https://pustokum.blogspot.com/2016/04/manuver-yamin-di-dewan-rakyat-hindia.html
Oleh Awaludin Marwan
Saat Dewan
Rakyat didirikan oleh Gubernur Jenderal van Limburg Stirum pada tahun 1917,
sebagai dewan penasehat legislatif, konon tak banyak diharapkan dari lembaga
ini. Ia acapkali disebut sebagai lembaga ‘yes men.’ Dan, bahkan sering di
plesetkan, dari Dewan Rakyat (Voklsraad)
menjadi Dewan Gula (Suikerraad), sebab keberadaannya disinyalir menyokong
kepentingan pabrik gula.
Pada tahun 1939, Yamin menyeburkan
diri dalam arus politik Batavia, sebagai kandidat Dewan Rakyat, bersama tokoh
lain, seperti: 1) Datoek Kajo, 2) Datoek Madjolelo, 3) Soetan Mahmoed Latief,
4) Mr. Soetan Haroen Al Rasjid, 5) Haji Agoes Salim, dan 6) Datoek
Toemenggoeng.
Nampaknya Yamin
tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan kursi Dewan Rakyat periode
1939-1942. Lepas dari cercaan kritis dari tokoh kiri, seperti Tjipto
Mangunkusumo, Sneevliet, Semaun, dkk, Dewan Rakyat masih terus berjalan.
Kehadiran Yamin di barisan anggota bumiputera, sebenarnya tak berpengaruh
besar. Namun perlu dilihat bagaimana Yamin mengelola irama politiknya. Sebab,
ia tak seradikal tokoh-tokoh kiri yang membuat barikade besi anti Dewan Rakyat.
Namun bukan
pula, gamang tanpa suara. Ia punya tangga nada politik tersendiri. Terkadang ia
cukup menyetujui saja rancangan perudangan tentang pertahanan Hindia yang
disodorkan.
Tapi, entah mengapa ia juga lantang menyuarakan anti-kolonialisme.
Bahkan berdiri sendiri,
memperluas makna kolonisasi, tak hanya kolonisasi Belanda pada nusantara,
tetapi juga kolonisasi Jawa terhadap pulau lain (
Javanenkolonisatie). Yamin juga masih menyempatkan melakukan
pekerjaan sambilannya sebagai advokat dengan perkara sepele, soal hutang.
Hal inilah, yang membuat
posisi Yamin di Dewan Rakyat mempunyai keunikannya.
Kadang, Dewan
Rakyat memang keberadaannya seperti orang-orangan di pematang sawah saja.
Meskipun, bentuknya menyerupai parlemen pada umumnya. Setiap parlemen hadir
melalui proses pemilu yang berbelit.
Namun keberadaan Dewan
Rakyat hanya mampu menyuguhkan rekomendasi kepada sang Gubernur Jenderal saja,
yang bahkan sering dicampakan pula.
Meskipun, sungguh, Dewan
Rakyat tetap punya dinamikanya sendiri. Suara-suara nyaring, tentang emansipasi
politik asli (
inlandsche politiek)
kadang sayup-sayup terdengar disini.
Anti-kolonial
Dalam catatan
Susan Abeyasekere, periode Dewan Rakyat tahun 1939 tersusun dari kelompok
paling radikal dibanding periode sebelumnya. Disanalah, orang seperti Thamrin
menyuarakan kata ganti bagi ‘orang Indonesia’ dan ‘Indonesia’ dari kata resmi
yang sering dipakai ‘pribumi (
inlander)
dan Hindia-Belanda (
Nederlandsch Indie).’
Soetardjo juga berseru tentang penyama-rataan tiga ‘kasta
kewarganegaraan—Eropa, Timur Asing, dan Pribumi.’ Wiwoho punya pandangan
radikal, tentang otonomi luas Hindia.
Susan tidak banyak
menulis peran Yamin dalam mosi politik perlawanannya.
Pada tanggal 1
Agustus 1939, koran Belanda Het Nieuws Den Haag mewartakan argumen Yamin
tentang hak fundamental, yang seharusnya diberikan oleh pemerintah pada setiap
individu di Hindia. Prinsip dasar (
fundamenteel
beginsel) menurut Yamin juga dimulai dari perumusan politik ekonomi yang
menghapuskan kolonialisme. Lebih lanjut Yamin menyatakan bahwa pembangunan dan
perubahan selama ini tidak menyentuh kebutuhan masyarakat Hindia. Di ruangan
Dewan Rakyat, saat Yamin bersuara demikian, ia cukup berseteru dengan wakil
Eropa Mansvelt dan bahkan wakil bumiputera Tadjoeddin Noor.
Kubu yang berseberangan
dengan Yamin, berpegang dalih ekonomi, yang ingin menjaga keseimbangan neraca.
Kata-kata
anti-kolonialisme itu pada akhirnya mendorong Yamin mengutarakan paham
nasionalisme. Ia sudah tidak lagi menyebut dirinya sebagai orang minang maupun
kawula Belanda. Ia ingin dipanggil sebagai orang Indonesia (
Indonesiёr), bukan lagi warga Hindia
Belanda (
Nederlansch-Indiёr). Apalagi
dipanggil pribumi. Sebutan pribumi sama menyakitkannya, seperti umpatan
rendahan padanya.
Seperti yang dirasakan
oleh Soekarno yang menyoal banyak rambu ‘dilarang untuk anjing dan pribumi’ (
verboden voor Honden en Inlanders).
Bahkan Soekarno sendiri mengutuk rambu itu, bahkan anjing pun ditulis lebih
dahulu ketimbang pribumi!
Yang ingin
ditekankan Yamin sebenarnya bisa dikualifikasikan dalam bentuk politik
pengakuan (
politics of recognition).
Identitas adalah harkat
martabat manusia yang perlu dihormati. Saat identitas ini dibungkam, maka
penindasan pun mengoyak alas kemanusiaan. Bahkan orang lebih suka ia dihormati,
ketimbang diberi uang kemudian diludahi. Perlakuan terhadap identitas adalah
kunci dalam tata sosial yang emansipatoris.
Semasa awal
menjabat pada tahun 1939, Yamin menyerukan politik asli (
inlandsche politiek). Ia prihatin atas eksploitasi besar-besaran
pemerintah kolonial terhadap hutan Jawa yang dibabati seenaknya. Bahkan terkesan
ada pembiaran pada pembalakan ilegal di kawasan Tengger hingga gundul. Bersama
perkumpulan Gerindo, ia menekankan akan arti pentingnya politik asli
dikumandangkan, supaya alam nusantara diperuntukan dan dikelola sebaiknya bagi
bumiputera. Hal yang senada diungkapkan oleh Amir Sjarifoedin di Batavia.
Keperpihakan terhadap
kepentingan masyarakat adat juga cukup laku dijual sebagai komoditas politik
semasa awal Dewan Rakyat.
Dewan Rakyat
sejauh itu, bukanlah sepenuhnya sistem parlemen. Sekencang apapun Yamin
bersuara, Dewan Rakyat hanyalah badan konsultatif. Gubernur Jenderal sama
sekali tidak bertanggung-jawab kepadanya. Sang Gubernur hanya mewakili
kepentingan Ratu Belanda. Meskipun kata-kata koloni telah diganti dengan
teritori seberang samudera, Hindia tetap sepenuhnya diatur oleh Pemerintah
Belanda.
Dari pembaharuan ini, banyak diantara para tokoh Indonesia kecewa, bahkan menurut Maarten Kuitenbrouwer, situasi ini
juga sebelumnya menyulut api revolusi kelompok nasional radikal Partai Komunis
Indonesia pada tahun 1926-1927. Perlawanan terhadap Gubernemen di Jawa Barat
dan Sumatera Barat, diikuti dengan eksekusi dan pemenjaraan para tokoh komunis
di kamp konsentrasi di Papua Barat.
Pada sekitar
pertengahan Agustus 1939, Pemerintah Hindia Belanda juga memperlihatkan
beberapa tindakan represifnya pada gerakan nasionalis. Tak hanya menangkapi
beberapa tokoh yang berusaha mengobarkan semangat perjuangan, pemerintah juga
mengkriminalisasi tokoh-tokoh karena tulisannya di media. Yamin dan Abdul Rashid
di Dewan Rakyat mengaum. Mereka mengutuk tindakan aparat yang menyeret
kebebasan berekspresi ke delik pers. Melalui Dewan Rakyat, Yamin menuntut
supaya mereka yang ditangkap karena tulisannya itu, dibebaskan dari pidana
kejahatan (
ontslaat van strafvervolging).
Yamin juga menuntut supaya diagendakannya revisi KUHP.
Meskipun yang terakhir
ini agak konyol. Revisi KUHP lewat legislasi sampai tahun 2016 sekalipun, masih
belumlah kelar.
Tapi sebenarnya,
pernyataan sikap Yamin jelas ingin membuat perisai bagi para penulis. Ia pun
berkepentingan besar, supaya delik pers dilenyapkan. Ia sendiri seorang
penulis. Disamping pada bulan sebelumnya, Juli 1939, ia baru saja me
launching satu buletin terbitan Gerindo.
Media yang bernama ‘Garisan Baroe’ itu diharapkan mampu mewartakan
berita-berita yang berbau kemandirian Hindia.
Yamin sendiri hadir dalam
peresmian buletin itu, sebagai perwakilan anggota Dewan Rakyat dari
Minangkabau.
Dengan kebebasan pers, diharapkan para tokoh nasional lebih leluasa menuliskan
agitasinya menentang kolonialisme. Sepertinya Yamin sadar bahwa tulisan adalah
jalan utama dalam bermanuver politik, berdialog dengan kekuasaan.
Memperluas makna kolonisasi
Akhir dari
kolonialisme Belanda pada tahun 1900-an, masyarakat sudah banyak menuntut
tentang pembangunan. Perkembangan politik etis, juga memperluas pembangunan dan
reformasi di segala bidang. Namun semuanya itu juga tergantung pada
ketersediaan dana. Pemerintah kolonial sendiri sudah kesulitan dalam hal
perawatan fasilitas yang sudah disediakan. Dengan dana 655.9 juta gulden,
pemerintah harus merawat sepanjang 2.850 km rel kereta api dan menggaji 33.700
orang pasukan militernya.
Yamin bersama
Wiwoho di Dewan Rakyat menyayangkan percepatan pembangunan oleh pemerintah
kolonial berjalan dengan lamban. Apalagi melihat keluar daerah, akses dan
sarana serba mengalami keterbatasan. Ketersediaan bahan bangunan, tempat
ibadah, dan fasilitas umum pun dikeluhkan di ruang Dewan Rakyat.
Mosi kritis Yamin ini
disuarakan melalui Dewan Rakyat, sebenarnya lagi-lagi tidak punya pengaruh
besar pada gaya pembangunan Gubernemen. Bahkan organisasi terpelejar seperti
Perhimpunan Indonesia (PI) menyatakan sikap non-kooperatif pada otoritas
Belanda, termasuk Dewan Rakyat itu.
Meskipun Adriaan Vicker
percaya bahwa keberadaan Dewan Rakyat,
toh
lumayan mandul, namun berperan aktif dalam mengawal kebijakan Gubernemen,
menjadikan Hindia sebagai daerah yang lebih baik ketimbang daerah koloni
Belanda yang lain.
Bersama dengan
Tirtokoesoemo, Yamin menghujamkan kritiknya yang meluas, tentang kolonialisme.
Baginya kolonialisme bukan hanya hubungan represif antara pemerintah Belanda
dan Hindia, melainkan juga relasi Jawa yang timpang. Ia secara gamblang
menyebutnya sebagai
de Javanenkolonisatie,
kolonisasi Jawa. Masalah populasi penduduk yang jomplang, ditambah dengan
kualitas pemukiman di luar jawa yang sungguh memprihatinkan. Percepatan pembangunan melalui slogan politik
etis, bagi Yamin hanya akan melanggengkan dan mengokohkan kolonialisme Jawa
kepada pulau luarnya. Bantuan nyata yang diberikan kepada Hindia harus
diupayakan distribusinya.
Terang saja,
ketimpangan ini akan diperkirakan terus membesar, populasi di daerah Jawa
adalah 34.984.000 jiwa, sementara total penduduk Hindia pada tahun 1924 adalah
49.351.000 jiwa. Sementara luas wilayah Jawa hanyalah 131.431 km, jika
dibandingkan dengan luas Hindia yang mencapai 1.900.142 km.
Konsentrasi di tanah Jawa
yang begitu besar membuat kecemburuan pembangunan semakin melebar.
Lebih lanjut
Yamin menyatakan akan arti pentingnya memecah populasi penduduk di Jawa, dengan
model transmigrasi, yang akan memecahkan ketertinggalan pembangunan di luar
Jawa. Memecahkan problem kemelaratan masyarakat, baik di Jawa, utamanya di laur
Jawa, Yamin mengusulkan perluasan Sistem Kredit Rayat yang mempermudahkan untuk
diakses. Sementara pemerintah juga dituntut oleh Yamin supaya menyediakan
sarana kesehatan yang layak. Terakhir, tidak begitu jelas, kenapa Yamin
menyampaikan usul pembatasan perkebunan karet di Hindia.
Barangkali supaya tanah
diperuntukkan yang lebih berguna.
Apa yang
diungkapkan Yamin, sebenarnya tidak hanya fokus pada kolonialisme saja.
Melainkan hubungan pusat-daerah, yang setelah kemerdekaan pun hingga reformasi
pun masih layak diperbincangkan. Yamin menggiring pada arti pentingnya desentralisasi.
Padahal hanya dengan desentralisasi inilah, pemerintah semakin dekat dengan
rakyatnya di daerah, modernisasi sarana publik meluas, dan tumbuh kembangnya
aktivisme masyarakat sipil.
Kendatipun Hindia pada
waktu itu telah mempunyai Wet Decentralisatie 1903, Koninklijke Besluit 1904
dan Locale Raden Ordonantie 1905, tidak berarti kewenangan lokal terbuka. Semua
keputusan dan pelaksanaannya sepenuhnya ada ditangan Gubernur Jenderal.
Di Dewan Rakyat, Yamin menyerukan
penolakannya pada kolonialisme. Baginya kolonialisme tidak hanya sebuah
kemerdekaan, melainkan juga pemerataan pembangunan melalui desentralisasi.
Membela Perkara Hutang
Menggambarkan
Yamin, ia adalah seorang politikus, seniman, sastrawan, sejarawan, advokat,
aktivis, negarawan, dst. Namun ia lebih cocok ditasbihkan sebagai advokat
politisi.
Latar belakang pendidikan hukumnya masih menyuplai posisi dan tindakan yang
seringkali diambilnya. Pada saat menjabat sebagai wakil Dewan Rakyat sekalipun,
Yamin terlibat pembelaan dengan perkara yang terbilang sepele. Namun kualitas
perkaranya cukup berbobot, lantaran ia membela anggota militer yang didakwa
pidana. Bermula dari hutang yang mangkrak, seorang harus diseret ke meja hijau,
dengan diakhiri putusan penjara 1 tahun dan 6 bulan. Yamin kalah dalam
pembelaannya itu di persidangan. Namun ia tetap hadir sebagai penasehat hukum
terdakwa.
Meskipun pada
saat itu sistem regulasi belum sepenuhnya melindungi hak terdakwa mendapat
pendampingan hukum oleh seorang advokat. Namun Yamin membela sebuah perkara
yang sebenarnya sudah dipastikan kekalahannya di persidangan. Memperlihatkan ia
memperagakan pembelaan bukan pada perbuatan terdakwa, melainkan pembelaan pada
hak-haknya saja. Seperti pada umumnya perkembangan wacana pada tradisi advokat
hak asasi manusia saat mengajukan pledoinya pada klien-klien mereka.
Argumentasi hak hukum seringkali digunakan untuk menyokong kehadirannya
mendampingi seorang terdakwa di pemeriksaan maupun persidangan.
Perkara yang
dipegang Yamin sudah pada level kasasi, yakni bertempat di Mahkamah Agung
Militer (
Het Hoog Militaire Gerechtshof)
yang dipimpin oleh Ketua Majelis, Mr. Z.M.Schoorel. Perkara ini bermula dari
seorang tamtama militer yang terlilit hutang, dan tidak punya itikad untuk melunasinya.
Kasus ini semula disidangkan di Pengadilan Tjimahi, ia juga dituduh telah
meninggalkan kamp militer dan tidak mematuhi disiplin korp.
Pengadilan sebelumnya
menjauhkan hukuman tindak pidana penggelapan, sebab terdakwa telah berjanji
akan melunasi hutangnya dengan angsuran melalui gaji yang diterimanya saban
bulan. Namun janji tinggallah janji. Hutang pun tak kunjung tercicil barang
satu sen pun.
Proses
persidangan pun dilaporkan dengan cukup detail oleh Algemen Handelsblad.
Majelis hakim menanyakan pada terdakwa perihal ke pembolosan empat hari di Batavia.
Terdakwa menjawab, ‘saya bersama beberapa perempuan.’ Koran itu menceritakan
bahwa terdakwa mengunjungi kediaman ‘perempuan jahat’, dengan seragam militer
lengkapnya. Ia harus tinggal di Ibukota untuk membeli beberapa perlengkapan
penghias, seperti jam tangan, pena, dan barang mahal yang lain. Tanpa membayar,
ia menyodorkan kontrak sewa hutang. Belum lama kemudian, jam tangan itu dijual kepada
orang pribumi seharga 15 gulden.
Lebih lanjut ceritanya
sebagai berikut :
Hakim pun akhirnya mengejar dengan bertanya, ‘apa yang anda lakukan
dengan 15 gulden itu?’. Terdakwa tanpa ragu-ragu mengakui digunakan untuk
‘plezier perempoean (bermain wanita).’ Tak hanya itu, sang tentara pun menggadaikan
sepedanya sebanyak dua puluh gulden, namun tiada kunjung dilunasi pula. Sepeda
yang statusnya belum lunas dari gadai itu dijual kepada orang Cina. Ia
mendapatkan 100 gulden darinya. Dengan uang itu, ia berharap bisa mengembalikan
seluruh hutangnya tadi. Ia pun pergi ke rumah perjudian untuk bermain dadu.
Jika ia menang, maka ia pun bisa pulang dengan hutang yang terbayar lunas,
syukur-syukur bisa membawa sisa kemenangan untuk simpanan. Nasib sial pun
didapatinya. Ia kalah dan harus gigit jari. Ia memutar otak. Tak ada sisa uang
di sakunya. Ia melirik sebuah sepeda bagus, bermerek Gazelle. Ia ambil dan
menandatangani sewa hutang. Setelah itu, ia mulai menyewakan sepeda itu. Hakim
pun bertanya, berapa banyak yang ia peroleh dari menyewakan sepeda per-bulan.
Sang terdakwa menjawab ‘f 8.63.’ Hakim pun menerima bukti, bahwa terdakwa juga
menghabiskan uang f 10 setiap bulan untuk wanita. Hakim bertanya ‘kenapa anda
tidak membeli lebih banyak sepeda, untuk disewakan supaya menutup pengeluaran
anda.’ Terdakwa hanya menjawab ‘tidak ada pikiran’. Ketua ragu, meyakinkan
dengan bertanya sekali lagi, ‘mungkinkah anda tidak mempunyai pikiran.’
Terdakwa menjawab lirih, ‘Betoel toean.’
Di ruang sidang,
Yamin seorang anggota Dewan Rakyat itu mengajukan pembelaannya. Ia menyatakan
bahwa terdakwa telah mengakui perbuatannya dan menyesal atasnya. Yang bersangkutan juga sudah menerima
mendapatkan denda dan hukum penjara yang separonya sudah ia jalani. Yamin hanya
menyampaikan supaya orang tersebut tidak dipecat dari dinasnya. Paling tidak,
sebagai wujud dari penghargaan padanya yang telah mengabdi di dinas militer
selama 18 tahun. Sementara itu, oditur jaksa militer yang diwakili oleh Mr. Van
Santwijk menyatakan keberatannya, seharusnya hukuman yang bersangkutan dilipat
gandakan dari pengadilan Tjimahi. Seorang tentara penggila perempuan dan
permainan dadu jelas sangat mencoreng nama baik institusi militer. Yamin juga
tidak membenarkan perilaku menyimpang kliennya. Ia menyebutnya sebagai
‘demoralisasi (
demoralisatie).’
Menghadapi
perkara yang tidak ‘seksi’ ini sebenarnya mempertaruhkan nama Yamin sendiri,
yang mungkin tidak populer sebagai selebritas Dewan Rakyat. Membela perkara
yang nyata terpidana yang suka bermain wanita dan dadu. Dari perkara, yang
terpidananya sendiri tidak kuat membayar hutangnya, sebenarnya membuktikan
bahwa kasus ini bukanlah lahan basah. Namun kesetiaan pada profesinya
mungkin adalah sebuah
jawaban atas keanehan ini. Kewajiban etis
bagi advokat untuk
mendampingi kliennya di sebuah persidangan yang paling sulit sekalipun.
Terlihat pledoi Yamin, bukanlah pembelaan subtansial pada pokok perkara (hutang
atau penggelapan). Ia bahkan mengakuinya sebagai tindakan demoralisasi. Ia
hanya mengutarakan elemen-elemen yang meringankan pidana kliennya itu. Dengan
kata lain, ia mengakui bahwa kliennya benar-benar bersalah. Ia pun tidak
berusaha mengada-ada supaya kliennya dibebaskan dari perbuatan tercelanya itu
sepenuhnya.
Advokat abad
ke-21 bahkan di bilangan Wall Street, bersemboyan ‘makan apa yang telah kamu
bunuh.’
Saking rakusnya para
advokat dalam mematok harga profesinya dan menghisap darah kliennya. Namun
Yamin seperti pada umumnya politisi advokat, yang berpraktek dengan memupuk
komoditas politiknya. Investasi profesi, citra, sosial dan kekuasaan.
Memperjuangkan Nasib Guru Bantu
Tidak banyak
yang bisa diceritakan pada topik ini. Namun kegiatan Yamin yang mengajukan mosi
dalam bentuk rancangan peraturan perundang-undangan, yang bermaksud memperbaiki
nasib guru bantu patut dicatat. Soerabayablad melaporkan sebagai berikut :
Bapak Muhammad Yamin, Abdul Rashid dan Kandar Dinata akhirnya memilki
mosi di mana pemerintah harus mengundangkan tenaga kerja untuk tujuan
memperbaiki nasib guru pribumi dan orang-orang guru bantu. Karena setelah itu
ditempatkanlah brosur dari perhimpoenan Goeroe Bantoe yang mengakhiri petisinya
pada tahun 1939.
Yamin tidak
sendirian. Selain bersama dua anggota Dewan Rakyat yang lain, dibelakangnya
juga berdiri Perhimpunan Guru Bantu, yang berharap pada perbaikan nasibnya di
Hindia. Tidak diketahui apa hasil dari mosi itu. Namun rancangan perbaikan
nasib guru bantu dan dunia pendidikan pada umumnya, mempunyai topik strategis
tersendiri di masa akhir kolonial.
Partai Persatuan Indonesia
Sebuah iklan
dilayangkan disebuah surat kabar, bahwa akan diselenggarakan sebuah pertemuan
Partai Persatuan Indoensia. Muhammad Yamin dijadwalkan akan memberikan ceramah
pada pertemuan kali itu. Sebuah pertemuan akan diselenggarakan di Gedung
Harsodarsono di Bogor, yang pada saat itu namanya masih Buitenzorg.
Selama awal Yamin
menjabat sebagai anggota Dewan Rakyat, ia dikenal seringkali berganti-ganti
partai politik.
Dan, Partai Pesatuan Indonesia juga memakan perhatian Yamin cukup besar. Ia
digadang sebagai pimpinannya. Ia juga yang berkeinginan melebarkan sayap
partainya khususnya di daerah Jawa dan Palembang.
Minggu, 24 September P.P.I di Gedung Harsodarsono di Bogor sebuah
pertemuan besar terbuka. Mr Muhammad Yamin dagendakan menghadiri pertemuan itu
dan memberikan ceramah. Pada waktu itu, P.P.I juga menyelenggarakan pertemuan
terbuka di Jawa Tengah dan Palembang.
Yamin sebagai
politisi Dewan Rakyat, harus mempunyai kantong-kantong massa, supaya mendulang
posisinya. Ia sudah mempunyai dukungan besar dari perhimpunan guru bantu,
seperti yang diceritakan di atas. Partai Persatuan Indonesia (PPI) memang pada
akhirnya tidak pernah menjadi partai besar, seperti halnya Partai Nasional
Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), maupun Masyumi, dst. Namun ia
telah memperlihatkan agitasi politik massanya melalui perluasan organisasi
partai, tidak sekup Batavia saja, tetapi juga Jawa Tengah dan Palembang.
Meskipun Yamin
dikenal pula sebagai peselancar politik, namun ia pernah juga pernah
dikategorikan sebagai tokoh non partai saat duduk di Dewan Konstituante. Ia
juga dikenal mendukung konsep hukum kewarganegaraan yang anti-diskriminasi
terhadap etnis minoritas di Indonesia.
Namun pada saat duduk di
Dewan Rakyat, ia mempunyai manuver yang cukup dinamis. Termasuk mendirikan PPI
ini.
PPI didirikan
untuk bertujuan mengangkat harkat martabat bangsa Indonesia. Dan, ia cukup
ekslusif hanya orang Indonesia saja yang berkarakter nasionalis. Diwartakan
oleh Bataviaasch Nieuwsblad, bahwa tujuan didirikan partai itu semata-mata
mengangkat harkat martabat dan kesejahteraan masyarakat bumiputera. PPI
berorientasi pada kemakmuran sosial berdasarkan tatanan konstitusi Hindia dan
konsep demokrasi yang ideal. Cukup muluk dan utopis memang rumusan Partai ini. Dalam
pemberitaan itu pun tidak disebutkan program kongkrit. Bataviaasch Nieuwsblad
menyebutkan dasar organisasi ini adalah ‘demokrasi sosial (
maatschappelijke democratie) dan nasionalisme sosial (
maatschappelijke nationalisme).’ Yang
jelas, bahwa Partai ini akan direncanakan ikut pemilu dan bekerja sama dengan
pemerintah. Arah politik partai ini kooperatif,
berbanding haluan
terbalik dengan arus politik yang dijalani Yamin sewaktu masih muda.
Partai politik
dalam formasi kekuasaan pemerintah biasanya mempunyai program-program khusus
dalam mengelola pola kebijakan ke depan. Berbeda dengan partai oposisi yang
karakteristiknya cenderung mempunyai program penguatan internal dan fokus pada
pemilu, ia tak punya sarana mengakses kontribusinya di pengambilan kebijakan.
PPI sudah memasang
kuda-kuda untuk bersikap kooperatif pada pemerintahan. Dasar organisasi partai
yang nasionalis kooperatif dipilih oleh Yamin. Corak nasionalis yang tidak
ditinggalkan oleh Yamin, barangkali semacam moralitas politik, setelah ia
menempuh jalan kooperatif. Sehingga ia tak kehilangan sepenuhnya orientasi
kemandirian nusantara. Bruce Pilbeam menyatakan secara teori, moralitas
personal dalam sebuah organisasi partai akan berimplikasi pada moralitas
sosial. Dengan demikian, tolok ukur keberhasilan sebuah partai, jika ia
mempunyai kader yang menjaga dasar fundamen ideologis partainya.
Dalam sebuah
rapat umum yang digelar oleh elite PPI, tak tanggung-tanggung, Yamin terpilih
sebagai Ketua Umum. Ia juga mendeklarasikan diri sebagai wakil dari Dewan
Rakyat di Partai tersebut, begitu sebaliknya. Ia ingin tampil sebagai
perwakilan partai baru itu, di jajaran barisan anggota Dewan Rakyat. Sebuah
rapat besar akan digelar pada Desember 1939, bisa jadi sebuah unjuk kekuatan
massa. Rapat itu akan direncakanan bersama peresmian sebuah buletin baru
Partai, bernama ‘Rintisan Rakjat.’
Yamin sepertinya tahu
betul urgensi media dalam melancarkan serangan maupun menangkis hujatan. Ia
tahu persis bagaimana menggunakan media.
Zondag, 24 September, zal de P.P.I. in het
gebouw Harsodarsono te Buitenzorg een openbare vergadering houden. Mr. Muhammad
Yamin zal in deze vergadering een spreekbeurt vervullen. Binnenkort zal de
P.P.I. ook openbare vergaderingen houden in Midden-Java en te Palembang. 19
September 1939, De P.P.I