cara-cara seperti ini lebih dekat dengan ajaran Macheavelli, seorang politikus dari Italia yang mengajarkan tipu daya dalam berpolitik.

Politisi ular selalu memberikan serangan berupa tuduhan yang bisa mengarahkan opini publik. Dalam aksinya itu ia tidak segan-segan menggunakan tipu dayanya untuk mempengaruhi penegak hukum. Seperti yang dilakukan oleh Nazarudin yang berhasil membuat geger masyarakat Jawa Tengah dengan menyeret Gubernur Baru Ganjdar Pranowo. Gandjar disebut-sebut terlibat dalam kasus korupsi proyek penggadaan E-KTP.

Memainkan KPK

Politisi Ular seperti Nazarudin tahu tahu isu korupsi di Negeri ini merupakan alat yang ampuh untuk menyerang lawan politiknya, sehingga ia gunakan untuk mengahancurkan musuh-musuh politiknya dengan cara mencoba memanfaatkan kelalain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika boleh meminjam kata yang pernah dilontarkan oleh Anas Urbaningrum yaitu “nabok nyileh tangan”. Nazarudin mencoba meminjam tangan besar KPK, karena lembaga ini merupakan simbol rakyat dalam memberantas penyakit korupsi.  

KPK sebagai lembaga khusus dalam penanganan korupsi ingin dimainkan oleh Nazarudin. Jika tuduhan Nazarudin terhadap Gandjar Pranowo diungkapkan dalam persidangan maka KPK harus bertindak untuk melakukan persiapan dan memanggil Gandjar untuk diperiksa,  karena segala sesuatu yang terungkap dalam persidangan adalah fakta hukum yang akan dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim dalam membuat putusan. Putusan dan Berita Acara Persidangan (BAP) merupakan data penting dan juga bisa dijadikan alat bukti permulaan bagi KPK untuk melakukan penyidikan lebih lanjut. Beruntungnya tuduhan tersebut tidak diungkapkan oleh Nazarudin dalam persidangan.

Jadi hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus menggali lebih dalam lagi mengenai peran orang-orang yang disebut terdakwa dalam persidangan, karena terkait dengan kasus yang menjeratnya. Hal ini dilakukan agar bisa dijadikan pertimbangan KPK dalam melakukan penyidikan terhadap nama yang disebut dalam persidangan.

Tuduhan Nazarudin kepada Gandjar terkait dengan Korupsi proyek penggandaan E-KTP diungkapkan didepan media. Bola panas yang dilemparkan kepada publik itu jelas mempunyai tujuan untuk memberikan keringanan hukuman pada dirinya, karena seolah-olah dia ingin mengatakan (mempengaruhi) kepada hakim, bahwa dia tidak sendirian dalam melakukan tindak kejatan korupsi, sehingga dia bukan pelaku utama namun hanya sebagai orang yang turut melakukan (medepleger). Jika posisinya medepleger maka harus ada tokoh utama dibalik korupsi tersebut, dan ini menjadi tugas KPK untuk melakukan penyidikan lagi. Ketika KPK bertindak dengan menggunakan dasar dan bukti-bukti yang valid dalam menindaklanjuti wacana yang dibuat oleh Nazarudin itu berarti sudah sesaui dengan tugas dan wewenangnya, namun Jika KPK berkerja karena opini Nazarudin yang terkesan “ngawur” maka lembaga super body telah menjadi alat politik untuk menghancurkan seseorang.

Dasar-dasar KPK dalam melaksanakan kewenangan dalam mememeriksa seseorang harus jelas, karena ini menyangkut nama baik seseorang. Sebutan “koruptor” bisa langsung dialamatkan kepada orang yang dipanggil KPK, walaupun statusnya adalah saksi.  Kasus ini memberikan pelajaran penting bagi pegiat hukum untuk selalu tidak bersikap angkuh dengan kedigdayaan hukum, karena sesungguhnya hukum itu tidak bebas nilai. Hukum akan selalu dicampuri dengan nilai-nilai lain diluar hukum itu sendiri, media, kekuasaan dan politik merupakan elemen terpenting dalam mempengaruhi berlakunya suatu hukum tersebut.    

Muhtar Said

ini adalah tulisan masa lalu, yang "nongol" kembali 



 


Related

Filsafat 3786748278944390319

Posting Komentar

emo-but-icon
:noprob:
:smile:
:shy:
:trope:
:sneered:
:happy:
:escort:
:rapt:
:love:
:heart:
:angry:
:hate:
:sad:
:sigh:
:disappointed:
:cry:
:fear:
:surprise:
:unbelieve:
:shit:
:like:
:dislike:
:clap:
:cuff:
:fist:
:ok:
:file:
:link:
:place:
:contact:

WELCOME

NEWSHot in weekArsip

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item