https://pustokum.blogspot.com/2015/04/sekolah-pemikiran-yamin-sejarah-hukum.html
Sejarah
Hukum Perspektif Muhammad Yamin
Oleh Awaludin Marwan
Sejarah hukum menurut Yamin adalah
pendekatan menafsirkan hukum melalui narasi historis yang sarat rangkaian
sastra, emosi, imajinasi, dst. Sejarah bukanlah medan yang berjarak bagi Yamin.
Seperti banyak diketahui khalayak ramai, Yamin mendambakan sistem hukum dan
negara setangkas Sriwijaya dan Majapahit. Sejarah adalah dirinya. Dan, dirinya
adalah sejarah. Mereka telah menyatu.
Sejarah adalah sebuah modal membangun
peradaban. Kegandrungannya pada sejarah, hingga mempelajari naskah kuno dan
berziarah pada situs-situs purbakala, membuat pribadinya kokoh. Seorang tak
tercerabut dan menyangkal modal sejarah, akan tenggelam. Ia —orang yang tak
paham sejarah—tak bisa menjadi subjek, melainkan merangsek dalam objek
tertawaan dan rantai kapitalisme.
Sejarah hukum bagi Yamin tak bisa
dilepaskan dari kekuasaan dan kekerasan. Keyakinannya terhadap hak fundamental,
membuatnya pilu saat menyaksikan agresi militer Belanda dan kekejaman Jepang.
Pun demikian saat ia menjabat posisi penting dalam kabinet (Menteri Kehakiman
(1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953-1955), Menteri
Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), dst. Ia harus menahan diri untuk tetap
dingin dan tega membiarkan eksekusi hukuman mati. Hukuman mati adalah
kebiadaban negara yang disahkan oleh hukum.
Membicarakan sejarah hukum adalah memperbincangkan soal kekerasan oleh otoritas
publik.
Otoritas publik mempunyai dimensi
politis, perseteruan antar-elite, yang membingkai terbitnya sebuah hukum.
Dinamika politik dalam perumusan dan penegakan hukum inilah arena bermain
sejarah hukum. Pada titik ini, sejarah hukum bagi Yamin serupa dengan para
pakar hukum yang lain, umpamanya Soetandyo dan John Ball.
Soetandyo membahas sejarah hukum sebagai
horison yang membuka konteks kekuasaan dibalik sebuah regulasi. Umpamanya, pada
tanggal 26 Juni 1909 kebijakan pendirian sekolah hukum Opleidingsschool voor de Inlandsche Rechtskundingen atau Rechtschool oleh Gubernur Jenderal van
Heutz. Bukanlah sebuah kebijakan yang nirpolitis, melainkan kemenangan gerakan
politik liberal di Belanda.
Begituhalnya dengan John Ball. Ia yang
percaya bahwa kepentingan VOC membiarkan pribumi hanyut dalam hukum adat,
seperti Pepakem Tjerbon, pada abad ke 16-17an, karena tak ingin terusik
kepentingan politik dagangnya.
Dengan demikian, hukum tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah kekuasaan.
Begitulah dengan apa yang dipercaya oleh Yamin.
Yamin menyakini salah satunya bahwa,
ajaran pantja dharma Djawa Hokaai
bermasalah soal ini. Menurutnya, ajaran pandtja dharma juga ‘berdiri dan bekerdja diatas kurban 3 djuta bangsa Romusha
Indonesia, dibawah penglihatan para pemimpin Indonesia yang ditipu-daja oleh
tentara fasisme Jepang.’
Bahkan Yamin juga percaya bahwa piagam
demokrasi seperti the Atlantik Charter (1941), Yalta (1945), Tehran Declaration
(1943), Postdam Conference (1945) hanyalah akal-akalan rejim anti kebebasan,
kesamaan dan persaudaraan.
Semboyan pencerahan (renaissance) dan
revolusi Prancis justru menyokong imperialisme dan kolonialisme dengan berbagai
gaya.
***
Sebanyak 40-an buku Yamin telah
ditulisnya. Yamin dengan sendirinya menjadi sejarah. Ia menjadi sejarah hukum.
Dan yang paling penting, ia adalah sejarah pemikiran hukum itu sendiri. Ia
telah meninggalkan banyak teks. Dari teks inilah, ia menunjukan kekuasaannya
itu sendiri. Dalam kerangka genealogi, ia bertarung dengan menu sejarah di
pasar pengetahuan.
Ia pun punya strateginya tersendiri
dalam formasi kekuasaan. Untuk melanggengkan dirinya sebagai subjek sejarah.
Dalam konteks sejarah hukum, Yamin tidak hanya dibicarakan karena
keterlibatannya berpengaruh pada rejim perundang-undangan tertentu saja. Ia
diperdebatkan mulai dari dasar negara, cita hukum, konstitusi, perundang-undangan
yang diinisiasinya sampai lembaga hukum dan pranata sosial yang telah
dibangunnya.
Sebagai subjek sejarah, perannya
dikontestasikan dengan Soepomo, Hatta, Soekarno, dst dalam sidang BPUPKI. Dalam
percaturan hukum pun ia bergulat dengan para sarjana hukum lain, seperti Alexander
Andries Maramis, Soekanto, Iskaq Cokrohadisuryo, Sunario, Abdoel Gaffar
Pringgodigdo, Gouw Giok Siong, Djokosoetono, Djajadigoeno, Kusumah Atmadja,
Wirjono Prodjodikoro, R. Soebekti, dst.
Subjektivisasi Yamin dipertaruhkan
disana, apakah permikirannya masih berkuasa dan berpengaruh pada Indoensia
kekinian? Seorang subjek selalu meninggalkan jejak dan simbol yang menuntut
memori.
Banyaknya buku-buku yang ditulis tentang Yamin membuktikan imortalitasnya
sebagai politisi abadi.
Jasadnya telah tiada, namun jiwa dan
pemikirannya masih mengontrol alam logika para terpelajar Yamin. Sayang sekali,
buku-buku Yamin jarang sekali dideseminasikan di ruang perkuliahan Fakultas
Hukum. Pendidikan tinggi hukum lebih memilih silabus yang nir-ideologis!.
Sejarah hukum menurut Yamin adalah
pembacaan hukum yang sarat akan ideologis. Bagi Yamin, ‘Indonesia Merdeka 100
%’ adalah basis ideologi yang tiada lagi bisa ditawarkan. Maka saat Indonesia
dikebiri melalui ‘kegagalan’ perundingan Sutan Sjahrir dan van Mook-Clark Kerr,
Yamin mengamuk.
Bersama-sama dengan Tan Malaka, Gatot,
Abikusno, Sukarni, Chairul Saleh, dst berkotbah supaya pemuda mempertahankan
ideologi tersebut. Pada suatu sore pada tanggal 16 Maret 1946, mereka mengaung
di podium, mengutuk penyerahnya Sutan Sjahrir pada kerajaan Belanda dan
sekutunya. Sejarah
hukum menurut Yamin, bukanlah medium yang datar, hafalan tanggal tahun dan
peristiwa saja. Sejarah hukum menurut Yamin juga adalah politik resisten,
bagaimana perlawanan pada rejim mempengaruhi kebijakan dan politik hukum.
Perjuangan intelektual dan politik
adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah hukum itu sendiri. Resistensi
juga merupakan pilar dari sejarah hukum.
Ia tidak menerima kemerdekaan fatamorgana. Melainkan setia pada ideologi kebangsaan
yang disokong aksi massa rakyat Murba. Jauh sebelum gerakan hukum kritis di
Amerika 1970-an, Yamin sudah menggawangi politik resistensi, sebuah godam
peluluh lantak status quo.
Awaludin Marwan
Peneliti Satjipto Rahardjo Institute,
Peneliti Pustokum, PhD Candidate at Utrecht School of Law the Netherlands