Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak lepas dari sejarah panjang yang
diawali dengan kemerdekaan Indonesia. Diundangkannya UUPA tentulah atas dasar
pertimbangan agar tidak lagi terulang proses penguasaan tanah yang mengacu pada
asas feodalisme, diskriminatif, dan kepemilikan yang absolut. Boedi Harsono,
dalam buku Hukum Agraria Indonesia, menyebutkan bahwa terbitnya UUPA melalui
suatu proses yang bertahap. Boedi Harsono mencatat ada setidaknya beberapa
tahap penyusunan UUPA yakni dari “Panitia Yogya”, “Panitia Soewahjo” hingga
“Rancangan Sadjarwo”.
Sebelum jauh membahas mengenai isi
rinci daripada rumusan-rumusan dalam kepanitiaan yang disebutkan oleh Boedi
Harsono, ada baiknya terlebih dahulu mencari dasar filosofis dari UUPA yang
sekarang sudah disahkan. Pada 16 Juli 1945, tepatnya pada proses perumusan
konstitusi, Soepomo memberikan suatu catatan dalam nota yang dibuat oleh Panita
Perancangan Keuangan dan Ekonomi (PPKE). Soepomo memberi catatan khusus pada
soal tanah. Soepomo mengatakan bahwa “tanah mempunyai functie social, artinya negara menguasai tanah dan penduduk berhak
memiliki tanah, akan tetapi tata cara menggunakannya hak milik tanah itu harus
sesuai dengan sifat kemasyarakatan hak itu”. Lebih jauh, Soepomo menjelaskan :
Dalam
Undang-Undang Republik Jerman pada zaman Weimar misalnya, ditegaskan bahwa “Eigentum Verplichtet”. Hak milik
seseorang tidak boleh dipergunakan sewenang-wenang dengan tidak memperdulikan
kepentingan masyarakat. Hak milik mengandung kewajiban untuk mempergunakan
miliknya menurut functie social dari
tanah.
Soepomo selanjutnya, untuk memperkuat
argumentasinya dengan membawa referensi berupa anjuran dari ahli hukum Prancis
Prof. Duguit supaya hak milik seseorang atas tanah harus memiliki sifat sosial.
Soepomo juga menganggap kalau tanah sebagai produksi masyarakat Indonesia harus
berada di bawah kekuasaan negara. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan
orang-orang untuk menindas
dan memeras hidup orang lain. Soepomo, dalam catatan itu, juga menyarankan agar
dibuat nota mengenai hak milik dan hak memakai nantinya akan diatur dengan
Undang-Undang.
Catatan Soepomo tadi nyatanya
memberikan sumbangan yang teramat besar yang menjadi ruh UUPA. Setidaknya,
meskipun tidak secara jelas disebutkan bahwa Soepomo terlibat dalam kepanitiaan
yang disebutkan oleh Boedi Harsono, catatan yang ditulis Soepomo itu menjadi
awal lahirnya Pasal 2 UUPA tentang pengertian penguasaan negara atas tanah.
Selanjutnya, catatan Soepomo juga menginspirasi dibubuhkannya Pasal 6 UUPA
mengenai semua hak atas tanah mempunya fungsi sosial.
Penyusunan
Hukum Agraria
Tiga tahun setelah catatan Soepomo,
atau tepatnya Tahun 1948, dimulailah usaha-usaha konkret untuk menyusun dasar-dasar
Hukum Agraria, dalam bahasa Boedi Harsono, Hukum Tanah yang menggantikan Hukum
Agraria warisan pemerintah jajahan. Yogyakarta, sebagai ibu kota negara
Indonesia pada waktu, dijadikan tempat sebagai pembentukan panita pertama
sehingga disebut “Panitia Yogya”. “Panitia Yogya” ini dibentuk atas Penetapan
Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1948 no.46, dan diketuai oleh
Sarimin Reksodihardjo bersama pejabatan Kementiran dan Jawatan serta anggota
Badan Pekerja KNIP yang mewakili tani dan daerah, hukum adat dan wakil dari
Serikat Buruh Perkebunan.
“Panitia Yogya” selanjutnya
melaporkan kepada Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia melalui surat
tertanggal 3 Februari 1950 no. 22/PA. Surat itu berisi tujuh asas yang menjadi
dasar Hukum Agraria/Hukum Tanah yang baru. Diantaranya adalah :
a. Dilepaskannya
asas domein dan pengakuan hak ulayat.
b. Diadakannya
peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik
yang dapat dibebani hak tanggungan. Pemerintah hendaknya jangan memaksakan
dengan peraturan perkembangan hak perseorangan itu dari yang paling lemah
sampai yang paling kuat; perkembangan itu hendaknya diserahkan saja kepada
usaha rakyat sendiri dari paguyuban kecil. Sebaiknya Pemerintah memberi
stimulans yang sebesar-besarnya untuk mempercepat perkembangan itu;
c. Supaya
diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan-peraturan negara-negara lain,
terutama negara-negara tetangga, sebelum menentukan apakah orang-orang asing
dapat pula mempunyai hak milik atas tanah;
d. Perlunya
diadakan penetapan luas minimum tanah untuk menghindarkan pauperisme di antara petani kecil dan memberi tanah yang cukup
untuk hidup yang patut, sekalipun sederhana. Untuk Jawa diusulkan 2 hektar.
e. Perlunya
ada penetapan luas maksimum. Diusulkan untuk jawa 10 hektar dengan tidak
memandang macamnya tanah. Buat daerah-daerah luar Jawa dipandang perlu untuk
mengadakan penyelidikan lebih lanjut;
f. Menganjurkan
untuk menerima skema hak-hak tanah yang diusulkan oleh Sarimin Reksodihardjo.
Ada hak milik dan hak atas tanah kosong dari Negara dan daerah-daerah kecil
serta hak-hak atas tanah orang lain yang disebut hak-hak magersari;
g. Perlunya
diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting (annex kadaster). Hak-hak yang bersandar
atau hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa perlu diubah dahulu dengan hak-hak
Indonesia yang diusulkan Sarimin itu.
“Panitia
Yogya” kemudian dinilai tidak lagi sesuai, terutama ketika negara sudah
dibentuk menjadi Negara Kesatuan. “Panitia Yogya” kemudian dibubarkan dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Maret 1951 no. 36/1951 sekaligus
dibentuk Panitia Agraria baru, berkedudukan di Jakarta yang diberi nama
“Panitia Agraria Jakarta”. “Panitia Agraria Jakarta” diketuai oleh Sarimin
Reksodihardjo dengan wakil ketuanya Sadjarwo. Kepimpinan Sarimin hanya
berlangsung hingga tahun 1953 karena yang bersangkutan diangkat menjadi
Gubernur Nusa Tenggara. Sebagai gantinya, Singgih Praptodihardjo selaku Wakil
Kepala Bagian Agraria Kementrian Dalam Negeri diangkat menjadi ketua “Panitia
Agraria Jakarta”.
Tugas
pokok dan fungsi dari “Panitia Agraria Jakarta” tidak jauh berbeda dengan
“Panitia Yogya”. Pada laporannya tanggal 9 Juni 1955, “Panitia Agraria Jakarta”
mengemukakan beberapa kesimpulan mengenai soal tanah untuk pertanian kecil
(rakyat), yaitu.
a. Mengadakan
batas minimum sebagai ide. Luas minimum umum ditentutkan 2 hektar. Mengenai
hubungan pembatasan minimun tersebut dengan hukum adat, terutama hukum waris,
perlu diadakan tinjauan lebih lanjut.
b. Ditentukan
pembatsan maksimum 25 hektar untuk satu keluarga.
c. Yang
dapat memiliki tanah pertanian kecil hanya penduduk Warga Negara Indonesia.
Tidak diadakan perbedaan antara negara “asli” dan “bukan asli”. Badan hukum
tidak diberi kesempatan untuk mengerjakan pertanian kecil.
d. Untuk
pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum: hak milik, hak usaha, hak
sewa, dan hak pakai.
e. Hak
ulayat disetujui untuk diatur –oleh atau atas kuasa undang-undang –sesuai
dengan pokok-pokok dasar Negara.
Keputusan
yang dicetuskan oleh “Panitia Agraria Jakarta” berbeda dengan “Panitia Yogya” .
“Panitia Yogya” menitikberatkan laporannya pada aturan yang hendak diberlakukan
mengenai kepemilikan tanah, utamanya tanah-tanah bekas tanah adat. Sedangkan
“Panitia Agraria Jakarta” mencoba mengatur regulasi tanah di bidang pertanian.
Keduanya, meskipun berbeda pokok kajian, memiliki keberpihakan yang sama, yakni
keberpihakan kepada kelas-kelas yang dalam hukum terdahulu (Agrarische Wet dan Agrarische Belsuit) dianggap kelas subaltern (tersisihkan atau terpinggirkan). Kelas-kelas tersebut
adalah :
a. Masyarakat
Hukum Adat;
b. Petani
desa;
c. Warga
Bumiputera.
Kategori
a, b, dan c pada awal mulanya, merujuk buku Max Havelaar karya Multatuli,
bukanlah golongan yang tergabung dalam bagian subaltern. Mereka bahkan berbahagia karena bisa bersawah sendiri,
untuk makan, dan penghidupan sehari-hari. Ketika orang-orang asing dari Barat
datang, mereka berubah menjadi budak yang terpinggirkan atau subaltern. Mereka di bawah ancaman Orang
Asing (Belanda dan Inggris) diminta mempersembahkan waktu serta tenaganya untuk
menanam selain beras yang menghasilkan laba di pasaran Eropa.
Untuk melakukan pekerjaan ini, Orang Asing itu membuat kebijakan sepihak yang
sepenuhnya berhasil, yakni kebijakan yang terhimpun dalam Agrarische Wet dan Agrarische
Belsuit.
Kedua
panita tersebut setidaknya memenuhi harapan Gayatri Chakravorty Spivak mengenai
keterlibatan intelektual dalam memperjuangkan nasib kelas subaltern. Spivak beranggapan bahwa kelas-kelas subaltern hanya dapat berbicara atau
melawan apabila diwakili oleh intelektual radikal yang peduli. Intelektual yang
berpihak pada pada kelas subaltern dengan
menyumbangkan gagasan teoritisnya yang kemudian mengakibatkan kelas tersebut
eksis, disebut dengan “Studi Subaltern”.
Guha berpandangan, “Panitia Yogya” maupun “Panitia Agraria Jakarta” tergabung
dalam bagian dari ‘politik rakyat’ hasil “Studi Subaltern” yang berada di dalam, atau intelektual yang beroperasi
penuh dengan mengikuti kondisi yang berlaku (sebagai elit politik).
“Panitia
Agraria Jakarta” kemudian dibubarkan dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia tanggal 14 Januari 1956 no 1/1956 karena dinilai tidak mampu menyusun
rancangan Undang-Undang Agraria dalam waktu singkat. Keputusan itu memuat pula
pembentukan panita baru yakni “Panitia Negara Urusan Agraria” yang berkedudukan
di Jakarta. Panitia baru yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo (Sekertaris
Jendral Kementrian Agraria) itu dikenal dengan “Panitia Soewahjo”.
“Panitia
Soewahjo” memiliki tugas mempersiapkan rencangan Undang-Undang Pokok Agraria
yang nasional dalam waktu satu tahun. Di tahun 1957 rancangan yang berupa
naskah itu berhasil diselesaikan. Melalui surat yang disampaikan kepada
Pemerintah d.h.i Menteri Agraria tanggal 6 Februari 1958 no. 1/PA/1958 disebutkan
beberapa pokok-pokok penting hasil rancangan “Panitia Soewahjo” :
a. Dihapuskannya
asas domein dan diakuinya Hak Ulayat, yang harus ditundukan pada kepentingan
umum (Negara);
b. Asas
domein diganti dengan Hak Kekuasaan Negara atas dasar ketentuan Pasa 38 ayat 3
Undang-Undang Dasar Sementara;
c. Dualisme
hukum agraria dihapuskan. Secara sadar diadakan kesatuan hukum yang akan memuat
lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam Hukum Adat
maupun Hukum Barat;
d. Hak-hak
atas tanah: Hak Milik sebagai hak yang terkuat, yang berfungsi sosial. Kemudian
ada Hak Usaha, Hak Bangunan dan Hak Pakai;
e. Hak
Milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang warganegara Indonesia. Tidak
diadakan perbedaan antara warganegara asli dan tidak asli. Badan-badan hukum
pada asasnya tidak boleh mempunyai Hak Milik atas tanah;
f. Perlu
diadakan penetapan batas maksimum dan minimum yang boleh menjadi milik
seseorang atau badan hukum;
g. Tanah
pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya;
h. Perlu
diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.
Konsep
rancangan “Panitia Soewahjo” di atas diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo
kepada Dewan Menteri pada tanggal 14 Maret 1958. Dengan beberapa perubahan,
rancangan “Panitia Soewahjo” yang kemudian disebut “Rancangan Soenarjo”,
disetujui oleh Dewan Menteri dalam sidangnya ke-94 pada tanggal 1 April 1958
dan pada selanjutnya diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan Amanat
Presiden tanggal 24 April 1958 no 1307/HK. Dewan Perwakilan Rakyat kemudian
membicarakan rancangan tersebut dalam sidang pleno pada tingkat Pemandangan
Umum babak pertama. Pemerintah kemudian menjawab Pemandangan Umum babak pertama
melalui Menteri Soenarjo dalam sidang pleno DPR tanggal 16 Desember 1958.
DPR,
dari hasil jajak pendapat dan tanya jawab, menilai bahwa perlu pengumpulan
bahan-bahan secara lengkap. Untuk itu Panitia Permusyawaratan DPR membentuk
Panitia ad-hoc yang diketuai Mr. A.M.
Tambunan, Universitas Gajah Mada (Seksi Agraria yang diketuai oleh Prof.
Notonagoro), demikian juga Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro adalah
orang yang banyak memberikan bahan kepada Panitia ad-hoc. Kegiatan itu membuat sidang pleno tertunda hingga akhirnya
“Rancangan Soenarjo” ditarik kembali oleh kabinet.
Pada
tanggal 23 Mei 1960 “Rancangan Soenarjo” tidak ditindaklanjuti karena
Undang-Undang Dasar Sementara tidak gunakan lagi dan Undang-Undang Dasar 1945
diberlakukan kembali. Menyikapi hal itu, Menteri Agraria pada waktu Sadjarwo
menyempurnakan Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria dengan bentuk yang lebih
sempurna dan disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Rancangan yang baru
itu kemudian disebut sebagai “Rancangan Sadjarwo”. “Rancangan Sadjarwo” dinilai
memiliki dasar yang lebih tegas, yakni dasar Hukum Adat. Sehingga pada waktu
itu, dengan Amanat Presiden tanggal 1 Agustus 1960 no 2584/HK/1960 rancangan
tersebut diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
“Rancangan
Sadjarwo” tersebut berjalan cukup baik dan hanya memerlukan tiga kali sidang,
yaitu tanggal 12, 13, 14 September 1960. Presiden dan DPR-GR juga telah
menemukan kata sepakat. Sabtu tanggal 24 September 1960, rancangan yang menurut
Menteri Agraria Sadjarwo “telah selesai dengan selamat” itu, akhirnya disahkan
Presiden Soekarno menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menurut diktum kelima dapat disebut dengan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Kelahiran
UUPA yang melalui usaha pemberian kepercayaan pada pilihan-pilihan kolektif
(lima panita rancangan UUPA) dan konsensus universal melalui bahan-bahan
panitia ad-hoc telah memenuhi dua
syarat tatanan sosial ideal yang dimaksudkan oleh Roberto M. Unger. Syarat pertama adalah titik kemerdekaan yang
membuat tumbangnya ketidaksetaraan zaman penjajahan. Syarat kedua adalah pengalaman tersebut
(ketidaksetaraan) membuat keinginan untuk membuka peluang konsesus yang lebih
universal tentang tatanan imanen kehidupan sosial, sehingga dengan demikian
membantu menjernihkan pemahaman lebih lanjut akan apa arti kesetaraan.
Ini tercermin dari keinginan menghapus aturan lama yang condong kapitalistik
memenangkan kelas penguasa sehingga timbul diskriminatif, dan menggantinya
dengan aturan baru yang berbasis Hukum Adat.
Pasal
2 (1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33
ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1,
bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b.
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan
ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat 2 pasal ini
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di
atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerahdaerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan ketentuan Peraturan Pemerintah.