LBH, Sang Penjaga Marwah "Perjuangan"

Oleh : Muhtar Said[1]
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada awal berdirinya tahun 1971,[2] sudah menjadi motor perjuangan HAM, demokrasi, dan negara hukum. Sebuah institusi yang gigih mempertahankan hak rakyat pada kasus perburuhan, penggusuran, hak tahanan politik, pelanggaran HAM, lingkungan, dst.[3] Kelahiran LBH tak bisa dilepaskan dari semangat para tokoh Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN), sebuah lembaga asosiasi profesi hukum yang pada tahun 1966 telah menjalankan program ‘pengabdi hukum.’ Antara lain Besar Mertokusumo, Lukman Wiriadinata, dan Suardi S Tasrif yang getol mengkawal LBH pada masa pendiriannya.
Dari awal masa pendiriannya LBH terus menerus mendapat permintaan bantuan hukum yang tak sedikit. Mulai dari kasus Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Kasus Simpruk, hingga Malari[4] tak lepas dari peran serta tokoh-tokoh Peradin itu. Lukman Wiriadinata Ketua Peradin waktu itu, dengan Suardi S Tasrif sekretaris Jenderal-nya, bersama Besar Mertokusumo, Yap Thiam Hien,[5] dan advokat senior Peradin, siap pasang badan. 
Daniel S Lev mencatat bahwa, dalam retorika diskursus politik Indonesia, LBH adalah lembaga yang relatif kecil, namun mampu melayani ribuan klien. Sebagai pengimbang kekuasaan yang efektif ditengah kebobrokan sistem hukum, ketidak-adilan dan ketidak-merataan ekonomi.[6] Para pendiri dan tokoh Peradin inilah yang juga meletakan dasar fundamen perjuangan ide HAM, demokrasi, dan negara hukum.[7] Besar Mertokusumo, Suardi S Tasrif, dan Lukman Wiradinata layak dilirik kiprahnya dalam sejarah gerakan LBH di Indonesia.
Para Pendiri
Besar Mertokusumo (8 Juli 1894-1980) adalah advokat pertama di Indonesia. Setelah menamatkan sekolah di Leiden, ia mendirikan firma hukum di Tegal Jawa Tengah pada tahun 1923. Advokat yang mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi. Ia tidak segan mengatakan ketidaksenangannya dengan prosedur hukum yang diterapkan oleh kolonial terhadap warga pribumi.

Saat beracara di Pekalongan Jawa Tengah, wajahnya sangat murka ketika melihat warga pribumi yang menjadi terdakwa, harus merunduk ketika memasuki ruang pengadilan, dan harus duduk di lantai saat sidang berjalan. Hatinya tambah sedih ketika proses sidang harus menggunakan bahasa Belanda. Rakyat pribumi yang menjadi terdakwa pun tidak bisa memahaminya.[8] Ada ketidakadilan, di dalam lembaga tempat orang-orang mencari keadilan, karena warga pribumi merasa diasingkan. Bahkan seolah-olah mereka sudah dipastikan bersalah. Walaupun belum ada putusan dari pengadilan. Besar tidak suka dengan model seperti itu.

Keberaniannya dalam mendobrak penguasa tiran, banyak menjadi inspirasi bagi para yuniornya. Wirjono, ketua Mahkamah Agung pada waktu itu, sangat menghormati Besar Mertokusumo. Bahkan nasehatnya sering dilaksanakan oleh Wirjono. Saat tubuh Mahkamah Agung ada gejolak, karena oleh masyarakat tidak bisa independen. Ia dituntut mundur oleh demonstrasi massa. Bahkan mahasiswa pernah melancarkan aksi di rumahnya, namun Wirjono tidak bergeming. Namun setelah ketemu dengan Besar, hati Wirjono luluh dan bersedia mengundurkan diri.

“It was an ugly, the former secretary general of the Department of Justice and a highly respected, sincere man. Besar told Wirjono to resign, informing him frankly that he had weakened the Court, committed many errors, and failed to resist the incursions of Sukarno. Wirjono returned home, and resigned the next day”.[9]

Mencatat perjalanan hidup advokat pertama di Indonesia ini dan perannya di LBH sangatlah penting. Disamping sebagai advokat, Besar merupakan sosok yang dinamis dan kharismatik, saat menjabat sebagai penjabat kepala daerah —Walikota (Shi-co) di Tegal pada tahun 1943 dan Wakil Residen Pekalongan (Fuku Syuu-cokan) pada tahun 1945. Sebagai birokrat Sekjen Departemen Kehakiman dan perannya dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) perlu dicatat.

Selain Besar, tokoh lain yang cukup berpengaruh dalam pendirian LBH adalah Suardi S Tasrif (3 Januari 1922-24 April 1991). Suardi S Tasrif sebelum berkecimpung dalam dunia advokat, dirinya adalah seorang jurnalis. Suara Indonesia adalah Koran yang pernah ia dirikan. Harian Abadi yang berasosiasi dengan Masyumi pun ia berperan besar disana. Berlatar pendidikan hukum, membuat dirinya tergerak hatinya untuk membuat kode etik pers, yakni pada tahun 1954. Maka tidak heran jika dirinya didapuk sebagai bapak kode etik jurnalistik.[10] Setelah itu ia disebut sebagai bapak kode etik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).[11]

Tahun 1965 bersama Umar Ismail, Tasrif memimpin Harian Berita Indonesia. Pemberitaannnya yang memuat kritik pedas terhadap penguasa, membuat harian tersebut dibredel. Suardi S Tasrif pun masih terus menulis sambil menjalankan profesinya sebagai advokat.

Pernah bersama dengan Iskaq Tjokrohadisurjo, aktif menjalankan profesi advokat.  Perannya yang paling besar, di Peradin menurut Daniel S Lev adalah sebagai pendiri sekaligus editor majalah kenamaan ‘Hukum dan Keadilan’ Peradin. Sebuah jurnal babon yang menjadi sumber rujukan para intelektual hukum zamannya.[12]

Peristiwa malari adalah gerakan mahasiswa yang menentang kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh mahasiswa pada tahun 1974.[13] Peristiwa itu melahirkan banyak korban, dan mahasiswa dikambing hitamkan. Tidak rela gerakan-gerakan ideologi mahasiswa dihina, Tasrif berdiri didepan, menjadi pembela mahasiswa-mahasiswa yang dikambing hitamkan oleh Orde Baru. Advokat lulusan University of Colombia Amerika ini memang dikenal santun dan halus, namun pembelaannya pada aktivis Malari sangat subtansial dan bernyawa.

Perlawananan Tasrif kepada orde baru tidak hanya sebagai pembela Mahasiswa saja. Ia juga menyebarkan propaganda-propaganda melalui media yang ia asuh, Koran Indonesia raya. Bersamaan dengan peristiwa tersebut, Koran Indonesia Raya tempat ia mengasuh rubrik hukum dan press juga dibredel oleh orde baru.

Selain aktif dalam dunia advokat dan pers, Suardi S Tasrif dikenal sebagai sosok cendekia yang punya bacaan cukup luas. Pada tahun 1960-an ia menerjemahkan buku berjudul ‘Revolusi Amerika.’ Ia juga menulis topik yang cukup berat, meski hanyut di dunia praktek hukum. Karyanya ‘Menegakan Rule of Law di Bawah Orde Baru’ dan ‘Hukum Internasional tentang Pengakuan Dalam Teori dan Praktek’ diterbitkan pada tahun 1971-an.[14]

Terakhir, Mr. Lukman Wiriadinata, menjabat Menteri kehakiman saat kabinet Wilopo.[15] Lukman, seorang advokat yang juga mengawal Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. dia adalah salah satu pengacara Soekarno, tidak dibayar. Karena memang tujuan perjuangannya adalah kemerdekaan Indonesia.

Nasionalisme-nya tak pernah surut sampai ia menjabat sebagai Ketua Umum Peradin. Ketua Umum dalam suatu organisasi profesi advokat, bukanlah orang yang sembarangan. Ia harus mempunyai kredibilitas dan mampu menjaga amanah anggota. Apalagi organissasi Advokat, yang mudah tersulut api, sehingga potensi konfliknya sangat tinggi. Namun, Lukman mampu menjaga amanah yang diberikan oleh teman-temannya.

Garis lurus perjuangan organisasi ia tegakan, melindungi rakyat dari penindasan dan mengawal Hak Asasi Manusia merupakan jalan yang ditempuhnya. Gesekan-gesekan dengan penguasa sering terjadi, karena pekerjaannya sering bertabrakan dengan kebijakan penguasa yang acap kali mengesampingkan hak-hak masyarakat sipil.

Catatan Daniel S Lev menyatakan bahwa dukungan besar Lukman begitu besar dalam proses pendirian LBH.[16] Tentunya, advokat-advokat senior seperti Besar Mertokusumo, juga ikut merestui yunior-yuniornya ketika mau membuat LBH.  Karena didasari atas persamaan ideologi.  Peran penting Lukman Wiradinata dalam pembentukan LBH Jakarta, dicatat oleh Daniel S. Lev sebagai berikut :

But with strong support form such senior advocates as Lukman Wiriadinata, then chairman of PERADIN, Suardi Tasrif, his successor, and Yap Thiam Hien, among others, the association agreed to sponsor the LBH. Naution was appointed its first director, responsibli to PERADIN but otherwise on his own in finding funds and organizing the institute.[17]

LBH Jakarta merupakan fondasi awal berdirinya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang nantinya memayungi LBH-LBH daerah lainnya. LBH merupakan organisasi ideologis, diciptakan untuk memberikan bantuan hukum, mengawal dan membela hak-hak masyarakat yang tertindas.





[1] Peneliti Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum
[2] Keputusan Dewan Pengurus Pusat Peradin No. 001/ Kep/ DPP/ X/ 1970 tertanggal 26 Oktober 1970 LBH Jakarta dibentuk dengan Direktur Adnan Buyung Nasution. Selain itu, LBH juga mendapatkan payung hukum dari Pemerintah DKI Jakarta. Berupa SK Gubernur DKI Jakarta No. Ib.3/31/70 tentang Pengukuhan Pembentukan Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Pembela Umum (Legal Aid/Public Defender) Dalam Wilayah DKI Jakarta, tertanggal 14 Nopember 1970.
[3] Todung Mulya Lubis. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. 1986. LP3ES., p. 28-29. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) adalah kawah candradimuka, tempat para pejuang HAM dan tempat para pembela rakyat dari penindasan, baik penindasan yang dilakukan oleh penguasa maupun pemodal yang lalim. Di LBH, orang akan ditempa dengan serius, diuji ketahanan tubuhnya dan digodok keilmuanya, maka tidak heran jika alumni LBH adalah orang-orang besar, orang yang mempunyai pengaruh kuat terhadap perjalanan Republik Indonesia.
[4] Tak mudah memang menjadi lembaga yang kontra pelanggaran HAM. Populisme LBH yang mendapatkan tempat dihati rakyat langsung mendapatkan saingannya dengan pendirian Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum (LPPH) bahkan sebagai Direkturnya diangkatlah Albert Hasibuan yang juga adalah mantan Ketua LBH Jakarta. Adnan buyung Nasution. Demokrasi Konstitusional. 2011. Kompas., p. 76
[5] Dalam penelitian ini, akan disebutkan Yap Thiam Hien beberapa bagian. Sebenarnya ia perlu ditulis bersama tokoh-tokoh yang lain. Akan tetapi data dan analisis yang paling komplit telah disajikan oleh Daniel S Lev dalam bukunya, No Concessions. The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer. 2011. University of Washington Press.,
[6] Daniel S Lev. Judicial Institutions and Strunggle for Indonesian Rechtsstaat, in the Law and Society Review, No. 37 (Winter 1978-1979), Dalam tulisannya, Dan (panggilan Daniel S Lev) banyak merujuk pada buku-buku Adnan Buyung Nasution. Bantuan Hukum di Indonesia, 1981. LP3ES, Todung Mulya Lubis. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. 1986. LP3ES. Abdurrahman S. H., Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, 1983. Cendana Press.
[7] Denny J.A, Membaca Isu Politik, LKIS, Yogyakarta, 2006, hlm 68, selain menampilkan perjuangan LBH dalam membela rakyat, buku ini juga memberikan kritikan pedas terhadap kiprah LBH  saat ini, Denny menganggap LBH sekarang mulai dilanda situasi yang bertentangan dengan citra LBH itu sendiri: Birokrasi dan Ketertutupan. Dan Sebagian lagi lebih tertarik pada gossip individual seputar elit yang tengah mengendalikan LBH.
[8] Baca Hukum Online edisi khusus 22 September 2009, tulisan diatas adalah penekanan dari penulis.
[9] Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court : A Study of Institutional Collapse, Cronell Southeast Asia Program Publications, 2005 p 82
[10] Sesungguhnya Kode Etik Jurnalistik PWI, pertama kali dirumuskan pada konferensi PWI di Malang pada bulan Februari, tahun 1947, namun kode etik tersebut dianggap belum sempurna dan kemudian dirumuskan kembali dibawah pimpinan komisi yang diketuai oleh Suardi tasrif. Baca Hani Muwarisal Haq, Analisis Dakwah terhadap Ketaatan Wartawan Persatuan Waratawan Indonesia (PWI) Cabang Jawa Tengah pada Kode Etik Jurnalistik, IAIN, 2011, hlm 01
[11] Suardi S Tasrif adalah tokoh dari PWI, namun ia juga mengkritik PWI sendiri karena terlalu dekat dengan pemerintah orde baru, jadi independen sebagai wartawan dipertanyakannya.
[12] Daniel S Lev menulisnya sebagai pemimpin editor beberapa media, seperti Abadi, yang berasosiasi dengan Masyumi. Suardi S Tasrif juga salah satu pendiri Peradin. Menjalankan profesi advokat di kantor Iskaq Tjokrohadisurjo. Dan editor majalah ‘Hukum dan Keadilan’ Peradin. Dan S Lev. No Concessions. The Life of Yap Thiam Hien., Op. Cit. halaman daftar nama kolega Yap
[13] Muridan S. Widjojo dan Mashudi Noorsalim dkk, dalam Bahasa Negara Versus Bahasa gerakan Mahasiswa, Lipi Press, Jakarta, 2004 hlm 61
[14] Todung Mulya Lubis. In Memoriuam S. Tarsif Pejuang Hukum yang Kesepian. Kompas, 27 April 1991.
[15] Herbert Feith, The Wilopo Cabinet, 1952-1953 : A Turning Poin In Post Revolutionary Indonesia, Equinox Publishing, 2009. p 94
[16] Frans Hendra Winata, Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009 hlm 49
[17] Daniel S. Lev, Legal Evolution and Political Authority in Indonesia, Kluwer Law International, 2000, P 290

Related

Persamaan Ketatanegaraan Majapahit dengan Republik Unitaris Milik Muhammad Yamin ( Sebuah Cerita tentang Gadjah Mada)

Sumber gambar : www.portalsejarah.com Gadjah Mada Sosok misterius, mungkin begitulah penyematan yang tepat bagi kehidupan Gajah Mada sebelum terkenal sebagai patih Kerajaan Majapahit. Terdap...

Loyal Pada Proklamasi, Yamin "Diburu".

Oleh : Awaludin Marwan sumber gambar Wikipedia,org Kumandang proklamasi 17 Agustus 1945 adalah gunungan es yang pecah dari keinginan besar bangsa Indonesia, yang melahirkan gumpalan teks pera...

Bentuk Perusahaan Ekonomi Sosialis

Rencana pembangunan semesta telah ditetapkan oleh ketetapan MPRS sehingga secara otomatis menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta MPRS memberi kuasa penuh terhadap Presiden untuk melak...

Posting Komentar

emo-but-icon
:noprob:
:smile:
:shy:
:trope:
:sneered:
:happy:
:escort:
:rapt:
:love:
:heart:
:angry:
:hate:
:sad:
:sigh:
:disappointed:
:cry:
:fear:
:surprise:
:unbelieve:
:shit:
:like:
:dislike:
:clap:
:cuff:
:fist:
:ok:
:file:
:link:
:place:
:contact:

WELCOME

NEWSHot in weekArsip

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Hot in week

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item