Syukron
Salam, dilingkangan Satjipto Rahardjo Institute (SRI) sering dipanggil dengan “bendoro”.
Bendoro adalah panggilan seorang majikan (bos) di Jawa. Disebut bendoro
karena orangnya “tidak pernah salah” apapun yang keluar dari mulutnya adalah “kebenaran”
dan harus dilaksanakan.
Jaka,
Hasan, Aan, dan Bowo, sering merasakan "penindasan" yang dilakukan oleh Syukron
Salam. Namun, sangat aneh, mereka tidak merasakan benci, meskipun terus
menerus ditindas.
Ini
adalah model hubungan aneh, mungkin ini seperti hubungan Soekarno dan Tan
Malaka, keduanya bersebrangan, namun saling mendukung dan saling merindukan.
Syukron memang bendoro, kejam saat menyuruh, namun itu dimaklumi oleh Hasan,
Bowo, Jaka, dan Aan, karena Syukron sudah dianggap sebagai seorang kaka.
Syukron
orangnya cuek terhadap banyak orang. Namun, saat ini Syukron menunjukan kasih
sayangnya kepada Bowo, Aan, Jaka, dan Hasan melalui suratnya (di Note Facebook)
yang berjudul “Sang Magistrate” (Judul aslinnya Pesan Untuk Para Magistratee
Hukum Baru), karena ke-empat orang tersebut sudah menempuh wisuda Magister Ilmu
Hukum.
Isi Surat
“Saya
ucapkan selamat kepada para magistrate hukum
baru untuk adik-adik (cuih)
saya, Ryan, Hasan, Aan, Jaka, David yang telah menempuh perjalanan intelektual
untuk menggengam embel-embel eMHa.
Gelar
yang didapat dapat memperpanjang nama yang harus ditulis, tetapi gelar juga
harus memperpanjang nalar pikir untuk selalu mempertimbangkan segala realitas
dengan seksama. Tidak semua realitas yang tampak sebagai yang ada, ada banyak
muatan kepentingan yang ada dibalik realitas, terutama realitas kekuasaan.
Magistrate
bukan sekedar gelar kesarjanaan yang didapat dari perjalanan akademik, tetapi
seorang magistrate merupakan orang-orang yang bekerja untuk menegakkan
keadilan.
Pada
era Romawi, magistrate adalah orang-orang yang menjadi pembela bagi kelompok
pleberian yang tertindas secara sosial, diperbudak, termarginalkan, terdiskriminasi
dari lingkungan sosialnya.
Realitas
sosial yang sekarang masiih ada sampai hari ini, terutama masyarakat kita yang
tertindas karena kekuasaan yang menghisap. Pada dasarnya, kekuasaan adalah
barang suci yang membedakan peradaban manusia dengan binatang.
Kekuasaan
menjadikan kita dapat menyelesaikan konflik secara beradab. Tetapi kekuasaan
hari ini menjadi barang mutanajis, terkena najis kepentingan dari para pemodal
dan sistem produksi.
Betapa
congeknya seorang pemimpin negeri ini didepan pemilik modal hanya dengan
iming-iming pembagian saham. Kekuasaan yang seharusnya membuat para pejabat
memiliki kehormatan, justru telah menggadaikan kehormatan jabatannya dengan
uang recehan para pemilik modal.
Gelar
kesarjanaan tidak berbanding lurus dengan intelektualitas. Kesarjanaan hanya
embel-embel formal untuk memudahkan pasar memilah-milah sumber daya
manusia yang dapat mendukung sistem produksinya. Intelektualitas merupakan
kerja kebudayaan untuk membangun peradaban.
Intelektualitas
tidak dapat mengasingkan dirinya dari realitas sosial, sebagaimana para
akademisi menara gading yang telah menarik garis demarkasi dirinya dengan
realitas sosial.
Menurut
J. Benda, mereka mempertimbangkan segalanya dengan ukuran pribadi, menciptakan
hal yang sulit dimengerti, bahkan mungkin okultisme. Realitas sosial hari ini
diwakili oleh tenda-tenda perlawanan ibu-ibu di Kendeng yang menolak perusakan
lingkungan didesa mereka.
Menjaga
kelestarian dan melawan perusakan lingkungan, bagi para ibu-ibu ini, adalah
harga yang tidak bisa ditawar. Mereka tidak paham dengan ilusi infrastuktur
berpengaruh terhadap percepatan peningkatan kesejahteraan. Mereka hanya ingin
mewariskan alam yang bersih bagi anak cucu mereka. Didalam kesederhanaan
berpikir mereka, tersembunyi pemikiran yang jauh kedepan. Masa depan kita hari
ini tidak ditentukan oleh infrasuktruktur yang lekang oleh jaman dan hanya
dapat dinikmati segelintir orang berduit, tetapi udara yang bersih dan kelestarian
lingkungan dapat dinikmati oleh siapa saja dan kapan saja.
Ditengah
kekuasaan yang mutanajis ini, tantangan kehidupan intelektual menemukan
romansanya dalam bentuk pembangkangan terhadap status quo demi kepentingan kaum
yang tersisihkan dan malang yang telah diperlakukan secara tidak adil.
Begitu
Edward Said berpesan kepada kita. Kekuasaan selalu menggoda para intelektual
untuk mencecap manisnya imbalan kemewahan. Intelektual hari ini sedang
mengadakan perjanjian dengan setan. Mereka siap mengorbankan apa saja demi
kemewahan, jangankan mengorbankan kebenaran yang tidak jelas, mengorbankan
suadaranya sendiri saja mereka siap melakukannya dengan perasaan tanpa dosa.
Berlindung dibalik jubah ilmiah dan metodologis. Inilah potret Intelektual babi
ngepet yang mengkhianati jalan kebenaran yang tugasnya menjaga agar lilin
produksi tetap menyala.
Adik-adikku
semua, (meski menyebut adik ini saya merasa agak jijik punya adik macam kalian,
tetapi demi efektivitas retorika ini, seakan-akan aku menjadi bagian dari kalian
dan peduli dengan kalian. CUIH....) gemerlapnya dunia intelektual yang menggoda
memaksa kita semua untuk tetap menjaga dan merawat akal sehat kita setiap hari.
Intelektual menjadi benteng terakhir akal sehat suatu bangsa. jangan pedulikan
para intelektual babi ngepet yang mengejek kita karena terlalu idealis ditengah
dunia yang pragmatis. Merawat dan menjaga akal sehat dapat kita lakukan dengan
selalu bergaul dan bergerak bersama dengan orang-orang yang masih memiliki
waktu dan kesadaran tentang adanya kezaliman dibumi ini. Peran kalian sebagai
intelektual garis progresif harus selalu memproduksi pengetahuan yang
menggambarkan realitas sosial. Kondisi sosial menjadi laboratorium bagi
produksi pengetahuan yang dapat kalian rekayasa untuk menemukan jalan kebenaran
dan keadilannya. Sebagaimana yang disampaikan Julian Benda, intelektual sejati
tetap dengan jati dirinya, digerakkan oleh dorongan metafisis dan
prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Benda juga meramalkan bahwa benturan
yang akan dihadapi oleh seorang intelektual sejati adalah the organization of collective
passions. Jalan Intelektual terkadang akan berbenturan dengan
kepentingan nasional
.
Saya
pikir, nasehatnya kok serius banget ya ? gara-gara kemaren ketemua sama kang
Dwi Cipta yang budayawan itu, dan Gus Bosman yang Nahdliyin. Mungkin brainwash
yang telah mereka lakukan ke saya cuman efek samping yang segera hilang, dan
saya bisa kembali menjadi priyayi yang harus menjaga nilai-nilai cultural,
lengkap dengan patologinya. Unu Kapan Nyusul ? SELAMAT
BERPETUALANG........!!!!”