Sekolah Pemikiran Yamin : Sejarah Hukum Perspektif Muhammad Yamin

Sejarah Hukum Perspektif Muhammad Yamin

Oleh Awaludin Marwan

Sejarah hukum menurut Yamin adalah pendekatan menafsirkan hukum melalui narasi historis yang sarat rangkaian sastra, emosi, imajinasi, dst. Sejarah bukanlah medan yang berjarak bagi Yamin. Seperti banyak diketahui khalayak ramai, Yamin mendambakan sistem hukum dan negara setangkas Sriwijaya dan Majapahit. Sejarah adalah dirinya. Dan, dirinya adalah sejarah. Mereka telah menyatu.
Sejarah adalah sebuah modal membangun peradaban. Kegandrungannya pada sejarah, hingga mempelajari naskah kuno dan berziarah pada situs-situs purbakala, membuat pribadinya kokoh. Seorang tak tercerabut dan menyangkal modal sejarah, akan tenggelam. Ia —orang yang tak paham sejarah—tak bisa menjadi subjek, melainkan merangsek dalam objek tertawaan dan rantai kapitalisme.

Sejarah hukum bagi Yamin tak bisa dilepaskan dari kekuasaan dan kekerasan. Keyakinannya terhadap hak fundamental,[1] membuatnya pilu saat menyaksikan agresi militer Belanda dan kekejaman Jepang. Pun demikian saat ia menjabat posisi penting dalam kabinet (Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953-1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), dst. Ia harus menahan diri untuk tetap dingin dan tega membiarkan eksekusi hukuman mati. Hukuman mati adalah kebiadaban negara yang disahkan oleh hukum.[2] 

Membicarakan sejarah hukum adalah memperbincangkan soal kekerasan oleh otoritas publik.[3]
Otoritas publik mempunyai dimensi politis, perseteruan antar-elite, yang membingkai terbitnya sebuah hukum. Dinamika politik dalam perumusan dan penegakan hukum inilah arena bermain sejarah hukum. Pada titik ini, sejarah hukum bagi Yamin serupa dengan para pakar hukum yang lain, umpamanya Soetandyo dan John Ball.

Soetandyo membahas sejarah hukum sebagai horison yang membuka konteks kekuasaan dibalik sebuah regulasi. Umpamanya, pada tanggal 26 Juni 1909 kebijakan pendirian sekolah hukum Opleidingsschool voor de Inlandsche Rechtskundingen atau Rechtschool oleh Gubernur Jenderal van Heutz. Bukanlah sebuah kebijakan yang nirpolitis, melainkan kemenangan gerakan politik liberal di Belanda.[4]

Begituhalnya dengan John Ball. Ia yang percaya bahwa kepentingan VOC membiarkan pribumi hanyut dalam hukum adat, seperti Pepakem Tjerbon, pada abad ke 16-17an, karena tak ingin terusik kepentingan politik dagangnya.[5] Dengan demikian, hukum tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah kekuasaan. Begitulah dengan apa yang dipercaya oleh Yamin.

Yamin menyakini salah satunya bahwa, ajaran pantja dharma Djawa Hokaai[6] bermasalah soal ini. Menurutnya, ajaran pandtja dharma juga ‘berdiri dan  bekerdja diatas kurban 3 djuta bangsa Romusha Indonesia, dibawah penglihatan para pemimpin Indonesia yang ditipu-daja oleh tentara fasisme Jepang.’[7]

Bahkan Yamin juga percaya bahwa piagam demokrasi seperti the Atlantik Charter (1941), Yalta (1945), Tehran Declaration (1943), Postdam Conference (1945) hanyalah akal-akalan rejim anti kebebasan, kesamaan dan persaudaraan.[8] Semboyan pencerahan (renaissance) dan revolusi Prancis justru menyokong imperialisme dan kolonialisme dengan berbagai gaya.
***
Sebanyak 40-an buku Yamin telah ditulisnya. Yamin dengan sendirinya menjadi sejarah. Ia menjadi sejarah hukum. Dan yang paling penting, ia adalah sejarah pemikiran hukum itu sendiri. Ia telah meninggalkan banyak teks. Dari teks inilah, ia menunjukan kekuasaannya itu sendiri. Dalam kerangka genealogi, ia bertarung dengan menu sejarah di pasar pengetahuan.[9]

Ia pun punya strateginya tersendiri dalam formasi kekuasaan. Untuk melanggengkan dirinya sebagai subjek sejarah. Dalam konteks sejarah hukum, Yamin tidak hanya dibicarakan karena keterlibatannya berpengaruh pada rejim perundang-undangan tertentu saja. Ia diperdebatkan mulai dari dasar negara, cita hukum, konstitusi, perundang-undangan yang diinisiasinya sampai lembaga hukum dan pranata sosial yang telah dibangunnya.

Sebagai subjek sejarah, perannya dikontestasikan dengan Soepomo, Hatta, Soekarno, dst dalam sidang BPUPKI. Dalam percaturan hukum pun ia bergulat dengan para sarjana hukum lain, seperti Alexander Andries Maramis, Soekanto, Iskaq Cokrohadisuryo, Sunario, Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Gouw Giok Siong, Djokosoetono, Djajadigoeno, Kusumah Atmadja, Wirjono Prodjodikoro, R. Soebekti, dst.

Subjektivisasi Yamin dipertaruhkan disana, apakah permikirannya masih berkuasa dan berpengaruh pada Indoensia kekinian? Seorang subjek selalu meninggalkan jejak dan simbol yang menuntut memori.[10] Banyaknya buku-buku yang ditulis tentang Yamin membuktikan imortalitasnya sebagai politisi abadi.

Jasadnya telah tiada, namun jiwa dan pemikirannya masih mengontrol alam logika para terpelajar Yamin. Sayang sekali, buku-buku Yamin jarang sekali dideseminasikan di ruang perkuliahan Fakultas Hukum. Pendidikan tinggi hukum lebih memilih silabus yang nir-ideologis!.[11]

Sejarah hukum menurut Yamin adalah pembacaan hukum yang sarat akan ideologis. Bagi Yamin, ‘Indonesia Merdeka 100 %’ adalah basis ideologi yang tiada lagi bisa ditawarkan. Maka saat Indonesia dikebiri melalui ‘kegagalan’ perundingan Sutan Sjahrir dan van Mook-Clark Kerr, Yamin mengamuk.

Bersama-sama dengan Tan Malaka, Gatot, Abikusno, Sukarni, Chairul Saleh, dst berkotbah supaya pemuda mempertahankan ideologi tersebut. Pada suatu sore pada tanggal 16 Maret 1946, mereka mengaung di podium, mengutuk penyerahnya Sutan Sjahrir pada kerajaan Belanda dan sekutunya.[12] Sejarah hukum menurut Yamin, bukanlah medium yang datar, hafalan tanggal tahun dan peristiwa saja. Sejarah hukum menurut Yamin juga adalah politik resisten, bagaimana perlawanan pada rejim mempengaruhi kebijakan dan politik hukum.

Perjuangan intelektual dan politik adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah hukum itu sendiri. Resistensi juga merupakan pilar dari sejarah hukum.[13] Ia tidak menerima kemerdekaan fatamorgana. Melainkan setia pada ideologi kebangsaan yang disokong aksi massa rakyat Murba. Jauh sebelum gerakan hukum kritis di Amerika 1970-an, Yamin sudah menggawangi politik resistensi, sebuah godam peluluh lantak status quo.


Awaludin Marwan
Peneliti Satjipto Rahardjo Institute, Peneliti Pustokum, PhD Candidate at Utrecht School of Law the Netherlands




[1] hak mogok dan demontrasi dirumuskan oleh Yamin saat mendirikan Partai Indonesia Raya, begitu juga hak politik perempuan yang diusungnya saat ia menjabat menjadi anggota Volksraad
[2] Tafsir pribadi penulis atas pandangan Prof. Dr. Arief Sidharta, SH utamanya dalam diskusi pribadi, kuliah-kuliah yang beliau ampu, dan posisinya sebagai ahli dalam sidang uji material Pasal hukuman mati di Mahkamah Konstitusi.
[3] Michel Foucault. 1975. Disipline and Punish: the Birth of the Prison . Translated from the French by Alan Sheridan. Vintage Books. New York. p. 3. Seperti hukuman begitu kejam didapati oleh Robert-François Damiens 1757. Ia mencoba membunuh raja Prancis Louis XV, tertangkap dan dieksekusi dengan dagingnya dirobek dari payudara, lengan, paha dan betis. Badannya disulut dengan penjepit merah menyala. Di tangan kanan seorang algojo memegang sebuah pisau yang ditusuk-tusukan pada tubuh, dst.
[4] Uraian sekolah hukum ini disadur dari Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, (Jakarta: HuMA, KITLV-Jakarta, Van Vallenhoven Institute, Epistema Institute,2014), p. 149-161
[5] John Ball. Indonesian Legal History, 1602-1848. 1982. Oughteshaw Press. Lihat juga., John Ball. Indonesian Legal History: British West Sumatera, 1685-1825
[6] Orator kampanye ideologis Djawa Hokokai adalah Soekarno pada tahun 1944, mendeklarasikan diri bahwa Jepang adalah saudara tua Asia, Indonesia segera akan merdeka, bersatu, berdaulat, berkeadilan dan bersejahtera sosial. Lihat., Geerts Arend van Klinken. Minorities, Modernity and the Emerging Nation: Christians in Indonesia. A Biographical Approach. 2003. Koninklijk Instituut vood Taal-, Land-en Volkenkunde., p. 157
[7]Muhammad Yamin. Sapta Darma. Jaitu Apologi-Pembelaan Tindakan-Politik Tiga Djuli Didepan Mahkamah Tentara Agung di Djogjakarta 1948 Dengan Menguraikan Nasionalisme Patriotik Indonesia Atas Dasar Tiang Tudjuh Untuk Mendjundjung Kedaulatan Indonesia Meliputi Seluruh Bangsa dan Segenap Tanah Air. Tanpa tahun. NV. Nusantara., p. 26
[8] Ibid., p. 26-28
[9] Genealogy, Foucault suggested (1986), is a strategy which seeks to account for the constitution of knowledge from within the flow of history, rather than by reference to some supposedly objective stand-point such as 'madness' or 'criminality'. Nick J. Fox. Foucauldians and Sociology. The British Journal of Sociology. Vol. 49, No. 3 (Sep., 1998), pp. 415-433. Blackwell Publishing on behalf of The London School of Economics and Political Science
[10] Michel Foucault. The Subject and Power. Chicago Journals Critical Inquiry, Vol. 8, No. 4 (Summer, 1982), pp. 777-795. Foucault percaya bahwa legalitas sesungguhnya sebuah bidang yang ilegalitas. Kuasalah yang membuat aturan laki-laki mengatur perempuan, orang tua mengatur anak-anak, psikiater mengontrol sakit mental, administrasi mengatur kehidupan masyarakat. Sehingga kuasa pada dasarnya merepresi ontologi individu. Hukum yang dikendarai kuasa pada akhirnya menginstitusionalisasi masyarakat menjadi aparatus yang terkendali.
[11] Syukron Salam, et al. Mendobrak Kemapanan Fakultas Hukum: Gugatan Hukum Progresif terhadap Pendidikan Tinggi Hukum. 2015. Satjipto Rahardjo Institute
[12] Yamin., Sapta Dharma. Op. Cit. p., 64
[13] Brent L. Pickett. Foucault and Political Resistance. Polity, Vol. 28, No. 4 (Summer, 1996), pp. 445-466

Related

Hukum 8516943549405290020

Posting Komentar

emo-but-icon

WELCOME

NEWS

Kurikulum Sekolah Muhammad Yamin

Hot in week

Arsip

Kuliah Progresif

Alamat

item