Muhammad Yamin, nama seorang yang tak asing bagi
sebagian besar bangsa Indonesia. Nama pahlawan Nasional tersebut telah
diperkenalkan sejak dini pada ukelas-kelas sekolah dasar dimana Yamin dikenal
sebagai perumus dasar negara. Terlepas dari gelar akademiknya yaitu Meester in de Rechten (Sarjana Hukum),
Yamin adalah seorang yang sangat suka dengan filsafat,sejarah dan sastra.
Terbukti bahwa yamin adalah guru sejarah di Universitas Padjadjaran Bandung,
bahkan Yamin masuk dalam Rechtshoogeschool te Batavia (cikal bakal Fakultas Hukum UI) adalah
karena kesukaannya di sekolah tinggi hukum tersebut terdapat pelajaran
filsafat.
Kecintaan Yamin terhadap sastra sudah terlihat sejak
kecil, dimana untuk memuaskan dahaganya terhadap ilmu, Yamin rajin membaca. Tak
hanya teks dalam buku, bahkan Yamin juga melahap koran bekas pembungkus
makanan. Hal tersebut membuatnya menguasai kaidah bahasa, bahkan putra Talawi,
Sawahlunto, Sumatera Barat ini tak mengherankan apabila penguasaan bahasa
Melayunya diatas rata-rata kebanyakan orang. Sering ia membantu Yaman (kakaknya
yang berprofesi sebagai guru) dalam memeriksa pekerjaan rumah pelajaran bahasa
yanng dibawa pulang kerumah.
Dimasa kecilnya Yamin sering berpindah-pindah tempat
tinggal, dikarenakan orang tuanya Oesman Bagindo Chatib dikenal sebagai sosok
yang kerap kawin cerai, kenyataan itulah yang harus diterima Yamin kecil sehingga
ia memutuskan untuk hidup bersama kakaknya yaitu Muhammad Yaman (satu ayah lain
ibu) yang dimana profesinya sebagai guru sering berpindah tugas adalah konsekuensinya.
Yamin memulai pendidikannya di Sekolah Dasar
Bumiputera Angka II dengan menggunakan Bahasa Melayu sebagai pengantarnya,
selain itu terdapat juga Sekolah Dasar Bumiputera Angka I yang selanjutnya (ada
yang menyebut tahun 1911, namun ada pula yang menyebutkan tahun 1914) diubah
menjadi Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dimana Bahasa Belanda sebagai
pengantarnya. HIS tersebut biasanya untuk sekolah mereka yang berpenghasilan
tinggi dan pegawai kelas menengah dan tempatnya hanya ada di Kota/pusat
Kabupaten. Ayah Yamin yang seorang pegawai mantri kopi (kedudukan yang cukup
terhormat kala itu) membuat Yamin tak kesulitan untuk berpindah dari Sekolah
Dasar Bumiputera Angka II ke HIS, pindah sekolah tersebut setelah Yamin
mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar Bumiputera Angka II selama 5 tahun.
Di sekolah tersebut diajarkan menulis, membaca dan
aritmatika (matematika). Disitu juga belajar lagu-lagu daerah Minang yang
kebanyakan berisi tentang kecintaan terhadap kampung halaman, dan hal tersebut
mempengaruhi Yamin dalam karya-karya sastranya, dan sajak-sajak Yamin yang
pertama adalah tentang rasa cintanya terhadap bumi Andalas (Sumatera). Yamin
mengeyam pendidikan dasar lebih lama dari yang lain yaitu 8-9 tahun, waktu itu
umumnya waktu yang dibutuhkan adalah 7 tahun. Namun hal tersebut menjadi
keuntungan tersendiri buat Yamin, sehingga ia lebih menguasai bahasa melayu dan
Belanda.
Kehausan Yamin dalam membaca membuatnya memuntahkan
dalam tulisan sejak masih muda ketika masih di Sumatra, namun baru dipublikasikan
saat di Jawa. Tahun 1920 puisinya yang berjudul “Tanah Airku” dimuat dalam
majalah milik Jong Sumatranenbond,
tulisan Yamin yang berbahasa Melayu menjadi pelopor dalam majalah tersebut,
padahal sebelumnya selalu menggunakan bahasa Belanda. Gebrakan ini diikuti oleh
Sanusi Pane, Muhammad Hatta, dll. Tulisan Yamin berkembang tak sebatas puisi ,
ia juga menulis soneta (Indonesia, tumpah darahku, 1929), naskah drama (Ken
Arok dan Ken Dedes, 1934), dan juga genre novel seperti Gadjah Mada (1948) dan
tata Negara majapahit-Sapta Parwa (1962). Sama dengan membaca, Yamin juga
begitu semangat dalam menulis, terkadang sampai berhari-hari tanpa henti hanya
diselingi mandi dan makan.
Di masa remaja Yamin menginjakkan kakinya di Solo
pada tahun 1925, dimana pada waktu itu Solo menjadi jantung dari pulau Jawa. Di
Solo Yamin mengenyam pendidikan di Algemene Middelbare School (AMS) pada tahun
1926 dan lulus 1927. AMS Solo adalah sekolah yang setara dengan Sekolah
Menengah Atas (SMA) yang mempelajari tentang sastra timur. Disini Yamin bersama
para pelajar yang berasal dari berbagai daerah (Aceh, Batak, Ambon, Padang,
Jawa, serta kelompok Tionghoa dan Belanda), dari interaksi dengan sesama
pelajar membuatnya mengerti akan bahasa dari berbagai daerah tersebut.
Di AMS ini juga Yamin belajar menguasai bahasa
Jerman, Perancis dan Belanda, hingga pada suatu ketika Yamin berbicara dengan
ayah kandung dari anak angkatnya dengan bahsa Belanda secara fasih, pernah juga
anak angkatnya ikut bersama Yamin ke Jerman dan Yamin berpidato dengan bahasa
Jerman. Tak hanya sampai disitu Yamin pun belajar bahasa sanskerta pada
Purbatjaraka, dann di Solo ini Yamin merasakan betul rumitnya bahasa jawa
dengan tingkatan-tingkatannya, berbeda dengan bahasa melayu. Hal inilah yang
menjadi pijakan Yamin untuk mengusulkan bahasa melayu menjadi bahasa persatuan
Indonesia pada kongres pemuda tahun 1928, karena diseluruh pelosok Indonesia
mengerti akan bahasa melayu walaupun dengan logatnya sendiri di masing-masing
daerah.
Sama seperti masa pendidikan dasar dulu, ternyata
Yamin di AMS baru lulus ketika menginjak umur 24 tahun, padahal secara normal
seseorang menamatkan pendidikan menengah atas pada usia 19-21 tahun. Namun kembali
bukan waktu yang lama menjadi masalah, namun dengan lamanya masa studi itu
dikarenakan Yamin juga sempat berpindah ke AMS Yogyakarta dimana dia juga
bertemu dengan pelajaran yang ia minati, seperti bahasa, budaya dan sejarah,
hal ini merupakan keuntungan tersendiri bagi Yamin karena dapat lebih menguasai
pelajaran terutama dengan yang ia minati. Kecintaan Yamin terhadap sastra waktu
masih sekolah di AMS disalurkan dengan ia bekerja sebagai penulis dan wartawan.
Setamat AMS Yamin berkuliah hukum di Rechtshoogeschool te Batavia, seperti disebutkan diatas bahwa Yamin
memutuskan kuliah di bidang hukum karena ada mata kuliah filsafat yang ia
gemari. Selepas kuliah dengan menyandang gelar Meester in de Rechten Yamin menjadi
pengajar di sekolah jurnalistik.
Bisa dibilang Yamin adalah nahkoda terakhir Jong Sumatranenbond, dikarenakan setelah
kongres pemuda II Jong Sumatranenbond berubah
nama menjadi pemuda sumatra dan akhirnya melebur menjadi Indonesia Muda bersama
Jong Java, Jong Minahasa, Jong Islamieten
Bond, Jong Batak Bond, Jing Celebes dan Sekar Roekoen. Dari sini dimulai
persatuan Indonesia dengan meninggalkan sekat-sekat kedaerahan.
Usulan Yamin mengenai bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan termuat dalam konsep sumpah pemuda dimana redaksinya adalah “kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa melayu”, namun hal
tersebut menuai kontroversi dan tentangan dari beberapa pihak. Namun tanpa
alasan Yamin mengusulkan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan, terlepas dari
sejarah dia bersekolah dasar di sumatra dengan bahasa pengantar melayu ternyata
pendidikan di jawa walaupun bahasa pengantarnya dengan bahasa Belanda dan bahasa
daerah, namun bahasa Melayu tetap terdapat sebagai pelajaran tambahan, jadi
pastilah beberapa daerah mengerti tentang bahasa melayu. Yamin tetap mengotot
akan adanya bahasa persatuan, namun gelombang pertentangan juga semakin besar
dengan berbagai argumentasi tidak perlunya bahasa persatuan, diantaranya terdapat
beberapa negara yang tak memakai bahasa persatuan, bahkan dalam 1 negara
rakyatnya menggunakan 3 bahasa, contoh lain semisal Amerika & Australia
sama-sama menggunakan bahasa Inggris, namun kedua negara tersebut tidak bersatu
dalam negara Inggris. Dalam kongres pemuda II Yamin menyanggah argumen-argumen
tersebut, Indonesia ini terdapat berbagai macam suku bangsa dimana terdapat
bahasa tersendiri di setiap daerah, jadi tidak mungkin semua bahasa itu
digunakan dan dimengerti oleh daerah lain, jadi diperlukan bahasa persatuan.
Simbol persatuan Indonesia Yamin juga ditunjukkan
dengan penggambaran sosok pemersatu nusantara jaman dahulu yaitu mahapatih
Majapahit, Gadjah Mada. Penggambaran sosok Gadjah Mada oleh Yamin berdasar pada
sebuah guci/celengan yang ditemukan Yamin dengan wajah seorang pria yang ia
yakini sebagai sosok Gadjah Mada. Namun penggambaran ini mendapat tentangan
dari para arkeolog yang menyangsikan sosok Gadjah Mada tersebut, namun Yamin
berpendapat apabila mereka menentang paling tidak mereka dapat menggambarkan
sosok Gadjah Mada yang sebenarnya menurut imu arkeologi.
David Bayu Narendra
Peneliti PUSTOKUM