Manuver Yamin di Dewan Rakyat Hindia Belanda[1]


Oleh Awaludin Marwan[2]

Sumber foto id.wikipedia.
Saat Dewan Rakyat didirikan oleh Gubernur Jenderal van Limburg Stirum pada tahun 1917, sebagai dewan penasehat legislatif, konon tak banyak diharapkan dari lembaga ini. Ia acapkali disebut sebagai lembaga ‘yes men.’ Dan, bahkan sering diplesetkan, dari Dewan Rakyat (Voklsraad) menjadi Dewan Gula (Suikerraad), sebab keberadaannya disinyalir menyokong kepentingan pabrik gula.[3] Pada tahun 1939, Yamin menyeburkan diri dalam arus politik Batavia, sebagai kandidat Dewan Rakyat, bersama tokoh lain, seperti: 1) Datoek Kajo, 2) Datoek Madjolelo, 3) Soetan Mahmoed Latief, 4) Mr. Soetan Haroen Al Rasjid, 5) Haji Agoes Salim, dan 6) Datoek Toemenggoeng.[4]

Nampaknya Yamin tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan kursi Dewan Rakyat periode 1939-1942. Lepas dari cercaan kritis dari tokoh kiri, seperti Tjipto Mangunkusumo, Sneevliet, Semaun, dkk, Dewan Rakyat masih terus berjalan. Kehadiran Yamin di barisan anggota bumiputera, sebenarnya tak berpengaruh besar. Namun perlu dilihat bagaimana Yamin mengelola irama politiknya. Sebab, ia tak seradikal tokoh-tokoh kiri yang membuat barikade besi anti Dewan Rakyat.[5]

Namun bukan pula, gamang tanpa suara. Ia punya tangga nada politik tersendiri. Terkadang ia cukup menyetujui saja rancangan perudangan tentang pertahanan Hindia yang disodorkan.[6] Tapi, entah mengapa ia juga lantang menyuarakan anti-kolonialisme.[7] Bahkan berdiri sendiri, memperluas makna kolonisasi, tak hanya kolonisasi Belanda pada nusantara, tetapi juga kolonisasi Jawa terhadap pulau lain (Javanenkolonisatie). Yamin juga masih menyempatkan melakukan pekerjaan sambilannya sebagai advokat dengan perkara sepele, soal hutang.[8] Hal inilah, yang membuat posisi Yamin di Dewan Rakyat mempunyai keunikannya.

Kadang, Dewan Rakyat memang keberadaannya seperti orang-orangan di pematang sawah saja. Meskipun, bentuknya menyerupai parlemen pada umumnya. Setiap parlemen hadir melalui proses pemilu yang berbelit.[9] Namun keberadaan Dewan Rakyat hanya mampu menyuguhkan rekomendasi kepada sang Gubernur Jenderal saja, yang bahkan sering dicampakan pula.[10] Meskipun, sungguh, Dewan Rakyat tetap punya dinamikanya sendiri. Suara-suara nyaring, tentang emansipasi politik asli (inlandsche politiek) kadang sayup-sayup terdengar disini.

Anti-kolonial

Dalam catatan Susan Abeyasekere, periode Dewan Rakyat tahun 1939 tersusun dari kelompok paling radikal dibanding periode sebelumnya. Disanalah, orang seperti Thamrin menyuarakan kata ganti bagi ‘orang Indonesia’ dan ‘Indonesia’ dari kata resmi yang sering dipakai ‘pribumi (inlander) dan Hindia-Belanda (Nederlandsch Indie).’ Soetardjo juga berseru tentang penyama-rataan tiga ‘kasta kewarganegaraan—Eropa, Timur Asing, dan Pribumi.’ Wiwoho punya pandangan radikal, tentang otonomi luas Hindia.[11] Susan tidak banyak menulis peran Yamin dalam mosi politik perlawanannya.

Pada tanggal 1 Agustus 1939, koran Belanda Het Nieuws Den Haag mewartakan argumen Yamin tentang hak fundamental, yang seharusnya diberikan oleh pemerintah pada setiap individu di Hindia. Prinsip dasar (fundamenteel beginsel) menurut Yamin juga dimulai dari perumusan politik ekonomi yang menghapuskan kolonialisme. Lebih lanjut Yamin menyatakan bahwa pembangunan dan perubahan selama ini tidak menyentuh kebutuhan masyarakat Hindia. Di ruangan Dewan Rakyat, saat Yamin bersuara demikian, ia cukup berseteru dengan wakil Eropa Mansvelt dan bahkan wakil bumiputera Tadjoeddin Noor.[12] Kubu yang berseberangan dengan Yamin, berpegang dalih ekonomi, yang ingin menjaga keseimbangan neraca.

Kata-kata anti-kolonialisme itu pada akhirnya mendorong Yamin mengutarakan paham nasionalisme. Ia sudah tidak lagi menyebut dirinya sebagai orang minang maupun kawula Belanda. Ia ingin dipanggil sebagai orang Indonesia (Indonesiёr), bukan lagi warga Hindia Belanda (Nederlansch-Indiёr). Apalagi dipanggil pribumi. Sebutan pribumi sama menyakitkannya, seperti umpatan rendahan padanya.[13] Seperti yang dirasakan oleh Soekarno yang menyoal banyak rambu ‘dilarang untuk anjing dan pribumi’ (verboden voor Honden en Inlanders). Bahkan Soekarno sendiri mengutuk rambu itu, bahkan anjing pun ditulis lebih dahulu ketimbang pribumi![14]

Yang ingin ditekankan Yamin sebenarnya bisa dikualifikasikan dalam bentuk politik pengakuan (politics of recognition).[15] Identitas adalah harkat martabat manusia yang perlu dihormati. Saat identitas ini dibungkam, maka penindasan pun mengoyak alas kemanusiaan. Bahkan orang lebih suka ia dihormati, ketimbang diberi uang kemudian diludahi. Perlakuan terhadap identitas adalah kunci dalam tata sosial yang emansipatoris.[16]

Semasa awal menjabat pada tahun 1939, Yamin menyerukan politik asli (inlandsche politiek). Ia prihatin atas eksploitasi besar-besaran pemerintah kolonial terhadap hutan Jawa yang dibabati seenaknya. Bahkan terkesan ada pembiaran pada pembalakan ilegal di kawasan Tengger hingga gundul. Bersama perkumpulan Gerindo, ia menekankan akan arti pentingnya politik asli dikumandangkan, supaya alam nusantara diperuntukan dan dikelola sebaiknya bagi bumiputera. Hal yang senada diungkapkan oleh Amir Sjarifoedin di Batavia.[17] Keperpihakan terhadap kepentingan masyarakat adat juga cukup laku dijual sebagai komoditas politik semasa awal Dewan Rakyat.

Dewan Rakyat sejauh itu, bukanlah sepenuhnya sistem parlemen. Sekencang apapun Yamin bersuara, Dewan Rakyat hanyalah badan konsultatif. Gubernur Jenderal sama sekali tidak bertanggung-jawab kepadanya. Sang Gubernur hanya mewakili kepentingan Ratu Belanda. Meskipun kata-kata koloni telah diganti dengan teritori seberang samudera, Hindia tetap sepenuhnya diatur oleh Pemerintah Belanda.[18] Dari pembaharuan ini, banyak diantara para tokoh Indonesia kecewa, bahkan  menurut Maarten Kuitenbrouwer, situasi ini juga sebelumnya menyulut api revolusi kelompok nasional radikal Partai Komunis Indonesia pada tahun 1926-1927. Perlawanan terhadap Gubernemen di Jawa Barat dan Sumatera Barat, diikuti dengan eksekusi dan pemenjaraan para tokoh komunis di kamp konsentrasi di Papua Barat.[19]

Pada sekitar pertengahan Agustus 1939, Pemerintah Hindia Belanda juga memperlihatkan beberapa tindakan represifnya pada gerakan nasionalis. Tak hanya menangkapi beberapa tokoh yang berusaha mengobarkan semangat perjuangan, pemerintah juga mengkriminalisasi tokoh-tokoh karena tulisannya di media. Yamin dan Abdul Rashid di Dewan Rakyat mengaum. Mereka mengutuk tindakan aparat yang menyeret kebebasan berekspresi ke delik pers. Melalui Dewan Rakyat, Yamin menuntut supaya mereka yang ditangkap karena tulisannya itu, dibebaskan dari pidana kejahatan (ontslaat van strafvervolging). Yamin juga menuntut supaya diagendakannya revisi KUHP.[20] Meskipun yang terakhir ini agak konyol. Revisi KUHP lewat legislasi sampai tahun 2016 sekalipun, masih belumlah kelar.

Tapi sebenarnya, pernyataan sikap Yamin jelas ingin membuat perisai bagi para penulis. Ia pun berkepentingan besar, supaya delik pers dilenyapkan. Ia sendiri seorang penulis. Disamping pada bulan sebelumnya, Juli 1939, ia baru saja melaunching satu buletin terbitan Gerindo. Media yang bernama ‘Garisan Baroe’ itu diharapkan mampu mewartakan berita-berita yang berbau kemandirian Hindia.[21] Yamin sendiri hadir dalam peresmian buletin itu, sebagai perwakilan anggota Dewan Rakyat dari Minangkabau.[22] Dengan kebebasan pers, diharapkan para tokoh nasional lebih leluasa menuliskan agitasinya menentang kolonialisme. Sepertinya Yamin sadar bahwa tulisan adalah jalan utama dalam bermanuver politik, berdialog dengan kekuasaan.

Memperluas makna kolonisasi

Akhir dari kolonialisme Belanda pada tahun 1900-an, masyarakat sudah banyak menuntut tentang pembangunan. Perkembangan politik etis, juga memperluas pembangunan dan reformasi di segala bidang. Namun semuanya itu juga tergantung pada ketersediaan dana. Pemerintah kolonial sendiri sudah kesulitan dalam hal perawatan fasilitas yang sudah disediakan. Dengan dana 655.9 juta gulden, pemerintah harus merawat sepanjang 2.850 km rel kereta api dan menggaji 33.700 orang pasukan militernya.[23]

Yamin bersama Wiwoho di Dewan Rakyat menyayangkan percepatan pembangunan oleh pemerintah kolonial berjalan dengan lamban. Apalagi melihat keluar daerah, akses dan sarana serba mengalami keterbatasan. Ketersediaan bahan bangunan, tempat ibadah, dan fasilitas umum pun dikeluhkan di ruang Dewan Rakyat.[24] Mosi kritis Yamin ini disuarakan melalui Dewan Rakyat, sebenarnya lagi-lagi tidak punya pengaruh besar pada gaya pembangunan Gubernemen. Bahkan organisasi terpelejar seperti Perhimpunan Indonesia (PI) menyatakan sikap non-kooperatif pada otoritas Belanda, termasuk Dewan Rakyat itu.[25] Meskipun Adriaan Vicker percaya bahwa keberadaan Dewan Rakyat, toh lumayan mandul, namun berperan aktif dalam mengawal kebijakan Gubernemen, menjadikan Hindia sebagai daerah yang lebih baik ketimbang daerah koloni Belanda yang lain.[26]

Bersama dengan Tirtokoesoemo, Yamin menghujamkan kritiknya yang meluas, tentang kolonialisme. Baginya kolonialisme bukan hanya hubungan represif antara pemerintah Belanda dan Hindia, melainkan juga relasi Jawa yang timpang. Ia secara gamblang menyebutnya sebagai de Javanenkolonisatie, kolonisasi Jawa. Masalah populasi penduduk yang jomplang, ditambah dengan kualitas pemukiman di luar jawa yang sungguh memprihatinkan.  Percepatan pembangunan melalui slogan politik etis, bagi Yamin hanya akan melanggengkan dan mengokohkan kolonialisme Jawa kepada pulau luarnya. Bantuan nyata yang diberikan kepada Hindia harus diupayakan distribusinya.[27]

Terang saja, ketimpangan ini akan diperkirakan terus membesar, populasi di daerah Jawa adalah 34.984.000 jiwa, sementara total penduduk Hindia pada tahun 1924 adalah 49.351.000 jiwa. Sementara luas wilayah Jawa hanyalah 131.431 km, jika dibandingkan dengan luas Hindia yang mencapai 1.900.142 km.[28] Konsentrasi di tanah Jawa yang begitu besar membuat kecemburuan pembangunan semakin melebar.

Lebih lanjut Yamin menyatakan akan arti pentingnya memecah populasi penduduk di Jawa, dengan model transmigrasi, yang akan memecahkan ketertinggalan pembangunan di luar Jawa. Memecahkan problem kemelaratan masyarakat, baik di Jawa, utamanya di laur Jawa, Yamin mengusulkan perluasan Sistem Kredit Rayat yang mempermudahkan untuk diakses. Sementara pemerintah juga dituntut oleh Yamin supaya menyediakan sarana kesehatan yang layak. Terakhir, tidak begitu jelas, kenapa Yamin menyampaikan usul pembatasan perkebunan karet di Hindia.[29] Barangkali supaya tanah diperuntukkan yang lebih berguna.

Apa yang diungkapkan Yamin, sebenarnya tidak hanya fokus pada kolonialisme saja. Melainkan hubungan pusat-daerah, yang setelah kemerdekaan pun hingga reformasi pun masih layak diperbincangkan. Yamin menggiring pada arti pentingnya desentralisasi. Padahal hanya dengan desentralisasi inilah, pemerintah semakin dekat dengan rakyatnya di daerah, modernisasi sarana publik meluas, dan tumbuh kembangnya aktivisme masyarakat sipil.[30] Kendatipun Hindia pada waktu itu telah mempunyai Wet Decentralisatie 1903, Koninklijke Besluit 1904 dan Locale Raden Ordonantie 1905, tidak berarti kewenangan lokal terbuka. Semua keputusan dan pelaksanaannya sepenuhnya ada ditangan Gubernur Jenderal.[31] Di Dewan Rakyat, Yamin menyerukan penolakannya pada kolonialisme. Baginya kolonialisme tidak hanya sebuah kemerdekaan, melainkan juga pemerataan pembangunan melalui desentralisasi.

Membela Perkara Hutang

Menggambarkan Yamin, ia adalah seorang politikus, seniman, sastrawan, sejarawan, advokat, aktivis, negarawan, dst. Namun ia lebih cocok ditasbihkan sebagai advokat politisi.[32] Latar belakang pendidikan hukumnya masih menyuplai posisi dan tindakan yang seringkali diambilnya. Pada saat menjabat sebagai wakil Dewan Rakyat sekalipun, Yamin terlibat pembelaan dengan perkara yang terbilang sepele. Namun kualitas perkaranya cukup berbobot, lantaran ia membela anggota militer yang didakwa pidana. Bermula dari hutang yang mangkrak, seorang harus diseret ke meja hijau, dengan diakhiri putusan penjara 1 tahun dan 6 bulan. Yamin kalah dalam pembelaannya itu di persidangan. Namun ia tetap hadir sebagai penasehat hukum terdakwa.[33]

Meskipun pada saat itu sistem regulasi belum sepenuhnya melindungi hak terdakwa mendapat pendampingan hukum oleh seorang advokat. Namun Yamin membela sebuah perkara yang sebenarnya sudah dipastikan kekalahannya di persidangan. Memperlihatkan ia memperagakan pembelaan bukan pada perbuatan terdakwa, melainkan pembelaan pada hak-haknya saja. Seperti pada umumnya perkembangan wacana pada tradisi advokat hak asasi manusia saat mengajukan pledoinya pada klien-klien mereka. Argumentasi hak hukum seringkali digunakan untuk menyokong kehadirannya mendampingi seorang terdakwa di pemeriksaan maupun persidangan.[34]

Perkara yang dipegang Yamin sudah pada level kasasi, yakni bertempat di Mahkamah Agung Militer (Het Hoog Militaire Gerechtshof) yang dipimpin oleh Ketua Majelis, Mr. Z.M.Schoorel. Perkara ini bermula dari seorang tamtama militer yang terlilit hutang, dan tidak punya itikad untuk melunasinya. Kasus ini semula disidangkan di Pengadilan Tjimahi, ia juga dituduh telah meninggalkan kamp militer dan tidak mematuhi disiplin korp.[35] Pengadilan sebelumnya menjauhkan hukuman tindak pidana penggelapan, sebab terdakwa telah berjanji akan melunasi hutangnya dengan angsuran melalui gaji yang diterimanya saban bulan. Namun janji tinggallah janji. Hutang pun tak kunjung tercicil barang satu sen pun.

Proses persidangan pun dilaporkan dengan cukup detail oleh Algemen Handelsblad. Majelis hakim menanyakan pada terdakwa perihal ke pembolosan empat hari di Batavia. Terdakwa menjawab, ‘saya bersama beberapa perempuan.’ Koran itu menceritakan bahwa terdakwa mengunjungi kediaman ‘perempuan jahat’, dengan seragam militer lengkapnya. Ia harus tinggal di Ibukota untuk membeli beberapa perlengkapan penghias, seperti jam tangan, pena, dan barang mahal yang lain. Tanpa membayar, ia menyodorkan kontrak sewa hutang. Belum lama kemudian, jam tangan itu dijual kepada orang pribumi seharga 15 gulden.[36] Lebih lanjut ceritanya sebagai berikut :

Hakim pun akhirnya mengejar dengan bertanya, ‘apa yang anda lakukan dengan 15 gulden itu?’. Terdakwa tanpa ragu-ragu mengakui digunakan untuk ‘plezier perempoean (bermain wanita).’ Tak hanya itu, sang tentara pun menggadaikan sepedanya sebanyak dua puluh gulden, namun tiada kunjung dilunasi pula. Sepeda yang statusnya belum lunas dari gadai itu dijual kepada orang Cina. Ia mendapatkan 100 gulden darinya. Dengan uang itu, ia berharap bisa mengembalikan seluruh hutangnya tadi. Ia pun pergi ke rumah perjudian untuk bermain dadu. Jika ia menang, maka ia pun bisa pulang dengan hutang yang terbayar lunas, syukur-syukur bisa membawa sisa kemenangan untuk simpanan. Nasib sial pun didapatinya. Ia kalah dan harus gigit jari. Ia memutar otak. Tak ada sisa uang di sakunya. Ia melirik sebuah sepeda bagus, bermerek Gazelle. Ia ambil dan menandatangani sewa hutang. Setelah itu, ia mulai menyewakan sepeda itu. Hakim pun bertanya, berapa banyak yang ia peroleh dari menyewakan sepeda per-bulan. Sang terdakwa menjawab ‘f 8.63.’ Hakim pun menerima bukti, bahwa terdakwa juga menghabiskan uang f 10 setiap bulan untuk wanita. Hakim bertanya ‘kenapa anda tidak membeli lebih banyak sepeda, untuk disewakan supaya menutup pengeluaran anda.’ Terdakwa hanya menjawab ‘tidak ada pikiran’. Ketua ragu, meyakinkan dengan bertanya sekali lagi, ‘mungkinkah anda tidak mempunyai pikiran.’ Terdakwa menjawab lirih, ‘Betoel toean.’[37]

Di ruang sidang, Yamin seorang anggota Dewan Rakyat itu mengajukan pembelaannya. Ia menyatakan bahwa terdakwa telah mengakui perbuatannya dan menyesal atasnya.  Yang bersangkutan juga sudah menerima mendapatkan denda dan hukum penjara yang separonya sudah ia jalani. Yamin hanya menyampaikan supaya orang tersebut tidak dipecat dari dinasnya. Paling tidak, sebagai wujud dari penghargaan padanya yang telah mengabdi di dinas militer selama 18 tahun. Sementara itu, oditur jaksa militer yang diwakili oleh Mr. Van Santwijk menyatakan keberatannya, seharusnya hukuman yang bersangkutan dilipat gandakan dari pengadilan Tjimahi. Seorang tentara penggila perempuan dan permainan dadu jelas sangat mencoreng nama baik institusi militer. Yamin juga tidak membenarkan perilaku menyimpang kliennya. Ia menyebutnya sebagai ‘demoralisasi (demoralisatie).’[38]

Menghadapi perkara yang tidak ‘seksi’ ini sebenarnya mempertaruhkan nama Yamin sendiri, yang mungkin tidak populer sebagai selebritas Dewan Rakyat. Membela perkara yang nyata terpidana yang suka bermain wanita dan dadu. Dari perkara, yang terpidananya sendiri tidak kuat membayar hutangnya, sebenarnya membuktikan bahwa kasus ini bukanlah lahan basah. Namun kesetiaan pada profesinya[39] mungkin adalah sebuah jawaban atas keanehan ini. Kewajiban etis[40] bagi advokat untuk mendampingi kliennya di sebuah persidangan yang paling sulit sekalipun. Terlihat pledoi Yamin, bukanlah pembelaan subtansial pada pokok perkara (hutang atau penggelapan). Ia bahkan mengakuinya sebagai tindakan demoralisasi. Ia hanya mengutarakan elemen-elemen yang meringankan pidana kliennya itu. Dengan kata lain, ia mengakui bahwa kliennya benar-benar bersalah. Ia pun tidak berusaha mengada-ada supaya kliennya dibebaskan dari perbuatan tercelanya itu sepenuhnya.

Advokat abad ke-21 bahkan di bilangan Wall Street, bersemboyan ‘makan apa yang telah kamu bunuh.’[41] Saking rakusnya para advokat dalam mematok harga profesinya dan menghisap darah kliennya. Namun Yamin seperti pada umumnya politisi advokat, yang berpraktek dengan memupuk komoditas politiknya. Investasi profesi, citra, sosial dan kekuasaan.[42]

Memperjuangkan Nasib Guru Bantu

Tidak banyak yang bisa diceritakan pada topik ini. Namun kegiatan Yamin yang mengajukan mosi dalam bentuk rancangan peraturan perundang-undangan, yang bermaksud memperbaiki nasib guru bantu patut dicatat. Soerabayablad melaporkan sebagai berikut :

Bapak Muhammad Yamin, Abdul Rashid dan Kandar Dinata akhirnya memilki mosi di mana pemerintah harus mengundangkan tenaga kerja untuk tujuan memperbaiki nasib guru pribumi dan orang-orang guru bantu. Karena setelah itu ditempatkanlah brosur dari perhimpoenan Goeroe Bantoe yang mengakhiri petisinya pada tahun 1939.[43]

Yamin tidak sendirian. Selain bersama dua anggota Dewan Rakyat yang lain, dibelakangnya juga berdiri Perhimpunan Guru Bantu, yang berharap pada perbaikan nasibnya di Hindia. Tidak diketahui apa hasil dari mosi itu. Namun rancangan perbaikan nasib guru bantu dan dunia pendidikan pada umumnya, mempunyai topik strategis tersendiri di masa akhir kolonial.

Partai Persatuan Indonesia

Sebuah iklan dilayangkan disebuah surat kabar, bahwa akan diselenggarakan sebuah pertemuan Partai Persatuan Indoensia. Muhammad Yamin dijadwalkan akan memberikan ceramah pada pertemuan kali itu. Sebuah pertemuan akan diselenggarakan di Gedung Harsodarsono di Bogor, yang pada saat itu namanya masih Buitenzorg.[44] Selama awal Yamin menjabat sebagai anggota Dewan Rakyat, ia dikenal seringkali berganti-ganti partai politik.[45] Dan, Partai Pesatuan Indonesia juga memakan perhatian Yamin cukup besar. Ia digadang sebagai pimpinannya. Ia juga yang berkeinginan melebarkan sayap partainya khususnya di daerah Jawa dan Palembang.

Minggu, 24 September P.P.I di Gedung Harsodarsono di Bogor sebuah pertemuan besar terbuka. Mr Muhammad Yamin dagendakan menghadiri pertemuan itu dan memberikan ceramah. Pada waktu itu, P.P.I juga menyelenggarakan pertemuan terbuka di Jawa Tengah dan Palembang.[46]

Yamin sebagai politisi Dewan Rakyat, harus mempunyai kantong-kantong massa, supaya mendulang posisinya. Ia sudah mempunyai dukungan besar dari perhimpunan guru bantu, seperti yang diceritakan di atas. Partai Persatuan Indonesia (PPI) memang pada akhirnya tidak pernah menjadi partai besar, seperti halnya Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), maupun Masyumi, dst. Namun ia telah memperlihatkan agitasi politik massanya melalui perluasan organisasi partai, tidak sekup Batavia saja, tetapi juga Jawa Tengah dan Palembang.

Meskipun Yamin dikenal pula sebagai peselancar politik, namun ia pernah juga pernah dikategorikan sebagai tokoh non partai saat duduk di Dewan Konstituante. Ia juga dikenal mendukung konsep hukum kewarganegaraan yang anti-diskriminasi terhadap etnis minoritas di Indonesia.[47] Namun pada saat duduk di Dewan Rakyat, ia mempunyai manuver yang cukup dinamis. Termasuk mendirikan PPI ini.

PPI didirikan untuk bertujuan mengangkat harkat martabat bangsa Indonesia. Dan, ia cukup ekslusif hanya orang Indonesia saja yang berkarakter nasionalis. Diwartakan oleh Bataviaasch Nieuwsblad, bahwa tujuan didirikan partai itu semata-mata mengangkat harkat martabat dan kesejahteraan masyarakat bumiputera. PPI berorientasi pada kemakmuran sosial berdasarkan tatanan konstitusi Hindia dan konsep demokrasi yang ideal. Cukup muluk dan utopis memang rumusan Partai ini. Dalam pemberitaan itu pun tidak disebutkan program kongkrit. Bataviaasch Nieuwsblad menyebutkan dasar organisasi ini adalah ‘demokrasi sosial (maatschappelijke democratie) dan nasionalisme sosial (maatschappelijke nationalisme).’ Yang jelas, bahwa Partai ini akan direncanakan ikut pemilu dan bekerja sama dengan pemerintah. Arah politik partai ini kooperatif,[48] berbanding haluan terbalik dengan arus politik yang dijalani Yamin sewaktu masih muda.

Partai politik dalam formasi kekuasaan pemerintah biasanya mempunyai program-program khusus dalam mengelola pola kebijakan ke depan. Berbeda dengan partai oposisi yang karakteristiknya cenderung mempunyai program penguatan internal dan fokus pada pemilu, ia tak punya sarana mengakses kontribusinya di pengambilan kebijakan.[49] PPI sudah memasang kuda-kuda untuk bersikap kooperatif pada pemerintahan. Dasar organisasi partai yang nasionalis kooperatif dipilih oleh Yamin. Corak nasionalis yang tidak ditinggalkan oleh Yamin, barangkali semacam moralitas politik, setelah ia menempuh jalan kooperatif. Sehingga ia tak kehilangan sepenuhnya orientasi kemandirian nusantara. Bruce Pilbeam menyatakan secara teori, moralitas personal dalam sebuah organisasi partai akan berimplikasi pada moralitas sosial. Dengan demikian, tolok ukur keberhasilan sebuah partai, jika ia mempunyai kader yang menjaga dasar fundamen ideologis partainya.[50]

Dalam sebuah rapat umum yang digelar oleh elite PPI, tak tanggung-tanggung, Yamin terpilih sebagai Ketua Umum. Ia juga mendeklarasikan diri sebagai wakil dari Dewan Rakyat di Partai tersebut, begitu sebaliknya. Ia ingin tampil sebagai perwakilan partai baru itu, di jajaran barisan anggota Dewan Rakyat. Sebuah rapat besar akan digelar pada Desember 1939, bisa jadi sebuah unjuk kekuatan massa. Rapat itu akan direncakanan bersama peresmian sebuah buletin baru Partai, bernama ‘Rintisan Rakjat.’[51] Yamin sepertinya tahu betul urgensi media dalam melancarkan serangan maupun menangkis hujatan. Ia tahu persis bagaimana menggunakan media.



[1] [draft buku biografi intelektual Muhammad Yamin]
[2] Peneliti Senior Pustokum
[3] Soe Hok Gie. Di Bawah Lentera Merah. 1999. Yayasan Bentang Budaya. Pembentukan Dewan Rakyat ini juga dilatar belakangi oleh adanya wabah penyakit pes yang menjalar, akibat kurangnya perhatian Pemerintah Hindia Belanda dalam memberikan sarana prasarana kesehatan dan asupan gizi pada masyarakat. Tingginya angka kematian akibat wabah ini cukup nyaring terdengar di tanah Belanda dan menyulut tuntutan-tuntutan reformis. Soe Hok Gie mencatat, bahwa keadaan kemiskinan dan penyebaran wabah di derita kaum miskin ini oleh Semaun dinilai sebagai keadaan masak untuk memulai perencanaan revolusi pada tahun 1917. Masih dalam catatan Soe Hok Gie, Dewan Rakyat juga dibangun atas reaksi politis terhadap delik pers yang melibatkan tokoh karismatik kiri Sneevliet, yang mencoba mengumandangkan keindahan revolusi Rusia, yang seharusnya bisa ditebarkan di tanah Hindia. H Sneevliet Ketua ISDV harus dituduh makar karena pemikiran emansipatorisnya yang terpublikasi di De Indier van NIP-Nederlandsche Indische Partij.
[4] Bataviaaschblad, 27 September 1983. Volksraadcandidatender Westkust.
[5] Pada sebuah diskusi tanggal 18 Maret 2016, Harry Poeze, Marjanne Termoshuizen, Gerard Termoshuizen, dan Gall Heleen di Utrecht. Yamin juga dikenal sebagai seorang pemecah atau penyobek (een scheuren man), yang menyebabkan konflik. Namun kepribadian, karya dan sepak terjangnya begitu memukau.
[6] Het Vaderland. 14 Juli 1939. Tijdelijk Defensie Vitvoerrecht.
[7] Het Nieuws van Den Dag. 17 Agustus 1939. De Kolonisatie
[8] Algemen Handelsblad, 17 Oktober 1939. Overstuur door vele schulden!
[9] Lihat., Alan Siarrof. Comparative European Party Systems. An Analysis of Parliamentary Elections Since 1945. Contemporary Issues in European Politics Volume 5., p. 81-85
[10] Ratih D Adiputri. The Dutch Legacy in the Indonesian Parliament. Political Sciences & Public Affairs, 2014, 2:2. Dewan Rakyat juga dituduh kepanjang-tanganan dari barisan feodal perwakilan pada utusan darah biru yang hanya terus ingin mempertahankan kedudukannya di strata sosial masyarakat. Kendatipun demikian, saat pemilihan berlangsung, Dewan Rakyat tak pernah memenuhi mayoritas yang efektif untuk menyuarakan sebuah petisi pada Gubernur Jenderal.
[11] Susan Abeyasekere. One Hand Clapping: Indonesian Nationalists and the Dutch 1939-1942. 1976. Monas Papers on Southeast Asia Number Five. Sebenarnya Wiwoho mengusulkan mosi yang cukup radikal, dengan setengah menuntut kemerdekaan kepada pemerintah Belanda, meskipun dalam dalih pembentukan parlemen utuh dari Rijksraad yang mempunyai kewenangan luas, termasuk meminta pertanggung jawaban departemen-departemen yang bekerja di Hindia. Dari tiga mosi berkembang radikal ini, para sejarawan lebih tertarik menamakan mosi emansipasi kedudukan kewarganegaraan ini, sebagai petisi Soetardjo. Petisi yang sama, sepertinya pernah dilontarkan oleh Roep pada tahun 1936.
[12] Het Nieuws van Den Haag, 1 Agustus 1939. Fundamenteel beginsel.
[13] Het Nieuws van Den Haag, 19 Agustus 1939. Wat zij zeggen. Yamin pada saat itu menyebutkan adanya tekanan politik internasional yang musti dirujuk oleh Gubernemen. Apalagi Eropa Tengah yang pada saat itu sedang gencarnya dijadikan pusat migrasi, identitas-identitas kebudayaan masuk ke perdebatan politik untuk mendapatkan penghargaan.
[14] Cindy Adams. Penyampung Lidah Rakyat. 2011. Yayasan Bung Karno, Penerbit Media Perssindo.
[15] Charles Taylor. Sources of the Self. The Making of the Modern Identity. 2001. Harvard University Press., p. 49. Taylor menyebutkan bahwa tanda bahasa yang digunakan untuk memanggil seseorang pun mencerminkan seberapa terhormatkah orang tersebut, maka sebutan ‘Mr’, ‘Miss’, ‘Madam,’ ‘Sir’, dan ‘Missis’ itu juga mempunyai makna tersendiri. Hal yang sama berlaku pada identitas minoritas, yang perlu diapresiasi bahasa kebudayaannya dan menghormati simbol-simbolnya.
[16] Seyla Benhabib. The Rights of Others. Aliens, Residents and Citizens. Cambridge University Press., p. 18
[17] 29 April 1939, Soerabayablad. Inlansche politiek.
[18] Dutch Colobies. Dutch East Indies. Buffalo&Eric Country Public Library Buffalo, NY. Dalam dokumen ini, dituliskan bahwa Total penduduk Hindia Belanda sebanyak 49.351.000. Sebagian besar, tinggal di Jawa, sebanyak 34.934.000. Dan, orang Belanda yang tinggal disini sekitar 7.205.000. Dengan pendapatan 655.9 juta gulden. Mempunyai tingkat ekspor memukau, dengan gula yang menghasilkan sekitar 491 juta gulden, tembakau, 123 juta gulden, teh 94 juta gulden, kopi 65 juta gulden, dst.
[19] Pada saat itu pula, pemimpin Partai Nasional Indonesia, yang masih muda dan karismatik juga dicekal. Pembaharuan sistem di daerah koloni malah berakibat pada terpuruknya kondisi penghormatan terhadap hak-hak fundamental. Diikuti dengan pertambah parahnya situasi krisis ekonomi dunia pada tahun 1930-an. Maarten Kuitenbrouwer. Colonialsm and Human Rights, Indonesia and the Netherlands in Comparative Perspective. Netherlands Quarterly of Human Rights, Vol. 21/ 2 (2005)
[20] Moties en Amandementen in De Volksraad. 18 Agustus 1939. Nieuws van den Dag
[21] Bataviaasch Nieuwsblad. 3 Juli 1939. Nieuw Tijdschrift.
[22] Indische Courant. 4 Juli 1939. Nieuw Richtlijnen.
[23] Dutch Colobies. Dutch East Indies. Buffalo&Eric Country Public Library Buffalo, NY.
[24] Het Nieuws van Den Haag. 17 Agustus 1939. De kolonisatie
[25] Collin Brown. A Short History of Indonesia. The Unlikely Nation. 2003. Allen&Unwin., p. 127. Pada tahun 1922, Perhimpunan Indonesia mempunyai peran signifikan pada pergerakan nasional dan penggunaan bahasa Melayu Indonesia, ketimbang bahasa Belanda sebagai bahasa percakapan antar aktivis. Pada tahun-tahun itu, asosiasi pelajar baik di Indonesia maupun yang belajar di negeri Belanda meramaikan kampanye nasionalisme dan politik non-kooperatif.
[26] Adrian Vickers. History of Modern Indonesia. Cambridge University Press., p. 21. VIckers menyatakan bahwa kebutuhan desentralisasi telah mendorong berdirinya pemerintah kota dan dewan kota, yang juga tonggak besarnya ada pada berdirinya Dewan Rakyat di Batavia, yang terdiri dari anggota perwakilan daerah daerah-daerah melalui pemilu maupun pengangkatan. Di luar sana, pertumbuhan kelompok komunis, tekanan gelombang demokrasi, dan tekat para golongan aristokrat untuk lancar berkomunikasi dengan pemerintah melatar belakangi proses berjalannya Dewan Rakyat.
[27] Het Nieuws van Den Haag. 17 Agustus 1939. De Kolonisatie.
[28] Dutch Colobies. Dutch East Indies. Buffalo&Eric Country Public Library Buffalo, NY.
[29] Het Nieuws van Den Haag. 17 Agustus 1939. De Kolonisatie.
[30] Merilee S. Grindle. Going Local Decentralization, Democratization, and the Promise of Good Governance. 2007. Princenton University Press., p. 13. Salah satu perkembangan dalam studi pemerintahan daerah adalah bagaimana perannya dalam mendorong masyarakat lokal termobilisasi untuk berpartisipasi dan menuntut akuntabilitasnya pegawai negeri. Kelompok-kelompok sosial semakin banyak dalam memberikan tekanan dan terlibat dalam proses pengambilan kebijakan publik.
[31] Soetandyo Wignjosoebroto. Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia 1900-1940. 2004. Bayu Media.
[32] Bryant Garth& Yves Dezalay. Lawyers and the Rule of Law in Era of Globalization. Law Development and Globalization. 2011. Taylor & Francis., p. 3-7
[33] Algemen Handelsblad. 17 Oktober 1939. Overstuur door vele schulden!
[34] Lihat., Philip Plowden&Kevin Kerrigan. 2002. Advocary and Human Rights Using the Convention in Courts and Tribunals. Cavendish-Routldge., p. 211., Lihat juga., Mary Edmunds. A Good Life Human Rights and Encounters With Modernity. 2013. Austalian National University Press., p. 10; Baca juga., Thomas Fuller. Human Rights Campaigner Continues Fight That He Began Decades Ago as a Dutchman: Just Another Skirmish for Indonesian Warrior. International Herald Tribune. March, 12, 1998.
[35] Algemen Handelsblad. 17 Oktober 1939. Overstuur door vele schulden!
[36] Loc. Cit.
[37] Loc. Cit.
[38] Demoralisasi, sebagai sebuah anasir filsafat hukum alam. Yang sering digunakan oleh Kant, Aquinas, sampai yang kotemporer, Dworkin, Raz, dst.
[39] Kata profesionalisme merupakan sebuah idiom yang sakti bagi advokat. Advokat pada dasarnya bekerja atas tiga sudut segitiga produksi, profit dan pemeliharaan kekuasaan (the maintenance of power). Saat Yamin sudah tidak mempunyai sudut profit, paling tidak ia sudah mempunyai cabang produksi pelayanan dan bantuan hukum. Menunjukan kepakaran profesinya di depan persidangan militer. Sementara, ia terus mengembangkan popularitasnya bersidang dengan liputan media yang cukup detail dan luas atas perkara itu, disamping level yang tinggi ia jalani pada acara persidangan Mahkamah Agung Militer. Ann Southworth menyebut persidangan yang penuh konsentrasi media dan produksi wacana kekuasaan sebagai the plush and prestigious of the professional elites’ position. Ann Southworth. Lawyers of the Right Professionalizing the Conservative Coalition. 2008. The University of Chicago Press., p.
[40] Adrian Evans. Assessing Lawyers’ Ethics. A Practitioner’s Guide. 2011. Cambirdge University Press., p. 11. Etika profesi yang dilanggar oleh advokat, karena ia bekerja dengan menopang ketenaran dan nama baiknya, ongkos reparasi (personal costs) dari pelanggarannya itu akan jauh lebih mahal, ketimbang bonus yang ia dapatkan dari satu atau dua kasus yang ia harus menggadaikan sikap etisnya.
[41] Milton C. Reagen. Eat What You Kill. The Wall Street Lawyer. 2004. University of Michigan Press., p. 15
[42] Yves Dezalay&Bryant Garth. Lawyers and the Rule of Law. Op. Cit., p. 5
[43] Pada 19 Agustus 1939. De Inheemsche onderwijzers. Berita ini diterbitkan dengan tulisan yang sama di De Indische Courant pada tanggal 20 Agustus 1939.
[44] Bataviaasch Nieuwsblad. 19 September 1939, De P.P.I
[45] Dalam sebuah edisi khusus majalah Tempo, yang bertajuk Muhammad Yamin 1903-1962. Menciptakan banyak mitos tentang Indonesia ia pencipta Republik yang keras kepala. Bung Hatta Menudingnya Licik. Ia dipuja dan dicela. 18-24 Agustus 2014. Pada usia 30 tahun, Yamin sudah bergabung dalam tiga Partai, yakni Partai Indonesia (Partindo), Gerakan Rakuat Indonesia (Gerindo)—meskipun beberapa media menyebutnya sebagai perkumpulan (vereneeging), Partai Indonesia Raya (Parindra), dan terakhir, ia juga mendirikan Partai yang kita perbincangkan diatas, Partai Persatuan Indonesia (P.P.I). Saking banyaknya partai yang telah singgah di jalan politik Yamin, diberilah sub judul oleh tempo di artikel yang membahas soal karir politik partai Yamin, dengan ‘Peselancar Politik yang Piawai.’ Kendatipun demikian, Yamin hanya bergabung pada partai yang berhaluan nasionalis saja.  
[46] Zondag, 24 September, zal de P.P.I. in het gebouw Harsodarsono te Buitenzorg een openbare vergadering houden. Mr. Muhammad Yamin zal in deze vergadering een spreekbeurt vervullen. Binnenkort zal de P.P.I. ook openbare vergaderingen houden in Midden-Java en te Palembang. 19 September 1939, De P.P.I
[47] Oei Tjoe Tat. Memoar Oei Tjoe Tat. Pembantu Presiden Soekarno. 1995. Hasta Mitra., p. 107. Saat Oei berjuang menawarkan konsep kesetaraan atas perlakuan kewarganegaraan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk masyarakat Tionghoa yang pada saat itu dirasa kesulitan untuk mengakses pelayanan publik, status kewarganegaraannya dipersulit, dst, Yamin sebagai seorang non partai yang mendukung mosi Oei. Ia juga mendukung pernyataan keberatan politik asli yang dilancarkan oleh Yap Thiam Hien.
[48] Bataviaasch Niewsblad. 25 Juli 1939. Partij Persatoean Indonesia.
[49] Partai politik dalam formasi pemerintahan seringkali dengan mudah bekerja-sama dengan pemerintah, meskipun ia sendiri mempunyai dinamika politiknya tersendiri. Mereka tetap bertarung dalam pemilu, seperti yang terjadi pada Belanda (1994 & 2003), Prancis (1993), Italia (1994) dan Skandinavia pada paruh tahun 1990an. Hans Keman. Party government formation and policy preferences. An encompassing approach. Dalam., Judith Bara and Albert Weale. Democratic Politics and Party Competition. 2006. Routledge., p. 33-35
[50] Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa fundamen kepartaian itu akan menggiring pada karakteristik ideologis seseorang secara konservatif, dengan kalimat satir ia menyatakatan sebagai berikut: People tend to tie themselves in knots these days tyring to explain what Conservatism is. Are we libertarian, authoritahian, vegetarian, or rotarian?., Bruce Pilbeam. Social Morality. Dalam Kevin Hickson. The political thought of the conservative party since 1945. 2005. Palgrave Macmillan.
[51] Bataviaasch Niewsblad. 25 Juli 1939. Partij Persatoean Indonesia.

Related

Fauzi Abdullah, HP Rajagukguk, Imam Soepomo dan Iskandar Tedjokusumo : Empat Aktor Politik Hukum Perburuhan

Sumber foto www.rmol.co Buruh mempunyai sejarah panjang sebagai aktor penggerak di republik Indonesia. Zaman sebelum merdeka, peran buruh sangat vital dalam membangkitkan semangat masyarakat ...

Soepomo, Pasca Proklamasi

Proklamasi. Jadi puncak perjuangan bangsa. Seokarno didampingi Hatta membacakannya di hadapan rakyat Indonesia. struktur pemerintahan-pun dibentuk. Menteri Kehakiman adalah jabatan yang harus diuru...

Soepomo, Penyusun Sistem Hukum Indonesia

sumber foto : Dokumentasi PUSTOKUM Kokohnya benteng Fasisme Jepang mulai hancur. Kekalahan atas sekutu terjadi dimana-mana. Banyak daerah yang direbut sekutu, Jepang terpukul mundur. Kekalahan Jep...

Posting Komentar

emo-but-icon
:noprob:
:smile:
:shy:
:trope:
:sneered:
:happy:
:escort:
:rapt:
:love:
:heart:
:angry:
:hate:
:sad:
:sigh:
:disappointed:
:cry:
:fear:
:surprise:
:unbelieve:
:shit:
:like:
:dislike:
:clap:
:cuff:
:fist:
:ok:
:file:
:link:
:place:
:contact:

WELCOME

NEWSHot in weekArsip

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item