Membaca Cara Berhukum Indonesia 2015 dalam Perspektif Soepomo dan Yamin[1]

Awaludin Marwan[2]

sumber. kompasiana.com
Renungan diakhir tahun bisa jadi pijakan kuat buat menatap rencana tahun ini. Utamanya soal hukum di Indonesia. Ada pesimisme. Namun sebagai kumpulan manusia biasa, kita butuh mencari kata-kata hiburan, untuk mengembalikan kepercayaan diri. Tahun 2015 ditandai dengan beberapa masalah hukum, mulai Cicak vs Buaya jilid dua, kasus papa minta saham, pembakaran hutan, sengketa pilkada, terseretnya advokat kondang atas dugaan suap, dan masih banyak lagi. Bagi saya, sederetan petaka hukum ini masih menganggu relung untuk bisa tidur nyenyak.

Tidak mudah menjelaskan kasus demi kasus. Berita di koran pun bertebangan menjelaskan banyak spekulasi. Pada paper ini, saya ingin bersembunyi ke roman masa lalu. Sebuah cita rasa filsafat gaya Indonesia, yang barangkali masih punya aktualisasi menyapa hari ini yang buram. Adalah Soepomo dan Yamin. Dua jenius nusantara yang menarik digunakan pandangannya. Sebuah pandangan yang muncul di kala Indonesia masih berusia muda. Coba dibentangkan saat negeri ini menginjak umur kepala tujuh.

Dalam coretan sederhana ini, dua tesis diajukan dalam sidang pembaca. Yakni minusnya semangat integralisme, dalam hal ini kita bisa meminjam pandangan Soepomo. Seperti sebuah semboyan penutup acara TVRI saja, menjalin persatuan dan kesatuan nyaris raib di era politik surplus demokrasi hari ini. Konsep integralistik Soepomo yang disuarakan pada sidang BPUPK 29 mei-1 Juni 1945 bisa menjadi cermin. Dan, cara berhukum yang belum bisa berdamai masa lalu, pemikiran Yamin bisa kita gunakan untuk menggosipkan soal soal hukum tahun lalu. Sebab Yamin penggila sejarah yang ekstem, ia menulis Diponegoro, Ken Arok dan Ken Dedes, Tata Negara Majapahit, dst. Menempatkan Yamin sebagai sosok peletak dasar studi sejarah hukum yang luas dan mendasar.

Sementara cara berhukum, adalah kosakata yang saya pribadi pinjam dari almarhum guru saya, Prof Satjipto Rahardjo. Beliau sering menggunakan kata cara berhukum untuk menunjukan penegakan hukum tak bisa dilepaskan dari sifat dan watak orang yang menjalankannya. Indonesia punya cara berhukum sendiri, sebab manusia Indonesia punya ciri khasnya.

Contoh terkini, saat dunia berlarian menghadapi teroris, orang Indonesia sibuk selfie di Sarinah. Tak heran saat Mochtar Lubis menasbihkan manusia Indonesia salah satu sifatnya adalah tukang pamer, selain juga suka takhayul, hipokrit, dst.[3] Entahlah, apakah karakter ini ada relevansinya terhadap cara berhukum negeri ini? Saya hanya mengira-kira, ada.

Soal Integralisme

Saat dulu Jokowi terpilih, dan sempat menyatakan bahwa kabinetnya akan ramping, kita berharap birokrasi akan berjalan dengan efektif dan efisien. Meskipun harus gigit jari pada akhirnya, saat jumlah kabinetnya pun gemuk. Ego sektoral adalah penyakit birokrasi yang tak bisa dihilangkan. Bahkan hingga saat ini. Bagaimana mungkin kita mau mencapai target pembangunan hukum, jika instansi negara semakin banyak, semakin banjir mengeluarkan peraturan. Dan, akhirnya bertabrakan satu sama lain.

Diatas kertas, instansi negara ini sudah saling melompati, apalagi di lapangan? Kita disuguhkan dengan apa yang saya sebut dengan ‘dagelan macan.’ Ada dua jenis macan yang dikebiri di Indonesia, yakni ‘macan kertas’ dan ‘macan ompong.’ Macan kertas seringkali disebut saat pemangku kebijakan menyusun kertas kerja (baca: peraturan) yang garang, namun nihil implementasinya.

Dalam sistem penegakan hukum kita punya komisi kejaksaan dan komisi kepolisian yang tak berdaya. Kita berharap pada Komisi Yudisial, namun kewenangannya mulai dipreteli, dibawah godam palu sang hakim konstitusi, ia sudah tidak punya kesempatan menyeleksi hakim tingkat pertama.[4] Komisi-komisi ini mengeluarkan peraturannya masing-masing, hingga berjimbun. Namun, tak terasa dampaknya—kecuali Komisi Yudisial yang masih progresif menurut saya—oleh masyarakat. Peran mereka seperti diantara persimpangan: ada dan tiada saja. Layak juga disebut sebagai ‘macan ompong’ tadi. Padahal di negara-negara Skandinavia, tugas pengawasan selesai hanya dengan satu lembaga, yakni: Ombudsman,[5] tak lebih.

Balada macan nampaknya terus menari diiringi genderang latah di berbagai instansi negara. Tak hanya merangsek di sektor instistusi penegakan hukum. Membuat pelajaran ‘tata negara’ menjadi himpunan ‘kacau negara’ dalam ruang kelas Fakultas Hukum hari ini. Komisi-komisi diatas adalah contoh sederhana balada macan ini. Yang kita butuhkan adalah integrasi. Soepomo pernah menyatakan bahwa integralistik adalah keharmonisan struktural yang memungkinkan adanya uniformitas apik.[6]

Bagaimana mungkin bisa maju bersama-sama, jika ego sektoral penyakit birokrasi Indonesia semakin dilembagakan oleh instansi-instansi negara. Belum lagi peraturan daerah yang berjubel. Pada tahun 2015 kemarin, paling tidak ribuan rancangan perda diajukan, ratusan yang dimintakan klarifikasi karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kementerian Dalam Negeri juga menyoal banyak pengaturan pajak daerah, retribusi, sumbangan pihak ketiga, mineral dan batu bara yang disodorkan melalui raperda. Namun ego sektoral semakin menyuarak hingga lapis lokal. Tak bisa dibayangkan saat UU Desa memberikan mandat pada 73.000 Desa untuk membuat Perdes?

Integralistik Soepomo adalah penyatuan kosmologi antara elite dan rakyatnya. Sinergisitas dibangun dengan gotong royong dan nuansa kekeluargaan, demi menggapai sebuah tujuan bersama. Layaknya ‘sambatan’ dalam tradisi nusantara.[7] Tak bisa Indonesia bersinergi, tanpa kelapangan dada mengangkat kepentingan bersama diatas kepala masing-masing. Alih-alih meredam, ego sektoral biang keladi integralisme meluas antar departemen, dirjen, kementerian, badan, lembaga, komisi, sampai tingkat pemda dan pemdes. Semangat integralisme ini sudah mulai menampakan keusangan dan ditanggalkan oleh para empunya.

Padahal dalam memproduksi hukum, semangat integralisme itu sangatlah penting. Saat Soepomo menyusun konsep hak asasi manusia di Konstitusi Sementara UUD 1945. Ia juga memasukan ‘hak pepe’ pada Pasal 22, sebagai kelanjutan dari tradisi curhat batin antara rakyat dan pemimpinnya. Sebuah tradisi yang setiap orang bisa berkeluh kesah kepada elitenya dalam gaya nusantara zaman dulu.[8] Hal yang mulai raib hari ini.

Instansi pemerintah mulai melindungi kepentingan korpnya melalui regulasi yang diciptakannya sendiri. Semua instansi diberikan kewenangan untuk menerbitkan peraturan, yang pada akhirnya berkubang pada hiperlegitimasi pada dirinya sendiri. Bisa disebut ini sebagai ‘onani peraturan.’ Peraturan yang dibuat bukan untuk rakyat, melainkan kenikmatan sendiri.

Relasi antar lembaga hari ini bukanlah hubungan yang homogen. Saya melihat fragmentasi yang mudah pecah dan aneh. Secara sosiologis, integralisme pun jauh di mata dan hati. Saat kolonialisme punah, diganti dengan trend poskolonialisme dan dekolonialisme dalam skala internasional yang menghantam kedaulatan nasional. Yang tertinggal hanyalah bahasa Indonesia, sebagai benteng teknis yang rapuh—mungkin karena tidak cakapan sistem pendidikan mengadopsi bahasa internasional—sebagai medium formal, sementara subtansinya digerogoti oleh asing.[9] Menghantarkan kita pada fenomena unik tentang hubungan antarlembaga.

Bagaimana despotisme antarlembaga itu pun muntah deras. Di bidang politik anggaran, Kementerian Keuangan jadi amtenar atau mandor perbelanjaan. Soal perencanaan, Bappenas sibuk membuat studi, yang di masing-masing kementerian pun ramai dengan litbangnya. Sementara kepala daerah hanyut dengan statusnya sebagai juragan lokal baru, yang sulit diajak jalan bareng. Dan, terakhir DPR sebagai preman yang siap kapan-kapan bertindak menjadi begal. Dan, kondisi sosiologis itu, dilembagakan dalam hukum dan peraturan yang antah berantah banyaknya itu.

Integralisme tak akan bisa dijalankan dengan model semacam ini. Di Belanda, mahasiswa hukum membuka satu website rechtspraak. Disana terhimpun semua peraturan, risalah sidang, putusan pengadilan, bahkan sampai peraturan daerah bisa kita jumpai. Sementara di Indonesia, kita disuguhkan direktorat hukum masing-masing departemen yang bisa dengan mudah mendownload undang-undang. Bahkan tak jarang isinya ada perbedaan dengan apa yang dimuat di lembaran negara. Mana yang valid? Who knows?

Berdamai dengan Masa Lalu

Pelanggaran berat masa lalu masih menghantui hari ini. Tak akan pernah bisa kita melangkah barang satu jengkal pun. Saat masa lalu kita dipenuhi kesuraman. Sejarah kita berlumuran darah tragis tanpa usaha penyucian dan maaf. Tahun 2015, sebagai pertanda bahwa apa yang dibayangkan Yamin pada masa sidang di depan Ketua Radjiman Wedyodiningrat pada 1945, belum bisa dipenuhi. Yakni usaha sungguh-sungguh menobatkan hak asasi manusia di atas negara hukum ini.

Sederetan peristiwa kelam disuntikan morfin supaya amnesia sosial menjadi wabah yang menyebar. Peristiwa 65, Priok, Talangsari, Petrus, Aceh, Papua, Timor Leste, Semanggi, Penghilangan Paksa, dan sederet kejahatan Orde Baru belumlah selesai. Kita tidak punya satu kosa-kata dalam sejarah Indonesia modern untuk bangga saat memikirkan kasus-kasus itu. Sejarah kita dipenuhi misteri. Usaha menguraikan sejarah perlu dilakukan, dan hal itu butuh kerja intelektual yang besar.

Bagaimana Yamin dengan segala kontroversinya membangun usaha merakit sejarah. Ia sampai menyatakan bahwa ‘bekas-bekas manusia jang paling tua di muka bumi didjumpai di tanah Indonesia. Tulang-belulang itu berasal dari zaman 750 sampai 100 ribu tahun dahulu. [...] manusia Modjokerto (pithecanthropus modjokertensis) dan [...] manusia terinil dekat Ngawi (pithecanthropus erectus).’[10] Lepas dari kesembronoan Yamin, namun patut dilihat semangat untuk menengok lintasan masa lalu. Bukanlah sebuah hal yang perlu dilupakan.

Misalnya 65, sebagai peristiwa besar yang terus saja menjadi misteri. Bahkan bukti sejarah yang selama ini dimiliki oleh negara sama sekali diragukan validitasnya.[11] Penyelidikan dilakukan oleh Komnas HAM telah menyatakan pelanggaran HAM berat berlangsung sepanjang paska peristiwa 65 itu. Namun berkas yang diajukan ke Kejaksaan Agung pada tahun 2012 hingga saat ini mandek, tanpa kepastian keberlangsungannya untuk mencapai pengadilan HAM. Sementara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dalam kerangka keadilan transisi digorok lehernya oleh negara sampai tak berkutik.[12]

Usaha mereparasi sejarah dan berdamai masa lalu pun terus dikumandangkan. Seperti tak hanya menempuh langkah pro-justisia saja. International People Tribnal 65 yang diselenggarakan di Den Haag pada tanggal 10-13 November 2015 lalu juga langkah progresif yang perlu dihargai. Namun sayang, kicauan di dalam negeri oleh pejabat-pejabat teras terus memperlihatkan kualitas dan kebodohannya. Bahkan ada saja yang mengancam memidanakan para jaksa penuntut umum IPT. Ngawur!

IPT adalah langkah progresif yang diambil saat alat negara masih lumpuh. Kekerasan 65 mempunyai dampak yang luas. Seperti kekerasan pada saudara dan keluarga kita sebangsa, etnis Tionghoa yang juga perlu direparasi oleh negara. Saat Universitas Res Publica diserang, kekerasan massal dibiarkan bahkan disuport oleh militer. Yayasan dan sekolah Tionghoa ditutup serta tanahnya dirampas. Bahkan kasus terakhir, saat reformasi bergulir, pihak-pihak sekolahan Tionghoa menuntut hak atas tanahnya kembali, namun pengadilan yang terhormat nampaknya masih menutup mata.[13] Bagaimana hukum ini akan berdamai dengan masa lalu, saat hak fundamental lenyap.

Padahal bagi Yamin, hak asasi manusia adalah media bangsa untuk berdamai dengan masa lalu. Saking pentingnya rejim hak asasi manusia ini, Yamin meletakan elemen ini dalam struktur pokok perumusan konstitusi Indonesia.[14] Saat bangsa ini tak mau mengunyah saripati nilai-nilai yang terkandung dalam rejim hak asasi manusia, maka ia akan terus dihantui dosa-dosa kejam tak terperi. Sekali lagi, bangsa ini tiada akan pernah bisa terus melangkah barang setapak pun.

Yamin mengajarkan kepada kita untuk menengok sejarah sedalam-dalamnya. Bangsa ini adalah bangsa yang besar. Setiap putusan politik maupun hukum, punya aras sejarahnya. Bagaimana ia mengkonstatasikan bahwa sumpah pemuda masa kebangkitan nasional adalah sumpah palapanya para ‘bung Gadjah Mada’ modern. Sebuah putusan politis, yang diambil dalam dasar kebangkitan peradaban Sriwijaya (683), majapahit (1331) dan Indonesia (1928).[15] Apakah Indonesia bisa berdamai dengan sejarah? Tak akan pernah bisa jika para elite dan terpelajarnya diselimuti alam pikir jahiliyah, yang membiarkan pembunuhan dan kekerasan tanpa pengadilan!

[1] Disampaikan pada tanggal 30 Desember 2016 pada forum pertemuan diskusi PhD Multidispliner Indonesia di Amsterdam. 
[2] Peneliti Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum (Pustokum) dan PhD Candidate Utrecht University School of Law, the Netherlands.
[3] Mochtar Lubis. Manusia Indonesia. Sebuah Pertanggungan Jawab. 1978. Yayasan Idayu. Buku yang bersumber dari ceramah Mochtar Lubis pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki ini paling tidak melukiskan patologi sosial masyarakat Indonesia yang malas bertanggung-jawab atas perbuatannya, berwatak feodal, penggemar mistis, suka menghambur-hamburkan kekayaan alias boros, malas bekerja, sering menggerutu dan berbicara dibelakang, dst.
[4] Mahkamah Konstitusi menghapus beberapa pasal yang melibatkan Komisi Yudisial dalam menyeleksi hakim tingkat pertama, seperti Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) yang menghapuskan sepanjang kata ‘bersama dan frasa ‘dan Komisi Yudisial’. Yang membuat Komisi Yudisial sudah kehilangan salah satu kewenangannya untuk ikut memproduksi hakim yang berkualitas. Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015
[5] Ombudsman dikenalkan oleh Swedia, pada masa kepemimpinan Raja Charles XII pada tahun 1713, saat masa perang melawan Rusia. Ia menciptakan sebuah lembaga bernama Hogsta Ombudsmannen yang bertujuan untuk memastikan bahwa peraturan yang sudah dibuatnya itu dilaksanakan oleh aparat penagak hukum dan pegawai sipil. Hingga pada tahun 1809, pertama kali dalam sejarah konstitusi dunia, Ombudsman dilegitimasi dalam konstitusi Swedia, yang didalamnya terdapat fungsi pengawasan terhadap pengadilan dan badan administrasi pemerintahan, dengan nama Justitieombusmannӓmbetet. Saking populernya Ombudsman, ia juga dalam literatur sering disebut sebagai the semi-official Robin Hood (kantor menyerupai karakter Robin Hood), di negara-negara latin, ia juga dikenal sebagai lembaga perisai kepentingan warga (el defensor del pueblo). Baca, : Lester B. Orfield. The Scandinavian Ombudsman. Administrative Law Review. 7. 1966-1967., Stig Jӓgerskiӧld. The Swedish Ombudsman. University of Pennsylvania Law Review. Vol. 109. 1077., David Roberts. The Ombudsman Cometh. The Advocate. 1972 (360)., Linda C. Reif. The Ombudsman, Good Governance and the International Human Rights System. 2004. Sringer Scgience Media Dordrecht., p. 51-54., Gregory J. Levine. The Engaged Ombudsman, Morality and Activism in Attaining Administrative Justice. Linda C. Reif. The International Ombudsman Yearbook. 2004. International Ombudsman Institute. Martinus Nijhoff Publishers., p. 133-136, Gabriele Kuscko Stadmayer. European Ombudsman-Institutions. 2008. Singer-Verlag/Wien., p. 36, Michael Frahm. Australasia and Pasific Ombudsman Institutions. 2013. Springer., p. 7
[6] Awaludin Marwan. Soepomo, Sebuah Biografi Intelektual,
[7] Baca : Soepomo. Indonesia Facing Problems of New Life and Reintregation. 1958. Penerbit Universitas. p. 57-9., Soepomo. Sistem Hukum di Indonesia. 1981. Pradnya Paramita. Jakarta. p. 142., Soepomo. Kedudukan Hukum Adat Dikemudian Hari. 1959. Penerbitan PT Pustaka Rakyat, p. 6-8
[8] Soepomo. The Provisional Constitution of the Republic of Indonesia With Annotations and Explanations on Each Article. 1964. Cornell University., p. 22
[9] Poskolonialisme dalam literatur banyak merujuk pada tesis Spivak, yang menguraikan tentang hubungan kebudayaan, sastra, politik dan bahasa dari belahan bumi ini saling terhubung dan berinteraksi tanpa berkesudahan. Yang barangkali perlu tulisan khusus untuk membahas konsep ini. Begitu juga denga dekolonialisme, yang ditulis oleh Sundhya Pahuja yang dengan keras menggugat rejim internasional yang tunduk pada sirkuit kapital. Sementara soal asing, penanaman modal asing dan kontrak karya yang merugikan kepentingan nasional sudah begitu mencengkeram.
[10] Muhammad Yamin. Lukisan Sedjarah. Jaitu Risalah Berisi 563 Gambar Foto dll Melukiskan Perdjalanan Sedjarah Indonesia dan Sedjarah Dunia untuk Dipergunakan dipelbagai perguruan tinggi di Indonesia. 1958. Djambatan., p. 7
[11] John Roosa. Pretext for Mass Murder: the September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia. 2006. The University of Winconsin Press., p. 20
[12] Constitutional Court through its verdict No. 006 PUU-IV, 2006, declared the Act (Act) No. 27 of 2004 on the Truth and Reconciliation Commission (TRC) against the Indonesian’s Constitution 1945, therefore the Act does not apply anymore, and it has no legal power binding.
[13] Lihat., Samarinda dictrict court verdict of No. 61/Pdt. G/ 2012/ PN. Smda, Supreme court verdict of 378 PK/ Pdt/ 2009
[14] Muhammad Yamin. Konstituante Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi. 1956. Penerbit Djambatan Djakarta., p. 138
[15] Muhammad Yamin. Sumpah Indonesia Raja. Jaitu Uraian tentang Rumusan dan Wujud Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 untuk Membentuk Indonesia Raja Jang Berkuasa. (Tahun Tahun) NV. Nusantara. Bukit Tinggi.

Related

M.R. S Budhyarto Martoatmodjo, Pendiri UGM Lahir Dari Rahim Bardijah

Hari itu, tepatnya 16 November 1898 tangis bayi pecah di Keraton Kasunanan,[1] kota Solo.[2] Entah dari sudut ruang mana suara tangis itu berasal. Seorang ibu, bernama Bardijah tampak menyungging...

Srikandi-Srikandi Hukum di Indonesia

Sumber Foto. www.rupawa.com Srikandi, di Jawa digambarkan sebagai sosok perempuan cerdas, mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi, tidak mau kalah dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh ka...

Nilai Sosialisme Dalam Hukum Tanah Indonesia

Oleh Bakhrul Amal Hukum, seperti kita ketahui pada umumnya, dilahirkan untuk kepentingan masyarakat umum. Sebelum menentukan pembentukan hukum, ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh negara se...

Posting Komentar

emo-but-icon
:noprob:
:smile:
:shy:
:trope:
:sneered:
:happy:
:escort:
:rapt:
:love:
:heart:
:angry:
:hate:
:sad:
:sigh:
:disappointed:
:cry:
:fear:
:surprise:
:unbelieve:
:shit:
:like:
:dislike:
:clap:
:cuff:
:fist:
:ok:
:file:
:link:
:place:
:contact:

WELCOME

NEWSHot in weekArsip

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Hot in week

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item