LBH, Sang Penjaga Marwah "Perjuangan"
https://pustokum.blogspot.com/2016/01/lbh-sang-penjaga-marwah-perjuangan.html
Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) pada awal berdirinya tahun 1971,[2]
sudah menjadi motor perjuangan HAM, demokrasi, dan negara hukum. Sebuah
institusi yang gigih mempertahankan hak rakyat pada kasus perburuhan, penggusuran,
hak tahanan politik, pelanggaran HAM, lingkungan, dst.[3]
Kelahiran LBH tak bisa dilepaskan dari semangat para tokoh Persatuan Advokat
Indonesia (PERADIN), sebuah lembaga asosiasi profesi hukum yang pada tahun 1966
telah menjalankan program ‘pengabdi hukum.’ Antara lain Besar Mertokusumo,
Lukman Wiriadinata, dan Suardi S Tasrif yang getol mengkawal LBH pada masa
pendiriannya.
Dari
awal masa pendiriannya LBH terus menerus mendapat permintaan bantuan hukum yang
tak sedikit. Mulai dari kasus Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Kasus Simpruk,
hingga Malari[4]
tak lepas dari peran serta tokoh-tokoh Peradin itu. Lukman Wiriadinata Ketua
Peradin waktu itu, dengan Suardi S Tasrif sekretaris Jenderal-nya, bersama
Besar Mertokusumo, Yap Thiam Hien,[5]
dan advokat senior Peradin, siap pasang badan.
Daniel
S Lev mencatat bahwa, dalam retorika diskursus politik Indonesia, LBH adalah lembaga
yang relatif kecil, namun mampu melayani ribuan klien. Sebagai pengimbang
kekuasaan yang efektif ditengah kebobrokan sistem hukum, ketidak-adilan dan
ketidak-merataan ekonomi.[6]
Para pendiri dan tokoh Peradin inilah yang juga meletakan dasar fundamen
perjuangan ide HAM, demokrasi, dan negara hukum.[7] Besar Mertokusumo,
Suardi S Tasrif, dan Lukman Wiradinata layak dilirik kiprahnya dalam sejarah gerakan LBH di
Indonesia.
Para Pendiri
Besar
Mertokusumo (8 Juli 1894-1980)
adalah advokat
pertama di Indonesia. Setelah menamatkan sekolah di Leiden, ia mendirikan firma
hukum di Tegal Jawa Tengah pada tahun 1923. Advokat yang mempunyai jiwa
nasionalisme yang tinggi. Ia tidak segan mengatakan ketidaksenangannya dengan
prosedur hukum yang diterapkan oleh kolonial terhadap warga pribumi.
Saat
beracara di Pekalongan Jawa Tengah, wajahnya sangat murka ketika melihat warga
pribumi yang menjadi terdakwa, harus merunduk ketika memasuki ruang pengadilan,
dan harus duduk di lantai saat sidang berjalan. Hatinya tambah sedih ketika
proses sidang harus menggunakan bahasa Belanda. Rakyat
pribumi yang menjadi terdakwa pun tidak
bisa memahaminya.[8]
Ada ketidakadilan, di dalam lembaga tempat orang-orang mencari keadilan, karena
warga pribumi merasa diasingkan.
Bahkan seolah-olah mereka
sudah dipastikan bersalah.
Walaupun belum ada
putusan dari pengadilan. Besar tidak suka dengan model seperti itu.
Keberaniannya
dalam mendobrak penguasa tiran, banyak menjadi inspirasi bagi para yuniornya.
Wirjono, ketua Mahkamah Agung pada waktu itu, sangat menghormati Besar Mertokusumo.
Bahkan nasehatnya sering dilaksanakan oleh Wirjono. Saat tubuh Mahkamah Agung
ada gejolak, karena oleh masyarakat tidak bisa independen. Ia dituntut mundur oleh
demonstrasi massa. Bahkan
mahasiswa pernah
melancarkan aksi di rumahnya, namun Wirjono tidak bergeming. Namun setelah ketemu dengan Besar, hati Wirjono luluh dan
bersedia mengundurkan diri.
“It was an
ugly, the former secretary general of the Department of Justice and a highly
respected, sincere man. Besar told Wirjono to resign, informing him frankly
that he had weakened the Court, committed many errors, and failed to resist the
incursions of Sukarno. Wirjono returned home, and resigned the next day”.[9]
Mencatat perjalanan hidup advokat pertama di Indonesia
ini dan perannya di LBH sangatlah penting. Disamping sebagai advokat, Besar
merupakan sosok yang dinamis dan kharismatik, saat menjabat sebagai penjabat kepala
daerah —Walikota (Shi-co) di Tegal
pada tahun 1943 dan Wakil Residen Pekalongan (Fuku Syuu-cokan) pada tahun 1945. Sebagai birokrat Sekjen
Departemen Kehakiman dan perannya dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) perlu dicatat.
Selain Besar, tokoh lain yang cukup berpengaruh dalam
pendirian LBH adalah Suardi
S Tasrif (3 Januari 1922-24 April 1991). Suardi S Tasrif sebelum berkecimpung dalam dunia advokat,
dirinya adalah seorang
jurnalis.
Suara Indonesia adalah Koran yang pernah ia dirikan. Harian Abadi
yang berasosiasi dengan Masyumi pun ia berperan besar disana. Berlatar pendidikan
hukum, membuat dirinya tergerak hatinya untuk membuat ‘kode etik pers,’ yakni pada tahun 1954.
Maka tidak heran jika dirinya didapuk sebagai bapak kode etik jurnalistik.[10]
Setelah itu ia disebut sebagai bapak kode etik Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI).[11]
Tahun
1965 bersama Umar Ismail, Tasrif memimpin Harian Berita Indonesia.
Pemberitaannnya yang memuat kritik pedas terhadap penguasa, membuat harian tersebut dibredel. Suardi S
Tasrif pun masih terus menulis sambil menjalankan profesinya sebagai advokat.
Pernah bersama dengan Iskaq Tjokrohadisurjo, aktif
menjalankan profesi advokat. Perannya
yang paling besar, di Peradin menurut Daniel S Lev adalah sebagai pendiri
sekaligus editor majalah kenamaan ‘Hukum dan Keadilan’ Peradin. Sebuah jurnal
babon yang menjadi sumber rujukan para intelektual hukum zamannya.[12]
Peristiwa
malari adalah gerakan mahasiswa yang menentang kebijakan pembangunan yang
dilakukan oleh mahasiswa pada tahun 1974.[13]
Peristiwa itu melahirkan banyak korban, dan mahasiswa dikambing hitamkan. Tidak
rela gerakan-gerakan ideologi mahasiswa dihina, Tasrif berdiri didepan, menjadi
pembela mahasiswa-mahasiswa yang dikambing hitamkan oleh Orde Baru. Advokat
lulusan University of Colombia Amerika ini memang dikenal santun dan halus,
namun pembelaannya pada aktivis Malari sangat subtansial dan bernyawa.
Perlawananan
Tasrif kepada orde baru tidak hanya sebagai pembela Mahasiswa saja. Ia juga menyebarkan
propaganda-propaganda melalui media yang ia asuh, Koran Indonesia raya.
Bersamaan dengan peristiwa tersebut, Koran Indonesia Raya tempat ia mengasuh
rubrik hukum dan press juga dibredel oleh orde baru.
Selain aktif dalam dunia advokat dan pers, Suardi S
Tasrif dikenal sebagai sosok cendekia yang punya bacaan cukup luas. Pada tahun
1960-an ia menerjemahkan buku berjudul ‘Revolusi Amerika.’ Ia juga menulis
topik yang cukup berat, meski hanyut di dunia praktek hukum. Karyanya
‘Menegakan Rule of Law di Bawah Orde
Baru’ dan ‘Hukum Internasional tentang Pengakuan Dalam Teori dan Praktek’
diterbitkan pada tahun 1971-an.[14]
Terakhir,
Mr. Lukman Wiriadinata, menjabat
Menteri kehakiman saat kabinet Wilopo.[15]
Lukman, seorang advokat yang juga mengawal Soekarno dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. dia adalah salah satu pengacara Soekarno, tidak dibayar. Karena memang tujuan perjuangannya
adalah kemerdekaan Indonesia.
Nasionalisme-nya tak pernah surut sampai ia menjabat
sebagai
Ketua Umum Peradin.
Ketua Umum dalam suatu organisasi profesi advokat, bukanlah orang yang sembarangan. Ia harus mempunyai
kredibilitas dan mampu menjaga amanah anggota. Apalagi organissasi Advokat,
yang mudah tersulut api, sehingga potensi konfliknya sangat tinggi. Namun,
Lukman mampu menjaga amanah yang diberikan oleh teman-temannya.
Garis
lurus perjuangan organisasi ia tegakan, melindungi rakyat dari penindasan dan
mengawal Hak Asasi Manusia merupakan jalan yang ditempuhnya. Gesekan-gesekan
dengan penguasa sering terjadi, karena pekerjaannya sering bertabrakan dengan
kebijakan penguasa yang acap kali mengesampingkan hak-hak masyarakat sipil.
Catatan Daniel S Lev menyatakan bahwa dukungan besar
Lukman begitu besar dalam proses pendirian LBH.[16]
Tentunya, advokat-advokat senior seperti Besar Mertokusumo, juga ikut merestui
yunior-yuniornya ketika mau membuat LBH.
Karena didasari atas persamaan ideologi.
Peran penting Lukman Wiradinata dalam pembentukan LBH Jakarta, dicatat
oleh Daniel S. Lev sebagai berikut :
But
with strong support form such senior advocates as Lukman Wiriadinata, then
chairman of PERADIN, Suardi Tasrif, his successor, and Yap Thiam Hien, among
others, the association agreed to sponsor the LBH. Naution was appointed its
first director, responsibli to PERADIN but otherwise on his own in finding
funds and organizing the institute.[17]
LBH
Jakarta merupakan fondasi awal berdirinya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI), yang nantinya memayungi LBH-LBH daerah lainnya. LBH
merupakan organisasi ideologis, diciptakan untuk memberikan bantuan hukum,
mengawal dan membela hak-hak masyarakat yang tertindas.
[2] Keputusan Dewan Pengurus Pusat Peradin No. 001/ Kep/ DPP/ X/ 1970
tertanggal 26 Oktober 1970 LBH Jakarta dibentuk dengan Direktur Adnan Buyung Nasution. Selain itu, LBH juga
mendapatkan payung hukum dari Pemerintah DKI Jakarta.
Berupa SK Gubernur DKI Jakarta No. Ib.3/31/70 tentang Pengukuhan Pembentukan
Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Pembela Umum (Legal Aid/Public Defender) Dalam
Wilayah DKI Jakarta, tertanggal 14 Nopember 1970.
[3] Todung Mulya Lubis. Bantuan
Hukum dan Kemiskinan Struktural. 1986. LP3ES., p. 28-29. Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) adalah kawah candradimuka,
tempat para pejuang HAM dan tempat para pembela rakyat dari penindasan, baik
penindasan yang dilakukan oleh penguasa maupun pemodal yang lalim. Di LBH,
orang akan ditempa dengan serius, diuji ketahanan tubuhnya dan digodok
keilmuanya, maka tidak heran jika alumni LBH adalah orang-orang besar, orang
yang mempunyai pengaruh kuat terhadap perjalanan Republik Indonesia.
[4] Tak mudah memang menjadi
lembaga yang kontra pelanggaran HAM. Populisme LBH yang mendapatkan tempat
dihati rakyat langsung mendapatkan saingannya dengan pendirian Lembaga
Pelayanan dan Penyuluhan Hukum (LPPH) bahkan sebagai Direkturnya diangkatlah
Albert Hasibuan yang juga adalah mantan Ketua LBH Jakarta. Adnan buyung Nasution. Demokrasi Konstitusional. 2011. Kompas., p.
76
[5] Dalam penelitian ini,
akan disebutkan Yap Thiam Hien beberapa bagian. Sebenarnya ia perlu ditulis
bersama tokoh-tokoh yang lain. Akan tetapi data dan analisis yang paling
komplit telah disajikan oleh Daniel S Lev dalam bukunya, No Concessions. The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights
Lawyer. 2011. University of Washington Press.,
[6] Daniel S Lev. Judicial Institutions and Strunggle for Indonesian
Rechtsstaat, in the Law and Society Review, No. 37 (Winter 1978-1979), Dalam tulisannya, Dan (panggilan Daniel S Lev)
banyak merujuk pada buku-buku Adnan Buyung Nasution. Bantuan Hukum di
Indonesia, 1981. LP3ES, Todung Mulya Lubis. Bantuan Hukum dan Kemiskinan
Struktural. 1986. LP3ES. Abdurrahman S. H., Aspek-Aspek Bantuan Hukum di
Indonesia, 1983. Cendana Press.
[7] Denny J.A, Membaca Isu Politik, LKIS, Yogyakarta, 2006, hlm 68,
selain menampilkan perjuangan LBH dalam membela rakyat, buku ini juga
memberikan kritikan pedas terhadap kiprah LBH
saat ini, Denny menganggap LBH sekarang mulai dilanda situasi yang
bertentangan dengan citra LBH itu sendiri: Birokrasi dan Ketertutupan. Dan
Sebagian lagi lebih tertarik pada gossip individual seputar elit yang tengah
mengendalikan LBH.
[8] Baca Hukum Online edisi khusus 22 September 2009, tulisan diatas
adalah penekanan dari penulis.
[9] Sebastian Pompe, The
Indonesian Supreme Court : A Study of Institutional Collapse, Cronell
Southeast Asia Program Publications, 2005 p 82
[10] Sesungguhnya Kode Etik Jurnalistik PWI, pertama kali dirumuskan
pada konferensi PWI di Malang pada bulan Februari, tahun 1947, namun kode etik
tersebut dianggap belum sempurna dan kemudian dirumuskan kembali dibawah
pimpinan komisi yang diketuai oleh Suardi tasrif. Baca Hani Muwarisal Haq,
Analisis Dakwah terhadap Ketaatan Wartawan Persatuan Waratawan Indonesia (PWI)
Cabang Jawa Tengah pada Kode Etik Jurnalistik, IAIN, 2011, hlm 01
[11] Suardi S Tasrif adalah tokoh dari PWI, namun ia juga mengkritik PWI
sendiri karena terlalu dekat dengan pemerintah orde baru, jadi independen
sebagai wartawan dipertanyakannya.
[12] Daniel S Lev menulisnya
sebagai pemimpin editor beberapa media, seperti Abadi,
yang berasosiasi dengan Masyumi.
Suardi S Tasrif juga salah satu pendiri Peradin. Menjalankan profesi
advokat di kantor Iskaq Tjokrohadisurjo. Dan
editor majalah ‘Hukum dan Keadilan’ Peradin. Dan S Lev. No Concessions. The Life of Yap Thiam
Hien., Op. Cit. halaman daftar nama kolega Yap
[13] Muridan S. Widjojo dan Mashudi Noorsalim dkk, dalam Bahasa Negara Versus Bahasa gerakan
Mahasiswa, Lipi Press, Jakarta, 2004 hlm 61
[15] Herbert Feith, The Wilopo Cabinet, 1952-1953 : A Turning Poin In
Post Revolutionary Indonesia, Equinox Publishing, 2009. p 94
[16] Frans Hendra Winata, Hak
Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2009 hlm 49
[17] Daniel S. Lev, Legal
Evolution and Political Authority in Indonesia, Kluwer Law International,
2000, P 290
