Belanda, negeri yang tidak
bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan Negara Republik Indonesia. Terlepas dari
semua perilaku “penindasan” yang pernah dilakukannya, di bumi merah putih ini,
orang-orang Belanda juga memberikan sumbangsih yang besar terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan bagi Indonesia. Dulu, Para tokoh Indonesia juga banyak menimba
ilmu di negeri Belanda.
Untuk itu, tidak ada
salahnya jika Pusat Studi Pemikiran Tokoh Hukum (Pustokum) juga belajar dari para
peneliti senior Belanda. Gerard Termoshuizen, Harry Poeze, Heleen, and Marjanne
merupakan peneliti senior Belanda yang antusias menyambut “lamaran” Pustokum
untuk kerjasama dalam hal penelitian.
Empat peneliti tersebut, adalah
orang-orang yang fokus meneliti mengenai Indonesia. Gerard Termoshuizen,
meskipun bukan orang Indonesia, namun dia dengan senang hati membantu penelitian
anak-anak Indonesia. Christian Dewi tri Murwani, seorang mahasiswa (S3)
Univeristas Gadjah Mada (UGM) pernah merasakan kebaikannya ketika merampungkan
disertasinya yang berjudul “Representasi
Perlawanan Pribumi Masa Peralihan Abad ke 19 sampai ke 20 di Hindia Belanda
dalam Novel, De Stille Kracht dan Bumi Manusia”. Gerard bukan hanya menjadi
teman diskusi bagi Christian, tetapi juga sebagai pemasok data-data yang
diperlukan olehnya.
Kemudian Harry Poeze. Seorang
tokoh peneliti yang memberikan banyak sumbangan sejarah pemikiran kepada bangsa
Indonesia. Lebih dari 40 tahun Harry menghibahkan tenaga dan pikirannya untuk
meneliti Tan Malaka, pahlawan Indonesia dan orang yang memberikan nama Republik
bagi negara Indonesia.
Heleen dan Marjanne juga
tidak sedikit peran-perannya, mereka semua adalah orang-orang yang tenaga dan
pikirannya sebagian besar digunakan untuk meneliti para tokoh-tokoh Indonesia. Disinilah
kesamaan visi Gerard Termoshuizen, Harry
Poeze, Heleen, Marjanne dan Pustokum yakni, meneliti pemikiran para tokoh
Indonesia.
Pustokum yang diwakili oleh
Awaludin Marwan (Luluk), mengundang empat peneliti senior Belanda itu untuk
makan malam. Undangan Luluk disambut dengan gembira oleh mereka, karena dalam
undangannya itu, Luluk memberikan kata pengantar yang jelas, yakni membicarakan
pemikiran-pemikiran para tokoh Indonesia.
Makan malam diadakan di apartemen
Luluk, yang terletak di tengah Kota Utrech Belanda. Obrolan santai-pun mewarnai
pertemuan itu. Terkadang obrolan mengenai pemikiran tokoh-tokoh Indonesia terhenti
karena Pramudita, anaknya Luluk menyela dengan celotehan udiknya. Obrolan-pun berganti tema mengenai anak-anak.
Soepomo, Muhammad Yamin dan
Budhyarto Martoatmodjo mendominasi pembicaraan, karena ketiganya sudah
pernah “digarap” oleh Pustokum. Yamin memang masih dalam tahap penyelesaian, namun Pustokum pernah menyelenggarakan konferensi pemikiran Muhammad Yamin dan
menghasilkan prosideng dengan judul “Mengurai dan
Merangkai Orisinalitas Pemikiran Tokoh Hukum Indonesia”
Sedangkan Budhyarto
Martoatmodjo sudah selesai dan sekarang masih dalam tahap penerbitan. Meskipun
penelitian sudah selesai, tetapi ada rencana untuk menelitinya kembali, karena
tim peneliti Pustokum menemukan banyak data yang berasal dari Belanda mengenai
Budhyarto Martoatmodjo.
Presentasi santai ala Luluk, ditanggapi dengan serius oleh
mereka. Dan mereka-pun antusias untuk merajut kerjasama dengan Pustokum dalam
hal penelitian, terutama terkait dengan pasokan data. Karena bagi para peneliti, data
bagaikan mukjizat, sebuah harta yang tidak ternilai harganya.
Setelah obrolan dirasa sudah cukup (karena sudah menghasilkan beberapa kesepakatan yang akan ditindaklanjuti untuk beberapa waktu yang akan datang), kemudian Luluk pergi ke dapur
untuk mengambil makanan yang dibuatnya sendiri dan disajikan kepada mereka.
Luluk memang pandai memasak, terutama masakan barat, sehingga cocok dengan
lidah mereka yang juga berasal dari bangsa Barat. (said)