Gerakan
Fajar Nusantara (Gafatar), masih menjadi bahan “pergunjingan’ di masyarakat. Bahkan,
fenomena Gafatar mampu “meninabobokan”
isu gerakan terorisme yang telah menghilangkan nyawa beberapa orang. Gafatar oleh
sebagian orang dianggap sebagai organisasi yang berbahaya.
Di
Yogyakarta, seorang dokter cantik berani meninggalkan suaminya demi mengikuti
gerakan Gafatar. Peristiwa “hilangnya” dokter cantik itu kemudian menyebar luas
dan menyeret aparat penegak hukum kedalamnya. Bahkan, publik juga disuguhi dengan
drama saat polisi berhasil mengembalikan dokter cantik itu kedalam pelukan
suaminya. Memang ada beberapa selain dokter cantik yang terjerembab dalam
gafatar, namun, peristiwa dokter cantik tersebut menjadi bahan yang paling
menarik untuk diperbincangkan.
Dari
peristiwa itu, kemudian banyak orang yang menilai Gafatar merupakan organisasi
yang berbahaya dan terlarang. Gafatar tidak bermaksud untuk memaksa ataupun
menculik dokter cantik, namun dokter cantik itu sendiri yang rela mengikuti
program-program yang dilaksanakan oleh Gafatar.
Gerakan
Gafatar bukanlah gerakan yang mengandung unsur pidana, meskipun ada beberapa
orang yang menganggap Gafatar telah menculik seseorang melalui doktrin-doktrinnya.
Gerakan Gafatar yang seperti itu apabila dianalisis melalui Pasal 328 KUHP, yang
mana pengurus Gafatar tidak memenuhi unsur pidana, karena tidak menggunakan
ancaman dalam mengajak pengikutnya. Jamaah Gafatar dengan rela hati mengikuti
program-program organisasi.
Apabila
menilik program-program Gafatar (melalui website),
tidak ada yang salah dengan gerakannya, karena program-program yang dilakukan tidak
bertentangan dengan hukum. Program-programnya lebih cenderung ke sosial,
seperti pelatihan penanganan bencana dan gerakan sosial lainya. Program seperti
itu adalah program yang sangat logis diterapkan di Indonesia, mengingat wilayah
Indonesia merupakan wilayah yang mempunyai potensi besar untuk terjadinya
bencana.
Akan
tetapi masyarakat sudah terlanjur benci, sehingga apapun penjelasan yang
dilakukan oleh perwakilan Gafatar tetap dianggap salah. Kebencian masyarakat
menemui puncaknya ketika beberapa golongan kemudian memberikan label sesat dan
mengusirnya dari tempat tinggal. Padahal mereka juga warga Indonesia yang
berhak hidup dan sujud ditanah nusantara.
Kebebasan
berserikat
Untuk
mengantisipasi gerakan yang dilakukan oleh Gafatar, kemudian sekelompok orang
memproduksi isu, Gafatar merupakan organisasi terlarang, sehingga harus
dibubarkan. Untuk memberikan label organisasi terlarang tentu harus memenuhi
beberapa prosedur hukum, mengingat Indonesia merupakan negara hukum.
Di
Indonesia, individu-individu yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama
diperbolehkan untuk berserikat atau membentuk organisasi. Hal itu dijamin dalam
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. jaminan kebebasan
untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan
berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom
of expression). Kebebasana seperti itu bukan hanya milik warga Indonesia saja, melainkan juga untuk setiap orang yang artinya termasuk juga orang asing yang berada di
Indonesia.
Pasal
59 ayat (2) UU No 17 tahun 2014 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), memberikan petunjuk terkait organisasi yang
terlarang apabila (a) melakukan tindakan permusuhan
terhadap suku, agama, ras, atau golongan; (b) melakukan penyalahgunaan,
penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia; (c) melakukan
kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia; (d) melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan
ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau (e) melakukan kegiatan yang menjadi
tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dari
lima syarat yang ditentukan oleh UU, hanya satu yang bisa mengarah ke Gafatar
yakni poin (a), itupun tidak bisa dengan semena-mena dijadikan alat legitimasi
untuk “membunuh” Gafatar dan umatnya. Harus ada mekanisme penyelidikan terlebih
dahulu dari lembaga yang berwenang untuk membuktikannya.
Secara
hukum, Gafatar merupakan organisasi yang sah, karena juga sudah tercatat dalam
Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) DKI
Jakarta. Hal itu membuktikan legalitas Gafatar sudah terpenuhi, sehingga
masyarakat tidak boleh menghakiminya.
Juru Rawat Aqidah
Terkait
dengan doktrinnya yang dianggap membahayakan, itu bisa dikembalikan ke aqidah masing-masing orang, karena aqidah itu ada dan besemayam disetiap
hati seseorang. Disinilah iman seseorang diuji. Organisasi-organisasi yang
bergelut dengan aqidah seperti
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadyah harus mulai intropeksi diri.
Intropeksi
yang dilakukan terkait dengan cara berdakwah dan cara merawat jamaah. Tidak
bisa menimpakan kesalahan kepada orang yang membelot dari ajaran NU atau
Muhammadyah. Bisa jadi orang yang membelot sudah mulai tidak nyaman ikut dalam
naungan organisasi, karena merasa tidak terawat dan dibiarkan.
Alasan
itu bisa saja terjadi karena organisasi keagaaman semacam NU dan Muhammadyah,
gerakannya sudah mulai bergeser dari politik kebudayaan menjadi politik
praktis. Jadi para jamaah yang ada diorganisasi tersebut hanya dijadikan mesin
suara oleh para politisi daripada menjaga dan merawat jamaahnya melalui ritual
budaya Indonesia.
Dengan
beberapa analisis tersebut, tidak heran jika para jamaah NU dan Muhammadyah
banyak yang kehilangan aqidahnya.
Mereka banyak juga yang terjerumus dalam organisasi radikal selain Gafatar,
seperti ISIS dan terorisme. Hal itu disebabkan karena sedikit sekali orang yang
bertugas untuk menjaga aqidah jamaah. Para juru rawat yang dulunya aktif sudah
beralih ke dunia politik.
Jadi,
memaksa dan membubarkan Gafatar bukanlah jalan satu-satunya, karena memang
kebebasan berserikat dilindungi oleh hukum. Isu Gafatar adalah murni mengenai aqidah, oleh karena itu
organisasi-organisasi keagamaan lainnya juga harus pandai-pandai mejaga aqidah
jamaahnya, supaya tidak membelot dari aqidah semula.
Muhtar Said
Peneliti Pusat Studi Tokoh Pemikir Hukum