https://pustokum.blogspot.com/2016/01/membaca-cara-berhukum-indonesia-2015.html
Awaludin Marwan[2]
 |
sumber. kompasiana.com |
Renungan diakhir tahun bisa jadi pijakan kuat buat
menatap rencana tahun ini. Utamanya soal hukum di Indonesia. Ada pesimisme.
Namun sebagai kumpulan manusia biasa, kita butuh mencari kata-kata hiburan,
untuk mengembalikan kepercayaan diri. Tahun 2015 ditandai dengan beberapa
masalah hukum, mulai Cicak vs Buaya jilid dua, kasus papa minta saham,
pembakaran hutan, sengketa pilkada, terseretnya advokat kondang atas dugaan
suap, dan masih banyak lagi. Bagi saya, sederetan petaka hukum ini masih
menganggu relung untuk bisa tidur nyenyak.
Tidak mudah menjelaskan kasus demi kasus. Berita di
koran pun bertebangan menjelaskan banyak spekulasi. Pada paper ini, saya ingin
bersembunyi ke roman masa lalu. Sebuah cita rasa filsafat gaya Indonesia, yang
barangkali masih punya aktualisasi menyapa hari ini yang buram. Adalah Soepomo
dan Yamin. Dua jenius nusantara yang menarik digunakan pandangannya. Sebuah
pandangan yang muncul di kala Indonesia masih berusia muda. Coba dibentangkan
saat negeri ini menginjak umur kepala tujuh.
Dalam coretan sederhana ini, dua tesis diajukan dalam
sidang pembaca. Yakni minusnya semangat integralisme, dalam hal ini kita bisa
meminjam pandangan Soepomo. Seperti sebuah semboyan penutup acara TVRI saja,
menjalin persatuan dan kesatuan nyaris raib di era politik surplus demokrasi
hari ini. Konsep integralistik Soepomo yang disuarakan pada sidang BPUPK 29
mei-1 Juni 1945 bisa menjadi cermin. Dan, cara berhukum yang belum bisa
berdamai masa lalu, pemikiran Yamin bisa kita gunakan untuk menggosipkan soal
soal hukum tahun lalu. Sebab Yamin penggila sejarah yang ekstem, ia menulis
Diponegoro, Ken Arok dan Ken Dedes, Tata Negara Majapahit, dst. Menempatkan
Yamin sebagai sosok peletak dasar studi sejarah hukum yang luas dan mendasar.
Sementara cara berhukum, adalah kosakata yang saya
pribadi pinjam dari almarhum guru saya, Prof Satjipto Rahardjo. Beliau sering
menggunakan kata cara berhukum untuk menunjukan penegakan hukum tak bisa
dilepaskan dari sifat dan watak orang yang menjalankannya. Indonesia punya cara
berhukum sendiri, sebab manusia Indonesia punya ciri khasnya.
Contoh terkini, saat dunia berlarian menghadapi
teroris, orang Indonesia sibuk selfie di Sarinah. Tak heran saat Mochtar Lubis
menasbihkan manusia Indonesia salah satu sifatnya adalah tukang pamer, selain
juga suka takhayul, hipokrit, dst.[3] Entahlah, apakah karakter ini ada
relevansinya terhadap cara berhukum negeri ini? Saya hanya mengira-kira, ada.
Soal Integralisme
Saat dulu Jokowi terpilih, dan sempat menyatakan bahwa
kabinetnya akan ramping, kita berharap birokrasi akan berjalan dengan efektif
dan efisien. Meskipun harus gigit jari pada akhirnya, saat jumlah kabinetnya
pun gemuk. Ego sektoral adalah penyakit birokrasi yang tak bisa dihilangkan.
Bahkan hingga saat ini. Bagaimana mungkin kita mau mencapai target pembangunan
hukum, jika instansi negara semakin banyak, semakin banjir mengeluarkan
peraturan. Dan, akhirnya bertabrakan satu sama lain.
Diatas kertas, instansi negara ini sudah saling
melompati, apalagi di lapangan? Kita disuguhkan dengan apa yang saya sebut
dengan ‘dagelan macan.’ Ada dua jenis macan yang dikebiri di Indonesia, yakni
‘macan kertas’ dan ‘macan ompong.’ Macan kertas seringkali disebut saat
pemangku kebijakan menyusun kertas kerja (baca: peraturan) yang garang, namun
nihil implementasinya.
Dalam sistem penegakan hukum kita punya komisi
kejaksaan dan komisi kepolisian yang tak berdaya. Kita berharap pada Komisi
Yudisial, namun kewenangannya mulai dipreteli, dibawah godam palu sang hakim
konstitusi, ia sudah tidak punya kesempatan menyeleksi hakim tingkat
pertama.[4] Komisi-komisi ini mengeluarkan peraturannya masing-masing, hingga
berjimbun. Namun, tak terasa dampaknya—kecuali Komisi Yudisial yang masih
progresif menurut saya—oleh masyarakat. Peran mereka seperti diantara
persimpangan: ada dan tiada saja. Layak juga disebut sebagai ‘macan ompong’
tadi. Padahal di negara-negara Skandinavia, tugas pengawasan selesai hanya
dengan satu lembaga, yakni: Ombudsman,[5] tak lebih.
Balada macan nampaknya terus menari diiringi genderang
latah di berbagai instansi negara. Tak hanya merangsek di sektor instistusi
penegakan hukum. Membuat pelajaran ‘tata negara’ menjadi himpunan ‘kacau
negara’ dalam ruang kelas Fakultas Hukum hari ini. Komisi-komisi diatas adalah
contoh sederhana balada macan ini. Yang kita butuhkan adalah integrasi. Soepomo
pernah menyatakan bahwa integralistik adalah keharmonisan struktural yang
memungkinkan adanya uniformitas apik.[6]
Bagaimana mungkin bisa maju bersama-sama, jika ego
sektoral penyakit birokrasi Indonesia semakin dilembagakan oleh
instansi-instansi negara. Belum lagi peraturan daerah yang berjubel. Pada tahun
2015 kemarin, paling tidak ribuan rancangan perda diajukan, ratusan yang
dimintakan klarifikasi karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Kementerian Dalam Negeri juga menyoal banyak pengaturan
pajak daerah, retribusi, sumbangan pihak ketiga, mineral dan batu bara yang
disodorkan melalui raperda. Namun ego sektoral semakin menyuarak hingga lapis
lokal. Tak bisa dibayangkan saat UU Desa memberikan mandat pada 73.000 Desa
untuk membuat Perdes?
Integralistik Soepomo adalah penyatuan kosmologi
antara elite dan rakyatnya. Sinergisitas dibangun dengan gotong royong dan
nuansa kekeluargaan, demi menggapai sebuah tujuan bersama. Layaknya ‘sambatan’
dalam tradisi nusantara.[7] Tak bisa Indonesia bersinergi, tanpa kelapangan
dada mengangkat kepentingan bersama diatas kepala masing-masing. Alih-alih
meredam, ego sektoral biang keladi integralisme meluas antar departemen, dirjen,
kementerian, badan, lembaga, komisi, sampai tingkat pemda dan pemdes. Semangat
integralisme ini sudah mulai menampakan keusangan dan ditanggalkan oleh para
empunya.
Padahal dalam memproduksi hukum, semangat integralisme
itu sangatlah penting. Saat Soepomo menyusun konsep hak asasi manusia di
Konstitusi Sementara UUD 1945. Ia juga memasukan ‘hak pepe’ pada Pasal 22,
sebagai kelanjutan dari tradisi curhat batin antara rakyat dan pemimpinnya.
Sebuah tradisi yang setiap orang bisa berkeluh kesah kepada elitenya dalam gaya
nusantara zaman dulu.[8] Hal yang mulai raib hari ini.
Instansi pemerintah mulai melindungi kepentingan
korpnya melalui regulasi yang diciptakannya sendiri. Semua instansi diberikan
kewenangan untuk menerbitkan peraturan, yang pada akhirnya berkubang pada
hiperlegitimasi pada dirinya sendiri. Bisa disebut ini sebagai ‘onani
peraturan.’ Peraturan yang dibuat bukan untuk rakyat, melainkan kenikmatan
sendiri.
Relasi antar lembaga hari ini bukanlah hubungan yang
homogen. Saya melihat fragmentasi yang mudah pecah dan aneh. Secara sosiologis,
integralisme pun jauh di mata dan hati. Saat kolonialisme punah, diganti dengan
trend poskolonialisme dan dekolonialisme dalam skala internasional yang
menghantam kedaulatan nasional. Yang tertinggal hanyalah bahasa Indonesia,
sebagai benteng teknis yang rapuh—mungkin karena tidak cakapan sistem
pendidikan mengadopsi bahasa internasional—sebagai medium formal, sementara
subtansinya digerogoti oleh asing.[9] Menghantarkan kita pada fenomena unik
tentang hubungan antarlembaga.
Bagaimana despotisme antarlembaga itu pun muntah
deras. Di bidang politik anggaran, Kementerian Keuangan jadi amtenar atau
mandor perbelanjaan. Soal perencanaan, Bappenas sibuk membuat studi, yang di
masing-masing kementerian pun ramai dengan litbangnya. Sementara kepala daerah
hanyut dengan statusnya sebagai juragan lokal baru, yang sulit diajak jalan
bareng. Dan, terakhir DPR sebagai preman yang siap kapan-kapan bertindak
menjadi begal. Dan, kondisi sosiologis itu, dilembagakan dalam hukum dan
peraturan yang antah berantah banyaknya itu.
Integralisme tak akan bisa dijalankan dengan model
semacam ini. Di Belanda, mahasiswa hukum membuka satu website rechtspraak.
Disana terhimpun semua peraturan, risalah sidang, putusan pengadilan, bahkan
sampai peraturan daerah bisa kita jumpai. Sementara di Indonesia, kita
disuguhkan direktorat hukum masing-masing departemen yang bisa dengan mudah
mendownload undang-undang. Bahkan tak jarang isinya ada perbedaan dengan apa
yang dimuat di lembaran negara. Mana yang valid? Who knows?
Berdamai dengan Masa Lalu
Pelanggaran berat masa lalu masih menghantui hari ini.
Tak akan pernah bisa kita melangkah barang satu jengkal pun. Saat masa lalu
kita dipenuhi kesuraman. Sejarah kita berlumuran darah tragis tanpa usaha penyucian
dan maaf. Tahun 2015, sebagai pertanda bahwa apa yang dibayangkan Yamin pada
masa sidang di depan Ketua Radjiman Wedyodiningrat pada 1945, belum bisa
dipenuhi. Yakni usaha sungguh-sungguh menobatkan hak asasi manusia di atas
negara hukum ini.
Sederetan peristiwa kelam disuntikan morfin supaya
amnesia sosial menjadi wabah yang menyebar. Peristiwa 65, Priok, Talangsari,
Petrus, Aceh, Papua, Timor Leste, Semanggi, Penghilangan Paksa, dan sederet
kejahatan Orde Baru belumlah selesai. Kita tidak punya satu kosa-kata dalam
sejarah Indonesia modern untuk bangga saat memikirkan kasus-kasus itu. Sejarah
kita dipenuhi misteri. Usaha menguraikan sejarah perlu dilakukan, dan hal itu
butuh kerja intelektual yang besar.
Bagaimana Yamin dengan segala kontroversinya membangun
usaha merakit sejarah. Ia sampai menyatakan bahwa ‘bekas-bekas manusia jang
paling tua di muka bumi didjumpai di tanah Indonesia. Tulang-belulang itu
berasal dari zaman 750 sampai 100 ribu tahun dahulu. [...] manusia Modjokerto (pithecanthropus modjokertensis) dan [...] manusia terinil dekat Ngawi (pithecanthropus erectus).’[10] Lepas dari kesembronoan Yamin, namun patut
dilihat semangat untuk menengok lintasan masa lalu. Bukanlah sebuah hal yang
perlu dilupakan.
Misalnya 65, sebagai peristiwa besar yang terus saja
menjadi misteri. Bahkan bukti sejarah yang selama ini dimiliki oleh negara sama
sekali diragukan validitasnya.[11] Penyelidikan dilakukan oleh Komnas HAM telah
menyatakan pelanggaran HAM berat berlangsung sepanjang paska peristiwa 65 itu.
Namun berkas yang diajukan ke Kejaksaan Agung pada tahun 2012 hingga saat ini
mandek, tanpa kepastian keberlangsungannya untuk mencapai pengadilan HAM.
Sementara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dalam kerangka keadilan
transisi digorok lehernya oleh negara sampai tak berkutik.[12]
Usaha mereparasi sejarah dan berdamai masa lalu pun
terus dikumandangkan. Seperti tak hanya menempuh langkah pro-justisia saja.
International People Tribnal 65 yang diselenggarakan di Den Haag pada tanggal
10-13 November 2015 lalu juga langkah progresif yang perlu dihargai. Namun
sayang, kicauan di dalam negeri oleh pejabat-pejabat teras terus memperlihatkan
kualitas dan kebodohannya. Bahkan ada saja yang mengancam memidanakan para
jaksa penuntut umum IPT. Ngawur!
IPT adalah langkah progresif yang diambil saat alat
negara masih lumpuh. Kekerasan 65 mempunyai dampak yang luas. Seperti kekerasan
pada saudara dan keluarga kita sebangsa, etnis Tionghoa yang juga perlu
direparasi oleh negara. Saat Universitas Res Publica diserang, kekerasan massal
dibiarkan bahkan disuport oleh militer. Yayasan dan sekolah Tionghoa ditutup
serta tanahnya dirampas. Bahkan kasus terakhir, saat reformasi bergulir,
pihak-pihak sekolahan Tionghoa menuntut hak atas tanahnya kembali, namun
pengadilan yang terhormat nampaknya masih menutup mata.[13] Bagaimana hukum ini
akan berdamai dengan masa lalu, saat hak fundamental lenyap.
Padahal bagi Yamin, hak asasi manusia adalah media
bangsa untuk berdamai dengan masa lalu. Saking pentingnya rejim hak asasi
manusia ini, Yamin meletakan elemen ini dalam struktur pokok perumusan
konstitusi Indonesia.[14] Saat bangsa ini tak mau mengunyah saripati
nilai-nilai yang terkandung dalam rejim hak asasi manusia, maka ia akan terus
dihantui dosa-dosa kejam tak terperi. Sekali lagi, bangsa ini tiada akan pernah
bisa terus melangkah barang setapak pun.
Yamin mengajarkan kepada kita untuk menengok sejarah
sedalam-dalamnya. Bangsa ini adalah bangsa yang besar. Setiap putusan politik
maupun hukum, punya aras sejarahnya. Bagaimana ia mengkonstatasikan bahwa
sumpah pemuda masa kebangkitan nasional adalah sumpah palapanya para ‘bung
Gadjah Mada’ modern. Sebuah putusan politis, yang diambil dalam dasar
kebangkitan peradaban Sriwijaya (683), majapahit (1331) dan Indonesia (1928).[15]
Apakah Indonesia bisa berdamai dengan sejarah? Tak akan pernah bisa jika para
elite dan terpelajarnya diselimuti alam pikir jahiliyah, yang membiarkan
pembunuhan dan kekerasan tanpa pengadilan!
[1] Disampaikan pada tanggal 30 Desember 2016 pada
forum pertemuan diskusi PhD Multidispliner Indonesia di Amsterdam.
[2] Peneliti Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum
(Pustokum) dan PhD Candidate Utrecht University School of Law, the Netherlands.
[3] Mochtar Lubis. Manusia Indonesia. Sebuah
Pertanggungan Jawab. 1978. Yayasan Idayu. Buku yang bersumber dari ceramah
Mochtar Lubis pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki ini paling
tidak melukiskan patologi sosial masyarakat Indonesia yang malas
bertanggung-jawab atas perbuatannya, berwatak feodal, penggemar mistis, suka
menghambur-hamburkan kekayaan alias boros, malas bekerja, sering menggerutu dan
berbicara dibelakang, dst.
[4] Mahkamah Konstitusi menghapus beberapa pasal yang
melibatkan Komisi Yudisial dalam menyeleksi hakim tingkat pertama, seperti
Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) yang menghapuskan sepanjang kata ‘bersama dan
frasa ‘dan Komisi Yudisial’. Yang membuat Komisi Yudisial sudah kehilangan
salah satu kewenangannya untuk ikut memproduksi hakim yang berkualitas. Putusan
MK Nomor 43/PUU-XIII/2015
[5] Ombudsman dikenalkan oleh Swedia, pada masa
kepemimpinan Raja Charles XII pada tahun 1713, saat masa perang melawan Rusia.
Ia menciptakan sebuah lembaga bernama Hogsta Ombudsmannen yang bertujuan untuk
memastikan bahwa peraturan yang sudah dibuatnya itu dilaksanakan oleh aparat
penagak hukum dan pegawai sipil. Hingga pada tahun 1809, pertama kali dalam
sejarah konstitusi dunia, Ombudsman dilegitimasi dalam konstitusi Swedia, yang
didalamnya terdapat fungsi pengawasan terhadap pengadilan dan badan
administrasi pemerintahan, dengan nama Justitieombusmannӓmbetet. Saking populernya Ombudsman, ia juga dalam literatur sering disebut
sebagai the semi-official Robin Hood (kantor menyerupai karakter Robin Hood), di negara-negara latin, ia juga
dikenal sebagai lembaga perisai kepentingan warga (el defensor del pueblo). Baca, : Lester B. Orfield. The Scandinavian
Ombudsman. Administrative Law Review. 7. 1966-1967., Stig Jӓgerskiӧld. The Swedish Ombudsman. University of Pennsylvania Law Review. Vol.
109. 1077., David Roberts. The Ombudsman Cometh. The Advocate. 1972 (360).,
Linda C. Reif. The Ombudsman, Good Governance and the International Human
Rights System. 2004. Sringer Scgience Media Dordrecht., p. 51-54., Gregory J.
Levine. The Engaged Ombudsman, Morality and Activism in Attaining
Administrative Justice. Linda C. Reif. The International Ombudsman Yearbook.
2004. International Ombudsman Institute. Martinus Nijhoff Publishers., p.
133-136, Gabriele Kuscko Stadmayer. European Ombudsman-Institutions. 2008.
Singer-Verlag/Wien., p. 36, Michael Frahm. Australasia and Pasific Ombudsman
Institutions. 2013. Springer., p. 7
[6] Awaludin Marwan. Soepomo, Sebuah Biografi
Intelektual,
[7] Baca : Soepomo. Indonesia Facing Problems of New Life and
Reintregation. 1958. Penerbit Universitas. p. 57-9.,
Soepomo. Sistem Hukum di Indonesia. 1981. Pradnya Paramita. Jakarta. p. 142.,
Soepomo. Kedudukan
Hukum Adat Dikemudian Hari. 1959. Penerbitan PT
Pustaka Rakyat, p. 6-8
[8] Soepomo. The Provisional Constitution of the
Republic of Indonesia With Annotations and Explanations on Each Article. 1964.
Cornell University., p. 22
[9] Poskolonialisme dalam literatur banyak merujuk
pada tesis Spivak, yang menguraikan tentang hubungan kebudayaan, sastra,
politik dan bahasa dari belahan bumi ini saling terhubung dan berinteraksi
tanpa berkesudahan. Yang barangkali perlu tulisan khusus untuk membahas konsep
ini. Begitu juga denga dekolonialisme, yang ditulis oleh Sundhya Pahuja yang
dengan keras menggugat rejim internasional yang tunduk pada sirkuit kapital.
Sementara soal asing, penanaman modal asing dan kontrak karya yang merugikan
kepentingan nasional sudah begitu mencengkeram.
[10] Muhammad Yamin. Lukisan Sedjarah. Jaitu Risalah
Berisi 563 Gambar Foto dll Melukiskan Perdjalanan Sedjarah Indonesia dan
Sedjarah Dunia untuk Dipergunakan dipelbagai perguruan tinggi di Indonesia.
1958. Djambatan., p. 7
[11] John Roosa. Pretext for Mass Murder: the
September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia. 2006. The
University of Winconsin Press., p. 20
[12] Constitutional Court through its verdict No. 006
PUU-IV, 2006, declared the Act (Act) No. 27 of 2004 on the Truth and
Reconciliation Commission (TRC) against the Indonesian’s Constitution 1945,
therefore the Act does not apply anymore, and it has no legal power binding.
[13] Lihat., Samarinda dictrict court verdict of No.
61/Pdt. G/ 2012/ PN. Smda, Supreme court verdict of 378 PK/ Pdt/ 2009
[14] Muhammad Yamin. Konstituante Indonesia dalam
Gelanggang Demokrasi. 1956. Penerbit Djambatan Djakarta., p. 138
[15] Muhammad Yamin. Sumpah Indonesia Raja. Jaitu
Uraian tentang Rumusan dan Wujud Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 untuk
Membentuk Indonesia Raja Jang Berkuasa. (Tahun Tahun) NV. Nusantara. Bukit
Tinggi.